Madeleine Albright, Kredo ”Negara Tak Tergantikan”, dan Segores Penyesalannya
Madeleine Albright, perempuan pertama yang menjabat sebagai menteri luar negeri di Amerika Serikat, meninggal dunia dalam usia 84 tahun. Ia dikenang sebagai pelopor, sekaligus diplomat yang keras dalam bertindak.

Dalam foto yang diambil pada 30 April 1998 ini, Presiden China Jiang Zemin (kanan) menyerahkan surat untuk Presiden Amerika Serikat Bill Clinton kepada Menteri Luar Negeri AS Madeleine Albright di Beijing, China. Sebelumnya, Albright juga menyerahkan surat ucapan Clinton kepada Jiang. Albright meninggal dalam usia 84 tahun, Rabu (23/3/2022).
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat periode 1997-2001 Madeleine Albright diingat banyak kalangan, salah satunya oleh kebiasaannya mengenakan perhiasan sebagai bentuk pesan diplomasinya. Jika bros bermotif balon atau bunga dikenakan, itu mengindikasikan ada hawa optimisme. Apabila brosnya berbentuk kepiting atau kura-kura, ada rasa frustrasi yang tersimpan.
Albright berpulang pada usia 84 tahun, Rabu (23/3/2022) waktu Amerika Serikat atau Kamis (24/3/2022) waktu Indonesia. Dalam keterangan pers, ketiga putri Albright mengungkapkan bahwa ibunda mereka meninggal akibat kanker. Presiden AS Joe Biden memerintahkan pengibaran bendera AS setengah tiang di Gedung Putih dan kantor-kantor pemerintahan, termasuk kedutaan-kedutaan besar AS, hingga 27 Maret ini.
Para pemimpin dunia, diplomat, dan akademisi mengenang Albright sebagai seorang pionir (trailblazer) di panggung dunia. Ia menjabat Duta Besar AS untuk PBB pada 1993-1997 semasa termin pertama pemerintahan Presiden Bill Clinton. Albright dilantik menjadi menlu—perempuan pertama menlu AS—ketika Presiden Bill Clinton menjalani termin keduanya pada 1997-2001.
Clinton menyebutnya sebagai ”salah satu menteri luar negeri terbaik, duta besar untuk PBB yang menonjol, profesor brilian, dan sosok manusia luar biasa”. ”Dan, dengan itu semua,” lanjut Clinton, ”hingga percakapan kami terakhir dua pekan lalu, dia tak pernah kehilangan rasa humor dan tekad kuatnya untuk keluar mengenakan sepatu, mendukung Ukraina memperjuangkan kebebasan dan demokrasi.”
”Madeleine Albright adalah kekuatan. Dia menerabas kebiasaan dan menembus hambatan-hambatan berulang-ulang,” kata Biden. ”Madeleine tidak hanya cerdas. Ia benar-benar membuat sejarah bagi bangsa AS.”
Kiprah diplomatik Albright, seperti dicatat The Economist, terbentang saat panggung dunia mengalami periode yang tenang. Periode antara akhir Perang Dingin dan awal ”perang global terhadap teror” yang dipicu serangan kelompok militan Al Qaeda di AS pada 11 September 2001. Ada sejumlah konflik regional di Bosnia-Herzegovina, Kosovo, Haiti, Irlandia Utara, dan Timur Tengah. Namun, tak ada perang besar.

Menteri Luar Negeri AS Madeleine Albright berjabat tangan dengan tentara AS dalam kunjungan ke Pangkalan Udara AS Eagle, dekat Tuzla, Bosnia, 30 Agustus 1998.
Itu periode saat AS mulai berada di puncak status sebagai hyperpower—sebutan yang dilontarkan Perancis—tetapi belum yakin atau mungkin terlalu percaya diri dalam menggunakan kekuatannya secara unilateral.
Kredo ”negara tak tergantikan”
Albright suka menggunakan istilah ”negara yang tak tergantikan” (the indispensable nation) untuk merujuk pada posisi AS dalam percaturan internasional. Istilah itu dimaksudkan untuk menonjolkan gagasan bahwa partisipasi AS dalam multilateralisme sangat utama agar sistem multilateralisme itu bisa berfungsi.
Namun, di mata para pengkritiknya, kredo itu kerap dimanfaatkan sebagai alasan pembenar bagi AS untuk menekan negara lain melalui ancaman serangan militer, seperti terjadi pada 1998, saat Irak di bawah kepemimpinan Presiden Saddam Hussein bersitegang dengan PBB terkait pemeriksaan senjata dan ancaman sanksi-sanksi.
”Jika kami harus menggunakan kekuatan, itu karena kami bangsa Amerika; kami negara yang tak tergantikan. Kami berdiri tegak menjulang dan kami mampu meneropong lebih jauh ke depan dibandingkan negara-negara lain, dan kami mampu melihat ancaman di sini bagi kami semua,” kata Albright.
Di masa tugasnya, Washington enggan terlibat dalam dua krisis terbesar kebijakan luar negeri era tahun 1990-an, yakni genosida di Rwanda dan Bosnia-Herzegovina. Pada era itu, Albright bersuara keras. Ia mendorong Washington mengambil tindakan tegas pada kelompok-kelompok nasionalis Serbia di Bosnia yang menggempur Sarajevo dan melancarkan aksi pemusnahan massal terhadap warga Muslim di Bosnia.
Pada 1993, ia membuat Kepala Staf Gabungan AS Colin Powell kebakaran jenggot. ”Pesan konsisten saya yang tak disambut baik di semua pertemuan tentang Bosnia adalah bahwa kami tidak akan menggunakan kekuatan militer hingga kami memiliki tujuan politik yang jelas,” kenang Powell dalam memoarnya. Merespons hal itu, Albright menyeletuk dengan nada bertanya, ”Apa gunanya punya kekuatan militer hebat yang selalu Anda sebut-sebut jika kita tidak bisa menggunakannya?”
Baca juga: Colin Powell, Memori Kelam Perang Irak, dan Peninggalan Doktrin Militernya
Pada awal pemerintahan Clinton, Albright tidak berhasil mendorong Washington mengambil tindakan tegas dalam krisis di Bosnia. Kasus tewasnya 18 tentara AS di Mogadishu, Somalia, tahun 1993 disebut-sebut membuat Clinton menarik partisipasi AS dari misi-misi pasukan perdamaian PBB dalam krisis genosida di Rwanda pada 1994. Washington pada awalnya juga enggan terlibat dalam krisis perang saudara di Bosnia 1992-1995.
AS baru turun tangan setelah genosida oleh kelompok nasionalis Serbia menewaskan sekitar 8.000 Muslim Bosnia hingga tercapai kesepakatan damai Dayton yang mengakhiri perang Bosnia setahun kemudian.

Menlu AS Madeleine Albright (kanan) menyampaikan pidato dalam acara pembukaan jembatan penyeberangan di atas Sungai Sava, Brcko, sekitar 200 kilometer utara Sarajevo, Bosnia, 1 Juni 1997. Jembatan itu sebagai penghubung antara Bosnia dan Kroasia.
Melalui memoarnya yang terbit tahun 2003, Albright menyatakan penyesalan terbuka atas kegagalan AS dan komunitas internasional bertindak lebih dini mencegah dan menghentikan kejahatan-kejahatan kemanusiaan tersebut.
Pelajaran pahit di Rwanda dan Bosnia mendorong AS mengambil langkah berbeda di Kosovo saat Washington melihat Serbia memulai program pemusnahan etnis Albania. Pada 1999, Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) melancarkan serangan udara selama 11 pekan di Kosovo hingga Belgrade. Operasi di Kosovo bermuara pada deklarasi kemerdekaan wilayah itu meski tidak diakui secara internasional.
Keterlibatan AS di Kosovo itu menjadi salah satu ”momen paling membanggakan” bagi Albright. ”Ada satu generasi anak-anak perempuan (di sana) memilih nama Madeleine sebagai nama pertama mereka,” sebut Albright.
Namun, dengan rekam jejaknya dalam krisis Balkan itu, sosok Albright ditangkap dalam citra bertolak belakang: di Serbia disebut sebagai ”pembenci Serbia”, sedangkan di Kosovo dan Bosnia sebagai ”pahlawan”. Pejabat Serbia memilih diam tanpa menyampaikan dukacita atas meninggalnya Albright.
Sebaliknya di Kosovo, PM Albin Kurti menyatakan, ”Intervensi NATO di Kosovo untuk menghentikan genosida Serbia pada musim semi tahun 1999 jelas menjadi stempel kehormatan Madeleine Albright dan kami akan berterima kasih selamanya kepada beliau.”
Jangan biarkan Arafat lolos
Seperti menlu-menlu AS sebelum dan setelahnya, Albright juga berupaya melakukan mediasi perundingan damai antara Palestina dan Israel. Namun, upaya mediasi itu buyar menyusul peristiwa Intifada Kedua, September 2000.
Ada cerita menarik di salah satu perundingan yang digelarnya. Beberapa hari setelah Intifada Kedua itu meletus, Albright mempertemukan PM Israel Ehud Barat dan Pemimpin Palestina Yasser Arafat di Kedutaan Besar AS di Paris, Perancis. Pertemuan itu digelar untuk menghentikan pertumpahan darah yang terjadi di tengah Intifada.

Foto tanggal 3 September 1999 ini memperlihatkan Menlu AS Madeleine Albright ikut mendengarkan saat Pemimpin Palestina Yasser Arafat berbicara melalui telepon dengan Presiden AS Bill Clinton dalam pertemuan di kantor Arafat di Gaza City, 3 September 1999.
Saat itu Arafat berupaya keluar meninggalkan ruang pertemuan. Albright dengan sepatu bertumit tinggi lari mengejarnya menuju pintu. Ia memerintahkan marinir penjaga ruangan untuk menutup semua pintu agar Arafat tak bisa lolos keluar. ”Tutup semua pintu!” teriak Albright. Arafat kembali ke meja pertemuan. Namun, tak ada kesepakatan dibuat.
Pada 2000, Albright melawat ke Pyongyang, Korea Utara, untuk menekan Pemimpin Korut Kim Jong Il agar mau mengakhiri program nuklir negaranya. Ia menjadi pejabat tertinggi AS yang berkunjung ke Korut. Misi lawatan itu tidak membuahkan hasil.
Selama menjalani tugas diplomatiknya, Albright bertemu dengan banyak sosok diktator dan pemegang kekuasaan otoriter. Beberapa pemimpin diktator yang pernah ditemuinya, selain Kim Jong Il, misalnya Hafez al-Assad dari Suriah dan pemimpin pemberontak Sierra Leone Foday Sankoh.
Latar belakang pengungsi
James O'Brien, penasihat senior bagi Albright selama perang Bosnia, menyebut pengalaman Albright sebagai pengungsi memengaruhi sikap Albright untuk mendorong AS menggunakan kekuatan superpower-nya. Dia menginginkan ”internasionalisme yang penuh kekuatan” (muscular internationalism), ujar O'Brien.
Albright lahir dengan nama Maria Jana Korbelova di Praha, Cekoslovakia, pada 1937. Sejak kecil, nama panggilan kesayangannya adalah Madla. Ayahnya, Josef Korbel, seorang diplomat yang bertugas di Beograd, Yugoslavia. Berkat karier sang ayah, Madla sudah terbiasa hidup berpindah-pindah. Bahkan, pada usia 11 tahun ia fasih berbicara empat bahasa.
Baca juga: Biden Berurusan dengan Xi, Bukan Li
Keluarga Korbel pertama kali mengungsi pada 1939 karena tanah air mereka dikuasai oleh partai Nazi. Seperti dilansir dari BBC, mereka lari ke Inggris. Di sana, Korbel tetap bekerja sebagai diplomat untuk Cekoslovakia sambil melakukan siaran untuk BBC sebagai pengamat politik Eropa. Mereka kembali ke kampung halaman setelah Perang Dunia II berakhir pada 1945.
Namun, hari-hari bahagia mereka di Cekoslovakia tidak lama. Negara itu segera menganut ideologi komunis dan menjadi bagian dari Uni Soviet. Korbel, yang ketika itu menjadi akademisi, mengetahui bahwa dirinya adalah incaran pemerintah komunis karena memiliki sikap yang kritis. Ia kemudian memboyong keluarganya pindah ke AS pada 1948. Madeleine adalah nama yang ia adopsi setelah dinaturalisasi menjadi warga negara AS pada 1950-an ketika ia sedang duduk di bangku kuliah.

Pemimpin Korea Utara Kim Jong Il (kiri) bersulang dengan Menlu AS Madeleine Albright dalam sesi makan malam di Pyongyang, Korea Utara, 24 Oktober 2000.
Mereka tinggal di Denver, Negara Bagian Colorado, tempat Korbel menjadi dosen ilmu politik. Selama berkuliah, Madla magang di sebuah media cetak lokal. Di sana, ia bertemu dengan Joseph Albright, seorang wartawan muda yang kemudian menjadi suaminya. Mereka memiliki tiga anak perempuan, yaitu Anne, Alice, dan Katherine. Pernikahan Madeleine dengan Joseph berakhir 23 tahun kemudian dan mereka resmi bercerai pada 1982.
Saat itu, Madeleine telah memiliki karier cemerlang sebagai dosen dan pakar politik luar negeri. Ia juga sering menjadi anggota tim sukses senator-senator dari Partai Demokrat. Pengalaman pertamanya terjun langsung di dunia politik ialah di masa jabatan Presiden Jimmy Carter (1977-1981). Kala itu ia bertugas sebagai penghubung antara Kongres AS dan kantor Penasihat Keamanan Presiden yang dipimpin oleh dosen pembimbingnya ketika mengambil pascasarjana di Universitas Colombia, Zbigniew Brzezinski.
Baca juga: Prahara di Ukraina, Laba di Amerika
Mengenai latar belakang Albright sebagai pengungsi, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, ”Hidupnya menjadi bukti yang kuat atas kontribusi berharga yang dibawa para pengungsi bagi negara yang menerima mereka.”
Ketika menganugerahkan Medali Kebebasan kepada Albright pada 2012, Presiden Barack Obama mengatakan bahwa perjalanan hidup Albright adalah perwujudan dari impian Amerika (American Dream). Ini adalah konsep romantis yang memercayai bahwa di AS seseorang bisa menjadi siapa pun yang ia mau dan meraih cita-cita asalkan bekerja keras.

Dalam foto tanggal 29 Mei 2012 ini, Presiden AS Barack Obama menganugerahkan Medali Kepresidenan tentang Kebebasan kepada mantan Menlu AS Madeleine Albright di Gedung Putih, Washington DC, AS.
Di tingkat global, pengaruh Albright kerap disejajarkan dengan PM Inggris Margaret. Ia masuk generasi baru perempuan yang menduduki posisi pejabat negara. Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menyebut Albright sebagai ”seorang diplomat yang brilian, pemimpin yang bervisi, pelopor yang berani, mentor yang berdedikasi, serta orang hebat dan orang baik yang mencintai AS secara mendalam serta menyerahkan hidupnya untuk berdarma bakti (pada negara).”
Dalam otobiografi berjudul Madam Secretary, Albright mengutarakan bahwa pengalamannya menghadapi bahaya fasisme dan komunisme menjadi bahan bakar semangatnya untuk membela hak asasi manusia. Ia dibesarkan dengan menganut agama Katolik. Akan tetapi, ketika dewasa, Albright menemukan bahwa keluarganya memiliki darah Yahudi. Orangtuanya kemudian menceritakan bahwa sejumlah kerabat mereka yang beragama Yahudi tewas di kamp-kamp konsentrasi Nazi.
”Saya percaya bahwa kebebasan dan hak asasi manusia adalah mutlak. Dua hal ini harus dibela dengan cara apa pun,” katanya. Dalam wawancara dengan berbagai media arus utama selama menjabat sebagai menlu, Albright mengutarakan bahwa ia meyakini bahwa terkadang pemakaian kekerasan, termasuk invasi, diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.
Penyesalan
Wawancara paling kontroversial Albright ialah pada Mei 1996 dengan stasiun televisi CBS. Albright dihadapkan dengan data invasi pertama AS ke Irak dan berbagai sanksi ekonomi yang diberikan AS kepada negara tersebut. ”Ada 500.000 anak Irak meninggal akibat kelaparan dan kemiskinan. Jauh lebih besar daripada jumlah anak yang tewas di Hiroshima akibat bom atom. Sepadankah sanksi AS untuk para korban ini?” tanya wartawan Lesley Stahl.
Baca juga: Rakyat Irak Tangisi Peringatan 100 Tahun Negerinya
Albright menjawab bahwa jika dilakukan hitung-hitungan dengan efek dari invasi AS ke Irak itu terhadap dunia, manfaatnya lebih besar dibandingkan dengan kerugian di Irak. Lebih lanjut, dalam wawancara dengan stasiun televisi NBC pada Februari 1998, Albright membenarkan invasi ke Irak.
”AS memiliki kemampuan melihat jauh ke depan dibandingkan dengan negara-negara lain. Kita selalu bertindak mencegah hal buruk terjadi jauh sebelum pihak-pihak lain menyadari,” ujarnya.
Akan tetapi, dalam wawancara khusus dengan surat kabar The New York Times pada tahun 2020, Albright mengutarakan penyesalannya memberikan jawaban tersebut. Ia menyesali jumlah korban yang sedemikian besar, seperti halnya ia menyesali kegagalan terbesarnya ialah ketika masih duduk sebagai Dubes PBB, lembaga itu tidak bisa mencegah genosida di Rwanda tahun 1994.
Baca juga: Menakar Politik Luar Negeri AS Terkini
Sisa-sisa kebijakan politik Albright masih tampak. Ia adalah salah satu pendukung garis keras perluasan keanggotaan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Pertemuan antara Albright dan Putin pada tahun 2000 terkenal karena Albright mengenakan bros berbentuk tiga monyet di jasnya.

Menteri Luar Negeri AS Madeleine Albright tersenyum saat berjabatan tangan dengan Penjabat Presiden Rusia Vladimir Putin di Kremlin, Moskwa, Rusia, 2 Februari 2000.
Satu monyet menutup mata, satu menutup mulut, dan satu menutup telinga. Ini adalah pepatah Barat yang berbunyi, see no evil, speak no evil, hear no evil (jangan melihat kejahatan, jangan berbicara jahat, jangan mendengar kejahatan). Albright secara tidak langsung mengatakan bahwa Putin merupakan sosok yang buruk dan tidak layak untuk memimpin suatu bangsa.
Baca juga: Lawan Balik Sanksi, Putin Paksa Eropa Bayar Gas dengan Rubel
Pada 23 Februari, Albright menerbitkan kolom terakhirnya di The New York Times. ”Kesalahan besar bagi Putin jika ia melakukan penyerangan ke Ukraina. Kesalahan yang sangat besar di dalam sejarah global karena akan membuat Rusia terisolasi dan rakyatnya menderita. Ia tidak akan menang melawan persekutuan Barat yang kompak,” tulisnya. (AFP/AP/REUTERS)
------
Serial Obituari Tokoh Dunia:
Permintaan Maaf Terakhir dari Presiden Terakhir Afsel Era Apartheid
Colin Powell, Memori Kelam Perang Irak, dan Peninggalan Doktrin Militernya