Colin Powell, Memori Kelam Perang Irak, dan Peninggalan Doktrin Militernya
Mantan Menlu AS Colin Powell meninggal dunia. Ia meninggalkan legasi mengilap di AS. Namun kariernya ternoda oleh klaimnya soal senjata pemusnah massal di Irak, yang ternyata keliru, berujung invasi AS ke Irak pada 2003.
Oleh
Luki Aulia dan Mh Samsul Hadi
·7 menit baca
WASHINGTON, SELASA — Colin Powell, menteri luar negeri dari kalangan warga kulit hitam pertama di Amerika Serikat, meninggal dunia dalam usia 84 tahun, Senin (18/10/2021), karena komplikasi akibat Covid-19. Semasa hidup dan pengabdiannya sebagai pejabat AS, ia dikenal sebagai sosok jenderal dan diplomat yang mampu menjaga jarak dari hiruk-pikuk politik partisan di negaranya.
Namun, kariernya ternoda oleh klaim keliru tentang senjata pemusnah massal di Irak, yang berujung pada serangan AS ke Irak tahun 2003. Klaim tersebut disampaikan Powell dalam sidang Dewan Keamanan PBB, 5 Februari 2003. Serangan AS tahun itu membuat Irak porak poranda, disusul tahun-tahun berikutnya yang penuh kekacauan di negeri itu, diwarnai pertikaian sektarian, dan menjadi lahan subur lahirnya gerakan ekstrem, termasuk kelompok teroris Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), pertengahan dekade 2010-an.
Melalui pernyataan singkat di Facebook, keluarganya mengungkapkan, Powell meninggal dunia di Rumah Sakit Walter Reed National Military Medical Center, Maryland, karena Covid-19. Disampaikan, purnawirawan perwira tinggi militer dan mantan penasihat keamanan nasional AS itu sudah divaksin lengkap. Powell dikabarkan menderita kanker darah dan penyakit parkinson stadium awal. Kanker darah mengurangi kemampuan tubuh untuk melawan infeksi dan berisiko tinggi bagi penderita Covid-19 yang parah.
”Kami kehilangan suami, ayah, kakek, dan warga Amerika yang luar biasa dan penyayang,” kata keluarga Powell. Mereka menyampaikan terima kasih kepada rumah sakit militer Walter Reed National Military yang selama ini merawat Powell.
Powell menikah dengan istrinya, Alma, tahun 1962. Keduanya memiliki tiga anak: Michael, Linda, dan Annemarie.
Juru bicara Gedung Putih, Jen Psaki, mengatakan, kasus rawat inap dan kematian akibat Covid-19 itu sangat jarang bagi yang sudah mendapatkan vaksin lengkap. Kematian Powell ini membuktikan Covid-19 akan berakibat fatal bagi mereka yang memiliki masalah kesehatan atau penyakit serius lainnya. ”Ada dua masalah kesehatan serius pada Powell. Sayangnya, vaksin tak bisa melindunginya. Tuhan menyayanginya,” kata Presiden AS Joe Biden di Gedung Putih.
Dalam pandangan Biden, Powell telah mewujudkan cita-cita tertinggi prajurit dan diplomat. Powell merupakan patriot dengan kehormatan dan martabat yang tak tertandingi.
Mantan Presiden AS George W Bush, yang menunjuk Powell menjadi menlu AS waktu itu, mengatakan bahwa banyak presiden mengandalkan masukan dan pengalaman Powell. ”Ia disukai presiden-presiden. Karena itu, ia mendapat Medali Kebebasan Kepresidenan dua kali,” kata Bush. Medali penghargaan itu merupakan penghargaan tertinggi bagi warga sipil.
Powell menduduki posisi pejabat teras pada tiga pemerintahan di bawah presiden dari kalangan Republik. Ia menjabat Penasihat Keamanan Nasional tahun 1987-1989 pada era Presiden Ronald Reagan. Kala itu, dunia memasuki akhir Perang Dingin. Powell terlibat dalam negosiasi perjanjian pembatasan senjata dan berperan menciptakan era kerja sama AS dengan Presiden Uni Soviet Mikhail S Gorbachev.
Ia kemudian menjadi kepala staf gabungan pada masa pemerintahan Presiden George HW Bush. Kala itu, Powell menjadi arsitek invasi ke Panama tahun 1989 dan Perang Teluk 1991. Dalam Perang Teluk 1991, AS memimpin koalisi pasukan yang mengusir tentara Irak dari Kuwait.
Masa jabatan dan kiprah Powell sebagai menlu AS (2001-2005) secara keseluruhan ditandai dengan respons AS atas serangan teror 11 September 2001. Dia pejabat AS pertama yang secara terbuka menuding jaringan Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden sebagai pelaku serangan tersebut.
Doktrin Powell
Harian The New York Times menulis bahwa bersama Dick Cheney, menteri pertahanan saat itu, Powell menata ulang militer AS untuk bersiap mengarungi Perang Dingin melawan Tirai Besi selama setengah abad. Untuk mewujudkannya, ia memaparkan apa yang kemudian dikenal dengan istilah ”Doktrin Powell” dalam operasi-operasi militer.
Ia menguraikan tentang kondisi yang harus diketahui sebelum negara memutuskan penggunaan kekuatan militer untuk menyelesaikan konflik atau sengketa, yakni identifikasi sasaran politik secara jelas, adanya dukungan luas publik, serta penggunaan kekuatan yang menentukan dan besar untuk mengalahkan pasukan lawan.
”Strategi kami dalam mengejar tentara ini sangat sederhana,” ujar Powell kepada wartawan di Pentagon pada awal Perang Teluk. ”Pertama, kami akan memutusnya dan kemudian kami akan membunuhnya.”
Doktrin Powell disampaikan dalam konteks Perang Teluk tahun 1990-1991 saat AS memutuskan untuk menyerang Irak sebagai respons terhadap invasi Irak ke Kuwait. Seperti ditulis diplomat RI, Khasan Ashari, dalam Kamus Hubungan Internasional dan Diplomasi, Doktrin Powell banyak digunakan untuk membandingkan keputusan AS tahun 1990 menyerang Irak dengan keputusan melakukan tindakan militer di Irak dan Afghanistan setelah serangan 11 September 2001.
Menurut Doktrin Powell, kondisi yang harus diketahui sebelum negara memutuskan menggunakan kekuatan militer dalam menyelesaikan konflik antara lain kepentingan nasional yang terancam, tujuan yang hendak dicapai, analisis risiko dan biaya, upaya selain perang yang telah ditempuh, strategi keluar (exit strategy) jika perang tidak berjalan sesuai perkiraan, konsekuensi yang mungkin timbul, dukungan di tingkat domestik, serta dukungan masyarakat internasional.
Sebagai konsep, Doktrin Powell dinilai kurang sesuai untuk mengatasi konflik di Balkan yang muncul kemudian pada tahun 1990-an dan dalam perang terorisme pasca-serangan teror 9/11.
Perang Irak
Namun, di tengah capaian mengilap kariernya di AS, nama Powell akan terus diasosiasikan dengan paparan kontroversialnya dalam sidang Dewan Keamanan PBB, 5 Februari 2003. Dalam kesempatan itu, ia menyampaikan bahwa Presiden Irak Saddam Hussein menjadi ancaman di depan mata bagi dunia karena negaranya menyimpan senjata pemusnah massal. Bulan berikutnya, pemerintahan Bush menginvasi Irak.
Belakangan, Powell mengakui presentasinya yang bersumber dari informasi intelijen itu salah. Belakangan memang tidak ditemukan senjata pemusnah massal di Irak. Powell tahu, peristiwa dalam sidang Dewan Keamanan PBB tersebut akan menodai kariernya.
Pada tahun 2011, dalam wawancara dengan Al Jazeera, Powell menyatakan menyesal telah memberikan informasi intelijen yang keliru dan berakibat pada invasi AS ke Irak. Ia menyebut hal itu sebagai ”aib dalam rekam jejak saya”. Namun, dalam wawancara dengan The Associated Press tahun 2011, Powell menyebut ”AS mencatat banyak keberhasilan” karena ”diktator buruk Irak telah pergi”.
Saddam ditangkap pasukan AS di Irak utara, Desember 2003, dan kemudian dieksekusi oleh Pemerintah Irak.
Di mata warga Irak, presentasi Powell yang berakibat invasi AS ke Irak itu tak dapat dilupakan. ”Dia telah berbohong, bohong, dan bohong,” kata Maryam (51), perempuan penulis Irak. ”Dia berbohong dan kami menjadi pihak yang terperangkap perang tanpa berkesudahan.”
”Saya sedih, hingga kematiannya, Colin Powell tak diadili atas kejahatannya di Irak. Tetapi, saya yakin, pengadilan Tuhan sedang menantinya,” cuit Muntadher al-Zaidi, wartawan Irak, di Twitter. Zaidi pernah membuat heboh lewat aksinya melemparkan sepatu kepada Presiden AS George W Bush dalam konferensi pers di Baghdad tahun 2003.
Powell telah mengakui kesalahan itu akan menjadi noda dalam sejarah kariernya dan tidak akan pernah bisa hilang. Salah satu asisten terdekat Powell di Kemlu AS, Richard Boucher, memuji kebesaran hati Powell untuk mengakui kesalahannya. ”Tindakan paling terhormat adalah mengaku salah dan Powell sudah melakukannya,” ujarnya.
Kiprah politik
Powell pernah mempertimbangkan untuk mencalonkan diri sebagai presiden AS pada tahun 1996. Namun, dia mengurungkan hal itu karena istrinya mengkhawatirkan kondisi kesehatan Powell. Pada tahun 2008, Powell memutuskan hubungan dengan Partai Republik, lalu mendukung Barack Obama dari Partai Demokrat yang kemudian menjadi presiden kulit hitam pertama AS.
Powell juga mendukung Hillary Clinton dalam pemilihan presiden 2016 dan Biden saat berhadapan dengan Donald Trump tahun lalu. Powell menuding Trump pembohong dan berbahaya bagi AS. Biden berterima kasih kepada dukungan Powell. ”Saya selamanya berterima kasih atas dukungan Powell terhadap pencalonan saya sebagai presiden dan atas perjuangannya bagi bangsa,” ujarnya.
Obama menyebut Powell sebagai ”patriot teladan”. Powell dikenal memiliki reputasi bipartisan, suka berbicara terus terang, dan memiliki integritas. Ia juga dipuji atas naluri tanggung jawab pada tugas dan menjaga kehormatan. Ia leluasa menyampaikan pandangan-pandangan sosialnya yang liberal, membuat dirinya terlihat seperti sosok asing bagi banyak Republikan.
Lahir di Harlem, 5 April 1937, perjalanan pria bernama lengkap Colin Luther Powell itu dimulai di New York. Di kota itu, ia tumbuh berkembang hingga meraih gelar sarjana bidang geologi. Powell bergabung dengan dinas Angkatan Darat AS tahun 1962 dan menjadi salah satu dari lebih dari 16.000 penasihat militer yang dikirim Presiden AS John F Kennedy ke Vietnam Selatan.
Serangkaian promosi mengantarkan Powell ke Pentagon hingga menjadi asisten militer Menteri Pertahanan Caspar Weinberger. Ia kemudian menjadi komandan Korps Angkatan Darat Ke-5 di Jerman dan berlanjut pada posisi Penasihat Keamanan Nasional pada pemerintahan Presiden Reagan.
”Dia seorang pemikir, tetapi tidak ideologis. Dia selalu mau mendengar, belajar, beradaptasi. Dia juga mau mengaku kesalahan,” ujar Antony Blinken, Menlu AS saat ini. (AP/AFP/REUTERS)