Jakub Jarowski, Cinta di Tengah Kecamuk Perang Ukraina
Jakub Jarowski menggalang dana dari kerabat dan kenalannya untuk membiayai kegiatan kemanusiaan di Kharkiv, Ukraina. Seluruh hasil penggalangan dana itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan para pengungsi perang Ukraina.
Sampai Februari 2022, Jakub Jarowski (41) tidak punya pengalaman menjadi sukarelawan. Perang Rusia-Ukraina membuatnya menjadi sukarelawan. Bukan hanya tidak menerima imbalan dalam bentuk apa pun, ia malah mengeluarkan uang untuk mendanai kegiatannya menolong para korban perang di sejumlah wilayah Ukraina.
Sejak awal Juni 2022, ia tinggal di salah satu stasiun kereta bawah tanah di Kharkiv, sekitar 480 kilometer sebelah timur Kyiv, Ukraina. Kala ditemui pada awal Juli 2022, ia baru kembali dari pasar. ”Membeli sandal dan obat. Ada pengungsi butuh,” kata warga Polandia itu.
Beberapa hari sebelumnya, seorang perempuan pengungsi di stasiun tersebut menemui Jarowski dan menunjukkan alas kakinya yang rusak. Perempuan ini sudah tinggal di stasiun kereta bawah tanah itu sejak perang meletus pada 24 Februari 2022. Karena masih harus melakukan hal lain, Jarowski tidak bisa segera membelikan sandal baru untuk perempuan tersebut.
Baca juga : Hunian ”Mewah” di Kolong Tanah Kharkiv (Bagian 32)
Perempuan itu adalah salah satu dari jutaan warga Ukraina yang tidak bisa kembali ke tempat tinggalnya sekaligus tidak bisa pula mengungsi ke luar negeri. Saat jutaan warga Ukraina meninggalkan negara itu, Jarowski malah masuk ke sana.
Jarowski meninggalkan Lauceston, Inggris, pada awal Maret 2022 dengan niat berbeda. Meski tetap menjadi warga Polandia, ia tinggal di Inggris sejak berumur 22 tahun.
Ia datang bersama beberapa orang yang sudah dikenalnya sejak lama. Beberapa kenalannya mengajak orang lain. ”Niat awal kami bergabung dengan legiun asing. Kami meyakini itu cara terbaik membantu Ukraina,” ujar ayah empat anak itu.
Sebelum menjadi sukarelawan di Ukraina, Jarowski sehari-hari menjadi tukang daging. Ia mengaku bisa menggunakan senjata api. Bahkan, ia datang dengan membawa seragam loreng dan aneka perlengkapan kamuflase. ”Hanya, senjata api tidak bisa kami bawa. Kami tidak punya izin membawa senjata api lintas negara, apalagi senjata standar militer untuk keperluan perang,” katanya.
Dari informasi yang mereka dapat, senjata api bisa diperoleh begitu tiba di Ukraina. Karena itu, mereka tidak merisaukan akan membawa apa di medan perang. Ia bisa mendapat informasi itu karena pernah bekerja di sektor keamanan dan masih punya banyak kenalan di sektor tersebut. Ia meninggalkan sektor itu dan menjadi tukang daging karena ingin hidup lebih tenang dan mengurangi tekanan.
Berubah niat
Dari Inggris, Jarowski dan rekannya terbang ke Krakow, Polandia. Kota itu tempat mendiang Paus Paulus II pernah belajar sekaligus menjadi uskup. Dari Krakow, mereka melanjutkan perjalanan ke Jaroslaw yang terletak 30 kilometer di barat perbatasan Polandia-Ukraina. Distrik kecil ini merupakan tempat keluarga besarnya berasal. Jarowski tiba di distrik tersebut pada 6 Maret 2022.
Dalam kondisi normal, perjalanan dari Jaroslaw ke perbatasan rata-rata 30 menit. Saat Jarowski dan rekannya tiba, butuh waktu perjalanan lebih lama. Sebab, tenda untuk membantu pengungsi sudah menyebar di sejumlah daerah sekitar perbatasan Ukraina-Polandia.
Baca juga : Teka-teki Kekuatan Besar dalam Perang Rusia-Ukraina
Sebagai ayah empat anak, ia mengaku terguncang menyaksikan begitu banyak anak-anak berada di tempat pengungsian. Ia tidak menyangka bisa melihat pemandangan itu setelah berpuluh tahun kerap mendengar cerita kakek buyutnya yang harus menjadi pengungsi sejak masih balita. ”Kakek buyut saya dari Kharkiv dan mengungsi ke Jaroslaw waktu umur tiga tahun,” kata Jarowski.
Dari berniat bergabung dengan legiun asing, Jarowski memutuskan menjadi pekerja kemanusiaan. ”Sudah cukup pembunuhan. Saya harus terlibat menyelamatkan nyawa sebanyak-banyaknya. Teman-teman saya juga berpikir demikian,” ujar penggemar klub sepak bola Arsenal itu.
Baca juga : Perang Pertama Gelenna (Bagian 9)
Setelah memutuskan hal tersebut, ia memberikan seluruh perlengkapan tempur kepada orang lain yang tetap mau masuk Ukraina sebagai milisi asing. Polandia memang menjadi pintu masuk utama menuju Ukraina. Kepala negara, pejabat pemerintahan, pekerja lembaga internasional, milisi, hingga sukarelawan kemanusiaan mampir ke Polandia sebelum menuju ke Ukraina. Karena itu, mudah bagi Jarowski mencari orang yang mau membawa perlengkapan tempurnya.
Berbekal kasih
Bekal utama Jarowski menjadi pekerja kemanusiaan adalah kasih. Bekal selanjutnya adalah lancar berbahasa Inggris dan Polandia serta paham kultur Ukraina-Polandia.
Kasih menjadi menjadi bekal utamanya karena hanya itu alasan dia mau menjadi sukarelawan yang sama sekali tidak menerima bayaran dalam bentuk apa pun. Bahkan, ia tidak bergabung dengan satu pun organisasi internasional bidang kemanusiaan.
Baca juga : Roket Sasar Peternakan dan Sekolah
”Selama di perbatasan, banyak sekali tawaran bergabung dari berbagai lembaga. Saya menolak semua karena khawatir terikat dan malah menjadi beban,” ucap Jarowski.
Di Kharkiv, ia memang bergabung dengan Mobilife, organisasi kemanusiaan lokal. Ia harus bergabung dengan organisasi itu karena perlu izin dari lembaga yang jelas untuk memasuki daerah tertentu. Perang membuat akses ke sebagian wilayah Ukraina dibatasi untuk orang tertentu saja. Dengan menjadi sukarelawan di Mobilife Kharkiv, Jarowski bisa mendapat pengantar untuk melewati pos pemeriksaan kala mengantarkan paket bantuan ke garis depan.
Baca juga : Merindukan Sup ”Borscht” di Parit Perlindungan
Sejumlah orang memang menolak atau tidak bisa mengungsi, meski tempat tinggalnya jadi sasaran pengeboman beberapa kali dalam sehari. Orang-orang itu tetap membutuhkan makanan, obat-obatan, dan aneka kebutuhan lain. Pasar dan toko sudah tidak beroperasi sehingga sumber pasokan hanya dari kiriman Jarowski dan sukarelawan lain.
”Di perbatasan sudah banyak yang menolong. Di garis depan justru masih kekurangan orang karena berbagai organisasi tidak mau mengirimkan sukarelawan karena alasan keamanan,” ujar Jarowski.
Saat mengantar paket bantuan, ada risiko mobil yang ditumpangi Jarowski tertembak atau bahkan terkena rudal. ”Kalau memang harus terjadi, terjadilah. Saya sudah hidup cukup lama,” katanya.
Kuras tabungan
Bukan hanya menolak imbalan, Jarowski malah menguras tabungan untuk mendanai kegiatannya di Ukraina. Bahkan, ia menggalang dana dari kerabat dan kenalannya untuk membiayai kegiatan kemanusiaan di Kharkiv. Seluruh hasil penggalangan dana itu digunakan untuk keperluan pengungsi.
Baca juga : Rentetan Ledakan Bom Mengubah Kharkiv seperti Kota Mati (Bagian 29)
Untuk kehidupannya sehari-hari, Jarowski menggunakan uang pribadi. Ia juga memilih tinggal bersama pengungsi di stasiun kereta bawah tanah. Dengan demikian, pengungsi bisa senantiasa menghubunginya jika memerlukan apa-apa.
Stasiun kereta bawah tanah adalah salah satu tempat aman karena ditutup beton dan tanah setebal total lebih dari 20 meter. Rudal-rudal yang meledak di Kharkiv rata-rata menghasilkan lubang sedalam 2 meter. ”Tidak semua kota punya stasiun seperti ini. Tidak semua kota ada peluang menyelamatkan diri seperti ini,” ujar Jarowski.
Salah satu kota yang tidak menyediakan peluang untuk penyelamatan bagi warganya adalah Mariupol, Donetsk. Ia menunjukkan beberapa video yang direkam pada hari-hari selama ia berada di Mariupol. Ia masuk ke sana kala kota itu dikepung ketat dan digempur oleh Rusia dan milisi pendukungnya tanpa henti dengan artileri, rudal, roket, dan mortar.
Keinginan untuk membantu warga sipil yang terperangkap di sana membuat Jarowski tidak merasakan takut sama sekali. ”Anak-anak jadi alasan saya menolong,” ujarnya.
Baca juga : Banyak Pembatasan akibat Perang Ukraina, Penting Tetap Jaga Kewarasan (Bagian 5)
Jarowski lega, empat anaknya bisa hidup tenang di Lauceston. ”Mereka jauh dari bom, tidak menggigil dan kekurangan makan selama musim dingin, tidak perlu merasakan kengerian perang. Berbeda sekali dengan nasib anak-anak di sini,” katanya.
Di Mariupol, Jarowski mengantarkan paket pangan dan obat-obatan. Selepas mengantar paket dan keluar dari Mariupol, ia membawa sebanyak mungkin warga sipil keluar dari kota yang kini diduduki Rusia itu. Suara ledakan menjadi bagian kehidupannya sehari-hari di Mariupol dan kini di Kharkiv.
Di antara ledakan, Jarowski menunjukkan cinta kasih luar biasa kepada ribuan orang yang baru dikenalnya. ”Saya cuma orang biasa. Menggalang sumbangan saja tidak bisa karena saya bukan orang terkenal, dan orang tidak yakin saya bisa dipercaya atau tidak. Bukan masalah bagi saya dan tidak perlu dipikirkan. Saya bahagia bisa menolong dengan semua keterbatasan dan kemampuan saya,” tuturnya.
-------
Nama: Jakub Jarowski
Lahir: Jaroslaw, 25 Juli 1980
Pekerjaan:
- Sukarelawan kemanusiaan di Ukraina
- Tukang daging di Lauceston, Inggris
- Konsultan lepas sektor keamanan