Permintaan Maaf Terakhir dari Presiden Terakhir Afsel Era Apartheid
Mantan Presiden Afrika Selatan Frederik Willem de Klerk berperan mengakhiri sistem apartheid di negaranya. Namun, kontroversi terus mengiringi hingga akhir hayatnya. Lewat video, ia menyampaikan permintaan maaf terakhir.
Oleh
MH SAMSUL HADI
·6 menit baca
Bagi sebagian kalangan di Afrika Selatan, Frederik Willem de Klerk atau biasa disingkat dengan FW de Klerk dianggap sebagai seorang negarawan. Ia dinilai berjasa turut andil menghentikan sistem apartheid di negaranya. Namun, sebagian lainnya melihat dia sebagai sosok yang ikut menikmati sistem apartheid itu dan—karena itu—harus juga dihukum atas banyak kejahatan akibat sistem tersebut.
Terlepas bagaimana sosoknya digambarkan, De Klerk telah selesai menuliskan sejarahnya. Ia meninggal dunia dalam usia 85 tahun di kediamannya di area Fresnaye, Cape Town, Afrika Selatan, Kamis (11/11/2021), setelah berjuang melawan kanker. Ia adalah presiden terakhir Afrika Selatan (Afsel) era apartheid, ujung kekuasaan warga minoritas kulit putih di negara itu. Ia meninggalkan istrinya, Elita, dan dua anak.
Hingga tutup usia, De Klerk terus menjadi sosok kontroversial di negaranya. Bagi banyak kalangan, dia tetap dianggap bertanggung jawab atas kekerasan terhadap warga kulit hitam dan para aktivis anti-apartheid selama masa pemerintahannya. Di kalangan warga kulit putih, ia juga dicap pengkhianat atas upayanya mengakhiri sistem apartheid.
”Warisan De Klerk itu sesuatu yang besar. Tetapi, juga sesuatu yang tidak konsisten, sesuatu yang saat ini direnungkan oleh warga Afrika Selatan,” demikian pernyataan Lembaga Mandela terkait kabar meninggalnya De Klerk.
Hal senada dikeluarkan mantan Uskup Agung Desmond Tutu, aktivis anti-apartheid terkemuka lainnya. De Klerk ”memainkan peran penting dalam sejarah Afrika Selatan... dia mengakui perlunya momen perubahan dan memperlihatkan kemauan untuk menindaklanjuti (perubahan) itu”, demikian pernyataan Lembaga Tutu.
Akan tetapi, lanjut pernyataan Lembaga Tutu, De Klerk berusaha lepas diri dari tanggung jawab atas besarnya pelanggaran apartheid, termasuk testimoninya di Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi ini dipimpin Tutu. Kala itu, Tutu kecewa karena De Klerk tidak sepenuhnya meminta maaf atas dosa-dosa apartheid.
Entah apakah sudah dianggap cukup atau belum, De Klerk mengeluarkan pernyataan maaf terakhir melalui rekaman video yang dirilis setelah pengumuman meninggalnya. Belum jelas, kapan rekaman video itu dibuat.
”Saya, tanpa ragu lagi, meminta maaf atas penderitaan dan luka-luka serta perlakuan tidak pantas dan kerugian yang ditimbulkan oleh apartheid bagi warga Kulit Hitam, Kulit Berwarna, dan warga India di Afrika Selatan,” kata De Klerk dalam video tersebut.
Ia terlihat lemah dan berwajah suram. Sebelumnya, ia beberapa kali telah menyatakan penyesalan atas kebijakan apartheid dalam kurun 1948-1991. ”Perkenankan dalam pesan terakhir ini saya menyampaikan kenyataan bahwa sejak awal tahun 1980-an, pandangan-pandangan saya telah berubah sama sekali. Rasanya ini saya seperti telah berubah keyakinan,” lanjut De Klerk.
”Dan dari hati terdalam, saya menyadari bahwa apartheid itu salah. Saya sadar, kami pernah berada di suatu tempat yang secara moral tidak dapat dibenarkan,” kata De Klerk.
Pidato 2 Februari 1990
Titik balik sejarah di Afsel itu terjadi pada 2 Februari 1990. Pada hari itu, De Klerk berpidato di parlemen negaranya. Ia baru lima bulan menjabat presiden. Ia mengumumkan, pejuang dan tokoh anti-apartheid Nelson Mandela akan dibebaskan dari penjara setelah 27 tahun. Ia juga menyatakan mencabut larangan bagi Kongres Nasional Afrika (ANC) dan kelompok-kelompok politik anti-apartheid lainnya.
Pengumuman tersebut menggetarkan Afsel. Beberapa anggota parlemen terlihat keluar dari ruang sidang. Kala itu negara tersebut selama beberapa dekade dikucilkan dan dijatuhi sanksi akibat sistem diskriminasi rasialnya, yang dikenal dengan apartheid. Kepada media seusai berpidato, De Klerk menyebut, telah tiba era ”Afrika Selatan yang baru”.
Sembilan hari berselang, Mandela dibebaskan dari penjara. Empat tahun kemudian, ia terpilih menjadi presiden kulit hitam pertama di Afsel, hasil pemilihan umum yang untuk pertama kali diikuti warga kulit hitam. Atas peran masing-masing dalam mentransformasi Afsel, Mandela dan De Klerk mendapat penghargaan Nobel Perdamaian tahun 1993.
Kembali ke tahun 1990. Pembebasan Mandela ternyata menjadi awal kerasnya negosiasi-negosiasi politik tentang bagaimana Afsel melangkah ke depan. Kekuasaan akan bergeser. Konstitusi baru akan ditulis ulang. Kehidupan juga akan berubah total.
Ongkos transisi politik itu besar. Dalam pidatonya saat penyerahan penghargaan Nobel Perdamaian, Desember 1993, De Klerk menyebut lebih dari 3.000 orang tewas dalam kekerasan politik di Afsel pada tahun itu saja. Pada forum itu, De Klerk mengakui, dirinya dan Mandela tetap menjadi lawan politik dengan banyak ketidaksepakatan. Namun, keduanya tetap melangkah ke depan ”karena tak ada jalan lain menuju perdamaian dan kemakmuran bagi rakyat negara kami”.
Setelah Mandela menjadi presiden, De Klerk menjabat sebagai wakil presiden hingga 1996. Pada tahun itu, partai De Klerk mundur dari kabinet. Belakangan, setelah transisi politik kala itu berlalu, De Klerk mengungkapkan bahwa sudah tidak ada lagi kebencian antara dirinya dan Mandela. Keduanya sudah berteman, saling berkunjung ke rumah satu sama lain.
Sarjana hukum
De Klerk lahir di Johannesburg tahun 1936. Meraih gelar sarjana hukum, ia pernah berpraktik di bidang hukum sebelum beralih ke dunia politik dan terpilih menjadi anggota parlemen. Mulai 1978 ia terpilih menduduki jabatan beberapa menteri, termasuk menteri luar negeri.
Pada akhir tahun 1970-an dan 1980-an, Afsel mengalami kerusuhan. Saat itu pemerintah tengah menggulirkan sedikit reformasi untuk memberi kesempatan kepada warga kelas menengah kulit hitam. Selain itu, juga memberi kekuasaan politik terbatas kepada kelompok-kelompok terpinggirkan, warga ras campuran yang dikategorikan ”kulit berwarna” serta warga keturunan Asia dan India.
Namun, langkah pemerintah itu justru menambah dalam luka akibat apartheid. Tekanan internasional agar ada perubahan lebih mendasar di Afsel semakin mengeras. Pada Februari 1989, De Klerk terpilih menjadi pemimpin Partai Nasional. Dalam pidato pertamanya, ia menyerukan ”lahirnya Afrika Selatan yang bebas dari dominasi dan penindasan dalam bentuk apa pun”. Bulan September tahun itu, ia terpilih menjadi presiden.
Setelah tidak menjabat, De Klerk mengelola sebuah lembaga yang mempromosikan warisan kepresidenan pada masanya. Ia kerap menyatakan keprihatinan terkait budaya Afrikaaner kulit putih dan dominannya bahasa Inggris di kalangan 11 bahasa resmi di Afsel. Ia juga tidak jarang mengkritik partai penguasa, Kongres Nasional Afrika (ANC). ANC, kata De Klerk, dulu pejuang keseteraan ras, tetapi kini ”sudah mundur dan membelah Afrika Selatan lagi berdasarkan ras dan kelas”.
Kontroversi
Sebagai salah satu tokoh yang berperan dalam transformasi Afsel, De Klerk tidak mudah memerankan sebagai tokoh Nobel Perdamaian. Ia masih menjadi sasaran kemarahan warga kulit putih Afsel. Di mata mereka, tindakan De Klerk dianggap sebagai pengkhianatan.
Selain itu, meski secara terbuka telah meminta maaf atas penderitaan dan penghinaan yang terjadi akibat apartheid, De Klerk tak pernah disambut dan dianggap sebagai ikon, seperti yang diterima Mandela.
De Klerk masih belum terlepas dari sisi kontroversial. Ia terus membela langkah-langkah yang dideklarasikan partainya, Partai Nasional, terkait tujuan apartheid, pemisahan antara warga kulit putih dan kulit hitam. Padahal, kebijakan apartheid telah memaksa jutaan warga mayoritas kulit hitam hidup dalam kemiskinan.
Perjalanan hidup De Klerk hingga setelah tak menjabat pun tak bisa dilepaskan begitu saja dari kepemimpinannya selama era apartheid. Para aktivis HAM dan ahli hukum menemukan dokumen-dokumen yang membuktikan De Klerk hadir dalam pertemuan-pertemuan yang memerintahkan pembunuhan di luar pengadilan terhadap para tokoh apartheid.
Pada tahun 2020, ia bahkan sempat menyebut apartheid bukan kejahatan bagi kemanusiaan. ”Kita melihat seorang pembunuh di gedung parlemen,” kata Julius Malema, pemimpin partai Pejuang Kebebasan Ekonomi, ketika De Klerk menghadiri pidato kenegaraan Presiden Cyril Ramaphosa di gedung parlemen tahun itu. Para politisi oposisi meneriakkan agar ia keluar dari ruangan.
De Klerk belakangan menarik ucapannya dan mengakui bahwa apartheid adalah kejahatan bagi kemanusiaan. Ia juga meminta maaf. Tetapi, kerusakan telah terjadi. Ia dipandang oleh banyak warga Afsel sebagai pemimpin terakhir era apartheid, bukan sebagai pemimpin yang ikut mengubah Afsel dari penindasan rasial.
Ia bukan mantan presiden Afrika Selatan, kata Malema. ”Ia mantan presiden apartheid,” cuitnya di Twitter. Sebagian warganet mengunggah pesan di media sosial bahwa De Klerk seharusnya tidak dimakamkan dalam upacara kenegaraan. Kontroversi terus mengiringi kepergian De Klerk. (AP/AFP/REUTERS)