Indonesia di Tengah Pertarungan Geopolitik AS-China
Dinamika geopolitik di Asia Pasifik, terutama terkait rivalitas negara besar berpotensi memicu perang terbuka, yang dapat mengancam kawasan, termasuk Indonesia.
Asia Pasifik, di mana Indonesia berada, merupakan salah satu kawasan yang paling dinamis di dunia dan cenderung bergejolak karena rivalitas kekuatan besar, terutama Amerika Serikat dan China. Laut China Selatan, Laut China Timur, Semenanjung Korea, Selat Taiwan, dan terbaru di Pasifik Selatan, adalah titik-titik panas di kawasan karena menjadi bagian dari proyeksi kekuatan-kekuatan adi daya dunia.
Beragam masalah muncul, dimulai dari konflik akibat upaya perluasan teritorial yang melibatkan pergelaran kekuatan militer, hingga persaingan 'sekutu' yang berpotensi membuat perpecahan di tubuh ASEAN. Upaya penguasaan teritorial terlihat di Laut China Selatan (LCS) dan Laut China Timur (LCT) yang meliputi Taiwan. Di sana China berkonflik dengan AS, negara luar kawasan yang masuk dengan dalih kebebasan navigasi.
Ketegangan juga bereskalasi di Semenanjung Korea karena ancaman senjata nuklir dari Korea Utara. Sekutu China di Asia Timur itu sejak awal 2022 sudah 18 kali menguji coba rudal balistiknya, termasuk sistem rudal antarbenua. Korea Selatan dan sekutunya, AS, juga balas menguji rudal balistiknya untuk pertama kali pada awal Juni ini. Ujicoba itu merupakan peringatan keras terhadap Pyongyang.
Baca juga:Membaca Ambisi China di Tengah Militerisasi Laut China Selatan
Di tengah situasi di kawasan Laut China Selatan dan Laut China Timur yang makin dinamik, titik 'konflik' baru pun muncul pada Mei 2022 di Pasifik Selatan. Beijing mengembangkan langkahnya dengan merangkul negara-negara kecil di Pasifik Selatan ke dalam pakta pertahanan keamanan dengan China. Inggris dan empat negara persemakmuran di Asia Pasifik, pertengahan Juni ini, lantas meresponsnya dengan menghidupkan lagi pakta pertahanan berusia 51 tahun: Five Powers Defense Arrangements (FPDA).
Kebangkitan China, baik secara politik, ekonomi, dan milliter, telah mengejutkan AS dan sekutunya sebagai pemain lama. Mereka berupaya menghidupkan lagi strategi membendung (containment strategy), seperti yang dilakukan AS terhadap Uni Soviet di era Perang Dingin. Namun kini, kemitraan strategis “tanpa batas” China-Rusia yang diikat pada 4 Februari 2022 di Beijing menjadi tantangan terberat AS.
Polarisasi kekuatan
Sebagai bagian Asia Pasifik, Indonesia dan ASEAN, jelas merasakan dinamika itu. Pemerhati kawasan dan pejabat yang terlibat dalam strategi pertahanan nasional bahkan menilai, dinamika yang terkait dengan rivalitas negara besar berpotensi memicu perang terbuka, yang bisa mengancam kawasan, termasuk Indonesia. Itu bukan soal sepele, tetapi ancaman bagi keamanan negara ini ke depannya.
Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Kemenhan RI dan Dosen Pasca-Sarjana Universitas Pertahanan, Rodon Pedrason, mengatakan, persaingan AS-China membuat situasi di kawasan bergejolak dan terjadi polarisasi kekuatan. Hal senada disampaikan pemerhati kawasan Asia Pasifik dan Indo-Pasifik di Departemen Hubungan Internasional Universtas Gadjah Mada, Muhadi Sugiono.
Negara-negara ASEAN, kata Muhadi, terpecah dalam hubungannya dengan dua kekuatan besar yang sedang bersaing. Sekalipun ASEAN berhasil mencapai kompromi dan menghasilkan sikap kolektif yang diwujudkan ke dalam ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP) 2019, misalnya, sikap negara-negara anggotanya dalam merespons persaingan China-AS sangat beragam.
Baca juga: Peran Sentral ASEAN Diperkuat Hadapi Ketidakpastian Ekonomi Global
Menurut Muhadi, ada dua alasan dilematis yang mendasari respons ASEAN secara kolektif terhadap Asia Pasifik, dan Indo-Pasifik umumnya. Pertama, hubungan kuat antara negara-negara ASEAN dengan China, terutama dalam bidang ekonomi. China adalah salah satu mitra ekonomi utama ASEAN atau bahkan paling utama bagi sebagian negara anggota ASEAN secara individual.
Kedua bagi beberapa negara anggota ASEAN yang berkonflik di LCS, China juga dianggap sebagai ancaman, bahkan secara militer. Oleh karena itu, kehadiran AS menjadi penting dan sangat diperlukan untuk mengimbangi kekuatan China. "Dalam situasi dilematis ini, negara-negara anggota ASEAN tidak ingin terjebak ke dalam pilihan biner yang zero sum," katanya
Sementara itu, secara terpisah Rodon memberikan contoh lebih gamblang terkait posisi negara-negara ASEAN. Dalam amatannya, negara-negara ASEAN, seperti Filipina, Thailand, dan Singapura, lebih memilih bersekutu dengan AS. Sementara negara-negara ASEAN lainnya yakni Laos, Kamboja, dan Myanmar lebih condong ke China. “Sedangkan Indonesia, Malaysia, Vietnam, dan Brunei Darussalam masih netral, belum berkiblat ke mana pun,” katanya.
Rodon melihat, eskalasi konflik di LCS dan LCT, sangat mengkhawatirkan. Lebih luas, di kawasan situasinya makin rapuh bila faktor atau isu Taiwan dimasukkan. Situasi itu disebabkan China sedang fokus mengonsolidasikan kekuatannya dalam menghadapi Taiwan, entitas yang didukung AS. Dalam Dialog Shangri-La di Singapura, China terang-terangan menuduh AS memprovokasi konflik. “Ini membuat situasi makin sulit dibendung,” katanya.
Baca juga: AS-China Bersitegang di Laut China Selatan
“Invasi Rusia ke Ukraina oleh AS diperkirakan bisa saja terjadi dalam kasus China-Taiwan; semakin memanaskan situasi di kawasan. Apalagi Presiden AS Joe Biden telah beberapa kali mengisyaratkan bahwa AS akan turun tangan langsung seandainya China akan mencoba menginvasi Taiwan di masa depan,” kata Rodon.
Karakter geopolitik
Kepala Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri (BSKLN) Kemenlu RI Yayan GH Mulyana mengatakan, realita geopolitik Asia Pasifik sangat dinamis dan cair. Selain dicirikan kompetisi dan rivalitas, juga kerja sama. “Setiap perkembangan dan perubahan akan menentukan masa depan stabilitas politik dan ekonomi kawasan, serta langkah politik luar negeri setiap negara, termasuk Indonesia,” katanya.
Menurut Yayan, negara-negara di kawasan menilai pentingnya kerja sama bilateral dan multilateral untuk mencapai stabilitas, perdamaian, dan kemakmuran bersama. Secara multilateral ada sejumlah wahana kerja sama penting bagi kawasan, termasuk APEC, ASEAN, RCEP, dan Forum Negara-negara Kepulauan Pasifik (Pacific Islands Forum/PIF).
Kebangkitan Asia telah berperan penting sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi di kawasan guna menciptakan stabilitas ekonomi dan politik global. Namun, AS dan China menjadikan Asia Pasifik sebagai proyeksi kekuatan mereka. Di sini muncul tantangan keamanan tradisional berupa konflik antar/intra-negara maupun gesekan politik kawasan mulai dari LCS hingga Pasifik.
Asia Pasifik juga dihadapkan pada berbagai tantangan dari aspek keamanan non-tradisional, seperti pandemi, perubahan teknologi, perubahan iklim, dan krisis ekonomi. “Hal itu semua ikut menentukan dinamika geopolitik di kawasan baik itu bagi negara besar maupun kecil,” kata Yayan.
Gubernur Lemhanas Andi Widjajanto melihat ada tumpukan dari beberapa karakter geopolitik di kawasan yang bisa mempengaruhi ke Indonesia. Dia melihat, antara lain, masih ada residu geopolitik klasik yang ditandai upaya penguasaan teritorial, baik soal pulau kecil maupun isu perbatasan, yang disertai pengerahan militer seperti yang masih terjadi di Laut China Selatan.
Ada pula karakter geopolitik yang mirip dengan perebutan hegemoni di masa perang dingin. Kompetisi dan rivalitas AS dan China, yang mulai terasa sejak sekitar tahun 2006-2008, kini menguat. Pada periode itu, pergelaran kekuatan maritim AS dan Inggris di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, mulai mendapat tantangan China di Laut China Selatan – dan India di Samudera Hindia.
Baca juga: Diduga Incar Cadangan Migas, Alasan Kapal Survei China di Laut Natuna Utara
Selain itu, ada karakter geopolitik sumber daya, misalnya terkait sumber minyak, gas, dan mineral, juga semakin terasa. Misalnya, Indonesia-China sempat bersitegang di Natuna Utara. Di sisi yang lain, isu serupa juga terjadi antara China-Malaysia. Masalahnya bukan lagi soal kedaulatan, tetapi hak berdaulat baik di dasar laut maupun permukaan, termasuk pulau-pulau kecil dan gugusan karang.
Lipatan 'persoalan' terakhir ialah geopolitik konektografi (Geopolitik 5.0) dengan konektivitas sebagai ciri utamanya. Karakter geopolitik ini mengimplikasikan bagaimana setiap negara berkolaborasi membentuk konektivitas, menghasilkan integrasi, dan penguatan globalisasi. “Namun, dalam kenyataannya tidak demikian, justru di wilayah tertentu muncul friksi atau ketegangan,” katanya.
Saat ini setidaknya telah ada dua kerangka konektografi. Kerangka pertama telah ditawarkan China, yakni Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI) dengan kata kuncinya adalah pembangunan infrastuktur dan pembiayaan infrastruktur. Kerangka tersebut untuk mendukung megaproyek infrastruktur Beijing, mulai dari Asia Selatan, Asia Tengah, Asia Tenggara, Eropa, hingga pantai timur Afrika.
Baca juga: Dari Djibouti ke Guinea Ekuatorial, China Perkuat Kuku dengan Pangkalan Militer di Afrika
Kedua, konektivitas yang diajukan Washington, yakni Free and Open Indo-Pasifik (FOIP) dengan meletakkan Jepang, Korea Selatan, Singapura sebagai penjuru di kawasan. Strategi khusus FOIP yang digagas Jepang pada 2016 ini diadopsi AS pada 2019. Presiden AS Joe Biden menawarkan konektivitas kerja sama ekonomi dengan kata kuncinya adalah rantai pasok.
Terbuka dan inklusif
Andi melihat, rivalitas atau kompetisi yang meningkat di Asia Pasifik, dipicu oleh setidaknya dua faktor utama, yakni ideologi dan teknologi. Setiap negara yang terlibat berusaha mengembangkan kapasitas dan pengaruhnya, tetapi akibat memiliki ideologi yang berbeda kemudian menimbulkan gesekan yang berpengaruh di pada ekonomi, perdagangan, dan investasi.
Perkembangan atau kemajuan teknologi dinilai turut memicu konflik atau rivalitas. Misalnya, dahulu di era perang dingin, akibat perbedaan ideologi juga muncul blok tenologi berbeda antara AS dan Uni Soviet. Kalau membeli senjata dari AS harus mengikuti doktrin Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), tetapi kalau beli dari blok Timur harus mengikuti doktrin Pakta Warsawa.
Sekarang muncul hal yang sama, tetapi intinya soal rantai pasok. “Misalnya, kalau seseorang sekarang memakai ponsel Samsung, misalnya, berarti blok teknologinya android, kalau iPhone berarti di blok iOS; dan pake Huawei lain lagi, blok teknologi China. Di belakangnya ada jaringannya: ada infrastrukrur 5G, ada satelitnya, dan fiber optic,” katanya.
“Pada dasarnya, kalo kita bicara tentang geopolitik, semua kajian yang saya pelajari, karakternya tetap, yakni ekspansionisme (negara-negara pengusung),” kata Andy lagi.
Menurut Andi, terkait dengan posisi netral atau nonblok suatu negara, termasuk Indonesia, kini telah muncul kajian tentang apa yang namakan konsep zona abu-abu (grey zone). Dalam zona itu, tidak bisa lagi dipilah apakah saat ini kita sedang berada di fase damai atau perang dengan suatu negara lain.
Andi mengutip data Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) tahun 2021. Menurutnya, data yang diperolehnya itu terkait dengan anomali lalu lintas internet di Indonesia sepanjang tahun lalu. Data pada Januari 2021 menunjukkan ada 80 juta anomali lalu lintas internet. Namun, khusus pada Desember 2021 saja, terjadi lonjakan tiga kali lipat menjadi 240 juta anomali.
“Anomali bisa macam-macam. Bisa spam, malware, atau serangan siber. Kita sedang tidak perang dengan siapa pun, kita tidak berkonflik dengan siapa pun. Artinya, kita sudah tidak bisa membedakan apakah kita sedang berada dalam situasi damai atau konflik,” katanya sambil menambahkan bahwa “Kita bisa berbicara dengan China tentang LCS, misalnya”.
Menurut Andi, dengan data anomali lalu lintas internet yang tinggi seperti itu, Indonesia termasuk salah satu negara yang rawan di dunia ini. Dia menyebutkan, sama halnya dalam kasus Rusia-Ukraina. “Kita sudah melihat bagaimana Rusia memulainya dengan Estonia, Georgia, ke Crimea, lalu serangan siber di Ukraina, dan terakhir pada 24 Februari 22 Rusia masuk,” katanya.
Ruang Bersama
Secara terpisah Muhadi mencoba memberikan perspektif tentang bagaimana situasi di kawasan sebaiknya dikelola. Merujuk FOIP, strategi yang diusung AS itu tampaknya sengaja menutup ruang bagi China untuk berpartisipasi. Persoalannya adalah strategi AS itu tidak mendapat dukungan penuh dari ASEAN, misalnya, tetapi justru memicu kontroversi. ASEAN "menolak" konsep Indo-Pasifik yang tidak melibatkan China. ASEAN justru mendorong munculnya kerja sama yang terbuka dan inklusif, termasuk dengan melibatkan China.
Baca juga: China Ubah Strategi di Kepulauan Pasifik, dari Pendekatan Bilateral ke Multilateral Kawasan
Di sisi lain, kompetisi dan rivalitas yang menguat antara AS-China menciptakan tidak hanya tantangan, tetapi juga peluang. Hal itu diungkapkan oleh Yayan. Menurutnya, terdapat ruang bagi Indonesia maupun ASEAN secara kolektif untuk mengelola strategic rivalry AS-China. Indonesia secara khusus, dan ASEAN secara lebih luas, berusaha mendorong kawasan untuk memiliki satu kepentingan bersama.
Dalam kajian BSKLN untuk penyusunan AOIP, Indonesia divisikan memimpin dalam mengubah rivalitas kawasan menuju dialog dan kerja sama. Juga memimpin dalam menggagas pembangunan dan kemakmuran sebagai alternatif dari proteksionisme serta mengkonversi sengketa maritim menjadi domain maritim yang terintegrasi.
“Ketika konsep AOIP dicetuskan, itu diharapkan menjadi solusi atas dinamika geopolitik kawasan dan menjadi jembatan bagi perbedaan pandangan dan kepentingan negara kuat,” kata Yayan.
Untuk mencapai kawasan yang stabil dan damai, Indonesia harus mempertahankan komitmen yang kuat terhadap prinsip dasar kebijakan luar negeri yang “bebas dan aktif”. Komitmen ini berarti Indonesia tidak akan masuk ke dalam aliansi formal manapun, tetapi akan secara aktif mengejar peningkatan hubungan bilateral baik dengan AS maupun China.
Dialog dan kolaborasi
Menurut Yayan, Indonesia harus secara konsisten mendorong penyelesaian berbagai isu melalui kerangka mekanisme bilateral maupun multilateral yang diterima oleh komunitas internasional. Dengan itu, persoalan atau ketegangan yang muncul tidak diserahkan kepada aliansi kepentingan pertahanan kelompok yang lebih sempit dan hitam putih.
Lebih lanjut ia menjelaskan, Indonesia harus terus mendorong dialog dan kolaborasi sebagai cara utama untuk menavigasi dinamika geopolitik yang ada di kawasan dan menghindari upaya kompetisi dan persaingan. Salah satu bentuknya adalah AOIP yang menjadikan aspek ekonomi sebagai fundamental dari keamanan dan stabilitas di kawasan.
Baca juga: Anomali Trafik Internet Lebih dari 1,6 Miliar
Dalam menghadapi realitas, dinamika, dan tantangan di Asia Pasifik, Indonesia harus mencari cara menempatkan diri atau mengambil posisinya di kawasan. Begitu pula ketika Indonesia tetap mempertahankan sikap bebas dan aktifnya, yang dinilai sebagai prinsip yang menguntungkan, di mana Indonesia dapat dengan leluasa bermanufer dalam diplomasi. Dengan itu pula, Indonesia dapat fokus menjalankan politik luar negerinya. Namun, bebas dan aktif bukan merupakan politik netral.