Teka-teki Kekuatan Besar dalam Perang Rusia-Ukraina
Rusia dengan kemampuan militernya, termasuk cadangan senjata nuklirnya, dianggap sebagai alasan negara itu disebut salah satu kekuatan besar. Namun, struktur perekonomian Rusia tidak sekokoh dan sekompleks banyak negara.
Setelah 4,5 bulan membara, perang Rusia-Ukraina sekali lagi memicu pertanyaan soal penggolongan negara besar dan negara kecil. Sejumlah palagan di negara lain selama beberapa puluh terakhir juga kerap mendamparkan pertanyaan tentang kelayakan suatu negara disebut lemah atau kuat.
Hingga Kamis (7/7/2022), mayoritas persenjataan yang dijanjikan Amerika Serikat dan sekutu serta mitranya belum diterima Ukraina. Dalam sejumlah pernyataan, Kementerian Pertahanan, Dewan Keamanan Nasional, dan Markas Besar Angkatan Bersenjata Ukraina membenarkan itu.
Oleh karena itu, Kyiv masih mengandalkan persenjataan lama dan sedikit persenjataan dari Washington dan sekutu serta mitranya untuk menghadapi gempuran Moskwa. Penguasa Darurat Militer Zaporizhia, Oleksandr Starukh, mengatakan bahwa pasukan Ukraina di Zaporizhia mulai bisa mengimbangi Rusia. Pasokan artileri dan rudal antitank AS dan sekutunya menjadi faktor utama perimbangan itu.
”Kini kami bisa membalas lebih baik,” katanya.
Kemenhan Ukraina mengindikasikan peluncur roket multilaras gerak cepat (HIMARS) dari AS ditempatkan di Zaporizhia. Sebelum memberi HIMARS, Presiden AS Joe Biden meminta Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mematuhi satu syarat: apa pun alasannya, Ukraina tidak akan menembak wilayah Rusia dengan persenjataan dari AS.
Baca juga: Militer Picu Kebingungan, Zelenskyy Mendadak Panggil Panglima Ukraina
Direktur Intelijen Nasional AS Avril D Haines dan mantan Juru Bicara Kementerian Pertahanan AS John Kirby memberi alasan syarat itu harus dipatuhi Ukraina. ”Kami dalam posisi membantu Ukraina sekaligus tidak mau memicu Perang Dunia III dan kami tidak mau berada di situasi para pihak menggunakan senjata nuklir,” kata Haines.
Kirby, yang kini menjadi Koordinator Komunikasi Dewan Keamanan Nasional AS, menyebut bahwa AS tidak mau memprovokasi Presiden Rusia Vladimir Putin. Karena itu, AS menolak usul Polandia menggunakan pangkalan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Rzesow, Polandia, sebagai pangkalan pengiriman jet MiG-29 untuk Ukraina. Polandia sudah menyatakan siap mengumpulkan MiG dari beberapa negara lalu disumbangkan ke Ukraina.
”Komunitas intelijen berpendapat bahwa menghibahkan MiG-29 ke Ukraina adalah pemicu ketegangan jika dikirimkan dari pangkalan NATO,” ujarnya.
Baca juga: Donetsk Perlu Evakuasi Massal
Sebelum Haines dan Kirby, Menteri Pertahanan Perancis Florence Parly juga menyebut nuklir Rusia sebagai alasan Perancis dan NATO tidak mau terlibat langsung dalam perang Rusia-Ukraina. Paris memilih memasok aneka persenjataan kepada Kyiv, alih-alih mengirimkan pasukan untuk terlibat perang di Ukraina.
Asumsi
Pengajar Kajian Strategis pada University of St Andrews Skotlandia, Phillips Payson O’Brien, menyebut pendapat-pendapat itu berpangkal dari asumsi Rusia sebagai kekuatan besar. ”Kemampuan militer Rusia, termasuk cadangan senjata nuklirnya dan disebut sebagai salah satu tentara terbesar di dunia, dianggap sebagai alasan kekuatannya,” katanya.
Sejak masih menjadi kekaisaran, Rusia sudah dianggap kekuatan besar. Hal itu, antara lain, dibuktikan dengan kehadiran Rusia dalam Congress of Vienna pada 1815.
Baca juga: Ukraina di Tengah Dua Kekaisaran
Selain Rusia, kongres itu dihadiri perwakilan Austro-Hongaria, Inggris, Perancis, dan Prusia. Dalam surat pada 13 Februari 1815, Menteri Luar Negeri Inggris Lord Castlereagh menyebut peserta pertemuan tersebut sebagai kekuatan besar. Lord Castlereagh disebut sebagai orang pertama yang memopulerkan istilah ”Kekuatan Besar”.
Pada 1833, sejarawan Jerman, Leopold von Ranke, menerbitkan esai berjudul ”The Great Powers” yang makin mematangkan istilah ”Kekuatan Besar”. Bagi Von Ranke, negara bisa disebut kekuatan besar jika mampu menghadapi negara lain dalam segala kondisi.
Sementara sejarawan Inggris yang fokus pada diplomasi Eropa, AJP Taylor, termasuk yang menganjurkan militer sebagai tolok ukur kekuatan negara. Pakar sejarah hubungan internasional, Paul Kennedy, menambah ukurannya dengan letak geografis, kesehatan anggaran, serta ukuran dan ekonomi.
Dengan kriteria dari Taylor dan Kennedy serta pertemuan Vienna pada 1815, Rusia memang bisa disebut kekuatan besar. Dari sisi militer saat ini, Rusia mempunyai 6.375 bom nuklir dan 1.625 di antaranya siap meluncur sewaktu-waktu.
Baca juga: Militer Rusia Menghadapi Kekuatan Ukraina dan NATO
Hulu ledak itu dipasang di berbagai rudal jelajah dan rudal balistik antarbenua (ICBM), seperti R-36M. Setiap R-36M bisa mengangkut hingga 10 hulu ledak dengan tujuan berbeda. Selain R-36M, Rusia masih memiliki UR-100N, RT-2PM, aneka varian R-29, dan RS-24. Moskwa juga mempunyai beberapa jenis ICBM yang dapat diluncurkan dari laut (SLBM), seperti RSM-56 dan RSM-54. Meskipun R-36M sudah disebut sebagai ICBM terbaik Rusia, Moskwa tetap berusaha menggantikan R-36M. Kini, Moskwa tengah mengembangkan RS-28 Sarmat.
Washington dan rekan-rekannya juga dipusingkan dengan Kinzhal, Avangard, dan Tsirkon. Trio itu merupakan nama persenjataan hipersonik Rusia yang bertahap beroperasi sejak 2018. Kecepatan dan kemampuan manuver membuat persenjataan hipersonik tidak bisa ditangkis dengan sistem pertahanan saat ini.
Sistem saat ini dibuat untuk roket, rudal, dan peluncur yang bergerak mengikuti hukum balistik sehingga bisa diperkirakan akan dicegat di mana. Sementara persenjataan hipersonik bisa berbelok-belok sebelum menghantam sasaran.
Paradoks
Dalam laporan pada 2017, Badan Intelijen Pertahanan (DIA) mengungkap paradoks kekuatan Rusia dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2008, pasukan Rusia terlihat amat terbatas selama menyerang Georgia. Operasi itu menguatkan dugaan militer Rusia melemah selepas Uni Soviet bubar.
Sebaliknya, pada 2014, Rusia membuat dunia tercengang karena begitu cepat dan disiplin menduduki Semenanjung Crimea. Dunia melihat program transformasi yang dilancarkan Menteri Pertahanan Rusia Sergey Shoigu sejak 2012 mulai menunjukkan hasil.
”Militer Rusia yang baru adalah alat yang bisa mengukuhkan ambisi Moskwa menjadi kekuatan terdepan di dunia multipolar,” demikian tercantum dalam laporan itu.
Baca juga: Ulang Strategi di Suriah-Chechnya, Militer Rusia Hanguskan Kota-kota Ukraina
Dalam sejumlah laporan terpisah, NATO terkejut dengan aneka persenjataan baru Rusia dalam operasi di Suriah. NATO pertama kali melihat rudal jelajah Iskander ditembakkan dari Laut Kaspia untuk menghantam berbagai sasaran di Suriah.
Sementara dalam perang Ukraina, paradoks kekuatan Rusia kembali terpampang. Di satu sisi, Rusia kerepotan karena sejauh ini baru bisa menguasai penuh Luhanks dan hampir 90 persen Kherson. Adapun penguasaan di Donetsk dan Zaporizhia nyaris setara antara Rusia dan Ukraina. Padahal, Rusia telah mengerahkan ribuan tank dan kendaraan lapis baja. Rusia juga menggunakan jutaan butir peluru, rudal, roket, dan mortar.
Panglima Angkatan Bersenjata Ukraina Jenderal Valerii Zaluzhnyi menyebut, di Luhansk dan Donetsk saja Rusia menembakkan rata-rata 2.000 butir peluru artileri medan setiap jam. Moskwa masih menambahnya dengan roket, mortar, dan rudal. Menteri Pertahanan Ukraina Oleksii Reznikov sampai menyebut setiap tembakan artileri Ukraina akan dibalas hingga 15 kali oleh Rusia.
Di sisi lain, Rusia menunjukkan kemajuan persenjataan dan modifikasi taktik perang modern. Seperti diakui sejumlah anggota pasukan Ukraina, Rusia menggunakan pesawat nirawak untuk mengintai posisi lawan dan memperbaiki target serangan. Perpaduan satelit dan pesawat nirawak dipakai untuk memandu rudal dan roket ke sasaran.
Baca juga: Produsen Persenjataan Untung Besar dalam Jangka Panjang
Ukraina pun tidak kalah hebat. Rudal Neptunus buatan Ukraina menunjukkan kebolehan kala dipakai menenggelamkan kapal perang Rusia di Laut Hitam, Moskwa. Kyiv disebut menggunakan pesawat nirawak untuk mengecoh sistem pertahanan kapal itu. Akibatnya, kapal perang terbesar Rusia di Laut Hitam itu gagal menangkis Neptunus.
Bagi O’Brien, perkembangan perang di Ukraina menjadi alasan kekuatan Rusia dinilai berlebihan. ”Pasukan Rusia memberi kita kesempatan memikirkan ulang apakah yang dimaksud kekuatan besar? Perang ini menunjukkan militer hanya mencerminkan masyarakat, ekonomi, dan struktur politik suatu negara. Jika semua itu kuat, militernya bisa kuat,” katanya.
Meski berstatus sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terbesar ke-10 dunia, struktur perekonomian Rusia tidak sekokoh dan sekompleks banyak negara. Perekonomian Rusia bersandar pada penjualan hasil bumi, bukan penjualan hasil industri maju. Dari sisi teknologi, Rusia sulit masuk 10 besar.
Bagi O’Brien, struktur ekonomi, sosial, dan politik Rusia menjadi salah satu alasan militernya tidak bisa bergerak cepat menguasai Ukraina. Memang, ia tidak menyinggung bantuan besar-besaran AS dan sekutu serta mitranya kepada Ukraina. Ia tidak menyinggung Ukraina hanyalah arena perang lain bagi Rusia di satu sisi dan AS serta sekutu dan mitranya di sisi lain.
Di Suriah, Rusia membantu pemerintah dan AS menyokong oposisi. Di Libya, mereka bertukar posisi. AS mendukung habis-habisan pemerintahan Libya, sementara Rusia menyokong Khalifa Haftar yang memusatkan kekuasaan di timur. Adapun di Afghanistan, Rusia dan AS sama-sama pernah terusir.