AS Dukung Filipina untuk Lawan Kebijakan China di Laut China Selatan
Isu sengketa perairan Laut China Selatan kembali memanas. Protes Filipina terhadap larangan sepihak oleh China terkait penangkapan ikan di Laut China Selatan mendapat dukungan dari Amerika Serikat.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
WASHINGTON, JUMAT — Filipina memperoleh suntikan dukungan Pemerintah Amerika Serikat setelah protesnya terhadap larangan penangkapan ikan, yang diberlakukan secara unilateral oleh Pemerintah China, di perairan sengketa Laut China Selatan tak digubris Beijing. Washington mendesak Pemerintah China agar mematuhi hukum internasional dan keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional yang tidak mengakui klaim sepihak Beijing di wilayah perairan sengketa Laut China Selatan.
Juru Bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat Ned Price pada Kamis (2/6/2022) di Washington DC atau Jumat (3/6/2022) dini hari WIB menyatakan bahwa moratorium penangkapan ikan yang dibuat sepihak oleh China bertentangan dengan sejumlah aturan, seperti putusan Mahkamah Arbitrase Internasional tahun 2016 di Den Haag, Belanda, hingga hukum laut internasional.
Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) 2016 telah menolak klaim sepihak China atas sebagian besar wilayah di Laut China Selatan (LCS). Konvensi PBB Hukum Laut—hukum internasional yang diratifikasi oleh China, tetapi tidak diratifikasi AS—mengatur wilayah perairan suatu negara yang ditarik dari garis dasar terluar pulau atau daratan negara tersebut.
Putusan PCA itu ditetapkan berdasarkan pengaduan keberatan yang diajukan Filipina pada 2013. Manila menuding Beijing masuk teritorialnya melalui aktivitas penangkapan ikan dan reklamasi karang menjadi pulau buatan. Menurut Manila, klaim Beijing di LCS yang meliputi Laut Filipina Barat dan hanya ditandai sembilan garis putus-putus adalah hasil imajinasi sepihak.
”Kami menyerukan China untuk menjalankan kewajibannya berdasarkan hukum internasional,” kata Price.
PCA memutuskan berdasarkan Konvensi PBB Hukum Laut (UNCLOS) 1982. Namun, Beijing tak menerima putusan PCA yang memenangkan Manila. Beijing lalu memboikot putusan itu dan berargumen bahwa PCA tidak memiliki yurisdiksi. Walaupun meratifikasi UNCLOS 1982, China telah mengatakan tidak akan menerima, mengakui, atau melaksanakan putusan PCA itu dan tetap mengklaim sebagian besar LCS.
Kisruh di LCS itu diperkeruh oleh kebijakan China yang melarang aktivitas penangkapan ikan di sebagian besar wilayah LCS yang mereka klaim. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian, Rabu (1/6/2022), mengatakan, pihaknya telah mendeklarasikan larangan penangkapan ikan di LCS sejak 1 Mei 2022 sampai dengan 16 Agustus 2022. Ia menyebut larangan itu sebagai standar umum untuk melindungi sumber daya dan keanekaragaman hayati di wilayah yurisdiksi China.
Larangan tersebut kemudian mendapat protes diplomatik dari Filipina melalui Departemen Luar Negeri (DFA) Filipina. Manila menilai, larangan itu hanya kebijakan sepihak Beijing. Presiden terpilih Filipina Ferdinand Marcos Jr menegaskan, hak kedaulatan Filipina itu suci dan tidak dapat diganggu gugat sesuai hukum internasional.
Terkait hal tersebut, Filipina memanggil diplomat China di Manila untuk meminta penjelasan terkait larangan penangkapan ikan dan dugaan perlakuan tidak menyenangkan pada kapal penelitian kelautan milik Filipina oleh kapal penjaga pantai China. Namun, segala protes itu ditolak oleh China. China berdalih, tindakannya itu merupakan hal yang selalu dilakukan untuk kepentingan kehidupan laut.
”Kami berharap Filipina dapat melihat (larangan) tersebut dalam perspektif yang obyektif dan benar dan dengan sungguh-sungguh memenuhi kewajiban sebagai negara pesisir Laut China Selatan,” kata Zhao pada Jumat (3/6/2022) pagi (The Philippine Star, 3/6/2022).
Selain beririsan dengan klaim Filipina, China juga bersengketa dengan Brunei Darussalam, Malaysia, Vietnam, dan Taiwan. Marcos Jr bertekad menegakkan lagi putusan tetap PCA, 12 Juli 2016.
Deklarasi larangan penangkapan ikan tersebut hampir dilakukan setiap tahun oleh China di Laut China Selatan. Alasannya, China ingin menjaga biota laut dan kehidupan laut yang berkelanjutan karena penangkapan ikan yang berlebihan di pusat wilayah yang dinilai sebagai populasi utama ikan di Laut China Selatan.
Kebijakan dan klaim sepihak China di perairan tersebut kerap menjadi pemicu perselisihan soal kedaulatan dengan Filipina, Vietnam, dan negara di Asia Tenggara lainnya, termasuk Indonesia. Indonesia tidak termasuk negara pengklaim (claimant) dalam sengketa LCS. Ketegangan di perairan itu bertambah dengan mondar-mandirnya kapal-kapal perang AS dan Australia yang disebut untuk memastikan berjalannya kebebasan pelayaran dan penerbangan di wilayah perairan tersebut. (AFP)