Sentralitas ASEAN Bisa Redam Ketegangan Indo-Pasifik
ASEAN perlu mewaspadai eskalasi situasi di Selat Taiwan. Akan tetapi, ASEAN juga harus mengupayakan situasi damai berbasis sentralitas ASEAN itu sendiri.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Di tengah suasana yang kian memanas di Selat Taiwan, cara pandang Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang mengutamakan sentralitas ataupun ambiguitas dalam bertindak menjadi kelebihan. ASEAN bisa menjadi penenang dan pendingin suasana dengan mengingatkan kembali setiap pihak bahwa segala kerja sama di Indo-Pasifik bertujuan untuk keterbukaan, inklusivitas, dan kesejahteraan bersama.
”Di dalam hubungan internasional tidak semua hal harus dijabarkan dengan tegas sehingga membuat pihak-pihak terlibat harus memilih aliansi tertentu. Justru fakta yang ambigu merupakan nilai positif yang membuat situasi menjadi tenang serta kondusif untuk semua orang,” kata Shofwan Al Banna Choiruzzad, Sekretaris Eksekutif Pusat Studi ASEAN Universitas Indonesia, dalam seminar daring yang diselenggarakan The Habibie Center di Jakarta, Rabu (6/7/2022).
Seminar yang mengangkat isu Selat Taiwan dan hubungannya dengan ASEAN itu membahas hubungan antara Taiwan dan China yang kian memanas. Taiwan berdasarkan prinsip Satu China merupakan bagian dari China dengan pemerintahan yang otonom. Namun, Presiden Taiwan Tsai Ing-wen meningkatkan kerja sama keamanan dan pertahanan dengan Amerika Serikat yang membuat China marah.
Akibatnya, Beijing sering mengirim peringatan berupa intrusi pesawat militer di wilayah identifikasi pertahanan udara Taiwan. Sebaliknya, Taiwan yang menyatakan Selat Taiwan merupakan zona ekonomi eksklusif berdasarkan hukum laut internasional mengizinkan kapal-kapal militer AS ataupun sekutunya melintas. Apalagi, Taiwan dan AS terikat perjanjian yang menyebutkan AS akan membantu Taiwan selama wilayah itu di bawah ancaman China.
Ketegangan itu bisa merembet ke Asia Tenggara. Oleh sebab itu, dunia bertanya-tanya mengenai sikap yang akan diambil ASEAN. Entitas ini memiliki kedekatan dengan China, AS, ataupun Taiwan. Dalam hal ini, Shofwan menjelaskan, segala sikap ASEAN selalu berdasarkan sentralitas ASEAN itu sendiri.
”ASEAN pada dasarnya tidak akan memilih berpihak pada siapa pun karena ASEAN memercayai bahwa setiap negara, bangsa, dan entitas memiliki kelebihan sendiri. ASEAN menerima inklusivitas ini,” tuturnya.
Tujuan utama ASEAN, lanjut dia, ialah kestabilan, keamanan, dan kesejahteraan bersama. Baik China maupun Taiwan merupakan sahabat penting bagi ASEAN. Mereka memiliki kerja sama antara lain di bidang ekonomi, teknologi, pendidikan, dan pertanian tidak hanya pada level nasional, tetapi hingga level pemerintah daerah.
”Ini membuat ASEAN tidak akan pernah mendukung persaingan hegemoni di kawasan ataupun global,” kata Shofwan. Kerja sama dengan Taiwan serta China selama ini berlangsung lancar di ASEAN walaupun tidak satu pun negara Asia Tenggara memiliki hubungan diplomatik dengan Taiwan. Ini berkat sikap sentralitas ASEAN yang oleh sejumlah pihak dikatakan ambigu, tetapi efektif menakhodai hubungan yang pelik tanpa menyinggung satu pihak pun.
Menurut Shofwan, kekuatan sentralitas ini membuat ASEAN menjadi pembawa pesan damai yang bisa dibilang jujur karena tidak memihak blok kekuatan tertentu. Budaya ASEAN ini mengutamakan musyawarah dan mufakat. Ini bisa menjadi cara efektif untuk meredam suasana di Indo-Pasifik. Musyawarah berarti setiap situasi bisa diupayakan penanganannya secara fleksibel karena melihat perkembangan di setiap pihak.
Sementara itu, Kuasa Usaha Misi AS di ASEAN Rachel Cooke menjelaskan, dalam pertemuan AS-ASEAN 2022 pada Mei, Presiden AS Joe Biden menekankan kepercayaan pemerintahannya terhadap sentralitas ASEAN. Kawasan Indo-Pasifik sangat penting bagi AS. Ini membuat AS mendukung Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka. ASEAN, sebagai mitra AS selama 45 tahun, menjadi pemain penting untuk mewujudkannya.
”AS mendukung Lima Poin Konsensus ASEAN terkait permasalahan di Myanmar. Selain itu, AS menginvestasikan 100 juta dollar AS untuk berbagai program pemberdayaan masyarakat, transisi ke energi hijau, dan penanganan polisi. Ini belum termasuk investasi dari pihak swasta,” tutur Cooke.
Terkait situasi dengan Taiwan, Cooke menjelaskan, hubungan AS-Taiwan sudah ada sejak waktu yang lama. Mereka mendukung Taiwan sebagai pemain penting dalam ekonomi global. AS tidak berniat mencari masalah dengan China, asalkan mereka juga meninggalkan sikap mengintimidasi Taiwan.
”Dalam hal ini, AS tidak akan pernah memaksa ASEAN untuk berpihak kepada AS atau siapa pun. Kami menghormati ASEAN dan kedaulatannya menentukan sikap,” ujarnya.
Pakta keamanan
Panasnya Selat Taiwan membuat negara-negara tetangga khawatir. Dalam Dialog Shangri-La bulan lalu, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida mengatakan, jika tidak hati-hati, China bisa menginvasi Taiwan dan akan meletus perang seperti yang terjadi di Ukraina. Menteri Pertahanan China Wei Fenghe segera menyanggah pernyataan ini dan mengatakan agar tidak membandingkan hubungan Rusia-Ukraina yang merupakan dua negara merdeka dengan China-Taiwan yang berlandaskan prinsip Satu China.
Kegerahan AS terhadap China juga tampak dengan terbentuknya pakta pertahanan antara AS, Inggris, dan Australia (AUKUS). Ada pula pakta Quadrilateral antara AS, India, Jepang, dan Australia. Menurut Cooke, Quad terbentuk setelah bencana global tsunami tahun 2004. Tujuannya mengelola bantuan kemanusiaan. Quad kemudian berkembang menjadi kerja sama yang lebih luas antara keempat anggotanya, termasuk keamanan.
Shofwan menanggapi hal ini dengan mengingatkan, ASEAN harus menetapkan batas toleransi adanya pakta-pakta pertahanan minilateral di kawasan. ”Harus ada pernyataan sampai pada batas apa kegiatan AUKUS, Quad, dan pakta-pakta lainnya bisa diterima dan dipastikan tidak akan merendahkan sentralitas ASEAN,” ucapnya.