Desmond Tutu, Rohaniwan yang Keluar dari Zona Nyaman
Kepemimpinan adalah tentang penyatuan berbagai kubu. Desmod Tutu adalah seorang uskup yang teguh memilih untuk tetap berada di antara dua kubu yang berseteru sengit.
”Aku hidup nyaman dan aman, ... bahkan sangat penurut,” kata Uskup Agung Gereja Anglikan Afrika Selatan Demond Mpilo Tutu dalam sebuah wawancara pada September 2007. Itu ia katakan menjawab pertanyaan, apa Uskup Tutu terlahir sebagai pemberontak.
Ia lanjutkan, aku sejak kecil orang baik-baik saja dan sangat maklum pada keadaan. Cukup lama Afrika Selatan menjalani sistem apartheid, katanya, seakan untuk menunjukkan bahwa sikapnya relatif bisa menerima keadaan dalam kehidupan pahit masyarakat di bawah sistem apartheid.
Akan tetapi, Uskup Tutu kelahiran 7 Oktober 1931 dan wafat pada 26 Desember 2021 itu sebenarnya bukan tipe nyaman walau sekaligus ia juga bukan pemberontak. Kehidupannya memang tidak semewah kulit putih yang memiliki sebagian besar kemakmuran Afrika Selatan. Akan tetapi, ia sebutkan juga, kehidupannya juga tidak terlalu nelangsa seperti kebanyakan warga kulit hitam Afrika Selatan yang tertindas.
Hidupnya sedikit beda dengan mayoritas kulit hitam, yang dalam pidatonya saat menerima Hadiah Nobel Perdamaian 1984 dia sebut jauh dari perlakuan manusiawi. Misalnya, ia sebutkan Afrika Selatan yang indah dan kaya sumber daya alam dikuasai kulit putih. Pemerintahan dan bisnis adalah milik kulit putih. Kulit putih melanggengkan sistem apartheid yang diskriminatif walau itu harus dengan tetesan darah kulit hitam.
Letak kenyamanan hidup yang ia sebutkan adalah ia juga bisa kuliah dan menjadi guru. Semakin nyaman adalah kala ia meniti perjalanan panggilan imamat yang kemudian membawanya ke momen tahbisan sebagai pastor Anglikan pada 1960. Ia pun melanjutkan studi teologia ke King’s College di London, yang membuatnya semakin jauh dari pemandangan diskriminasi akut yang dialami warga kulit hitam Afrika Selatan.
Walaupun ia menemukan juga rasisme di London, hidupnya tak terusik oleh sistem itu. Sebab, ia ada di dalam Gereja Anglikan yang memang menerima segala warna kulit.
Lalu, bagaimana ia masuk ke dalam pusaran perjuangan melawan sistem apartheid yang makin kencang dari tahun ke tahun sejak perlawanan pimpinan Nelson Mandela pada dekade 1940-an? Uskup Tutu yang ahli teologia dengan jelas melihat bahwa sistem apartheid di Afrika Selatan, yang mayoritas Kristen, tidak kristiani.
Setelah selesai dengan perjalanan imamatnya dan studi lanjutannya, Uskup Tutu terbawa dengan sendirinya ke dalam pusaran perjuangan. Hanya saja caranya tetap menolak protes dengan aksi kekerasan. Namun, ia mulai lewat statusnya di gereja, bersuara tentang kehidupan yang tidak menggambarkan kekristenan lewat tulisan ataupun lewat seruan-seruan.
Akan tetapi, caranya oleh kulit hitam tetap dianggap tidak kuat dan terlalu moderat di tengah sistem apartheid yang semakin mengkristal dan menjadi-jadi. Namun, di sisi lain, ia mulai masuk radar pemantauan pemerintahan kulit putih. Ia menjadi persona yang turut diawasi dan dihambat. Paspornya sering dibekukan agar tidak bisa bepergian ke luar negeri. Ia menjadi orang yang dicurigai pemerintahan kulit putih.
Meski demikian, ia belum setenar Nelson Mandela, yang sudah mendekam di penjara sejak 1962 karena perlawanan pada sistem apartheid. Meski terjepit di antara dua kubu, Uskup Tutu berjalan dengan caranya. Kulit putih menuduhnya sebagai rohaniwan yang telah memasuki ranah politik praktis. Kulit hitam tetap menuduhnya terlalu moderat.
Tuduhan bahwa ia berpolitik praktis dijawab. ”Aku bukan politisi meski ada pihak yang menyebutnya demikian. Aku bicara dari sudut pandang Bibel,” katanya dalam dokumentasi televisi CNN, 26 Desember 2021. Implisit ucapannya memotret kehidupan yang tidak kristiani, tetapi warna non-kekerasan tetap jadi pegangan.
Uskup Tutu di tengah posisi yang terombang-ambing, pada 1975 melihat celah. Sebagai imam pemimpin di Katedral Santa Maria Johannesburg pada 1975, ia melihat umat bisa duduk berdampingan. Meski umat di Katedral itu mayoritas kulit putih, ia menyaksikan kulit hitam ada di antara kaum putih. Dari situasi itu, Uskup Tutu melihat secercah harapan bahwa keharmonisan di antara warna bisa terwujud setidaknya lewat gereja.
Situasi lain membuatnya semakin masuk ke dalam pusaran perjuangan. Penembakan demi penembakan aparat terhadap kulit hitam yang berjuang tanpa kehadiran pemimpin perjuangan membuatnya turun ke jalanan. Dalam dokumentasi CNN, Uskup Tutu dengan jubah merah hadir di tengah masyarakat yang sedang beraksi dan dihadang mobil pasukan pengamanan dengan laras senjata yang siap meletus. Uskup Tutu meminta penembakan dihentikan sekaligus meminta warga agar tidak anarkistis.
Ia hadir pula di tengah upacara pemakaman warga korban tembakan dan memimpin ibadah pemakaman. CNN menyebutkan, inilah momen penting bagi Uskup Tutu. Uskup Tutu sendiri menyebutkan, ”Secara kebetulan situasi membuat saya tampil sebab para pemimpin perjuangan sedang dipenjarakan,” katanya.
Meski semakin masuk dalam pusaran perjuangan, Uskup Tutu konstan memegang teguh prinsip non-kekerasan. Ia turut menyerukan pembebasan Nelson Mandela dari penjara. Meski menuntut aksi non-kekerasan, Uskup Tutu tidak menyalahkan aksi-aksi pendukung Mandela. Ia katakan, itu semua resultante dari sistem apartheid.
Sikap non-kekerasan inilah yang mulai melambungkan pamornya. Sikap non-kekerasan menjadi warnanya sebab ada masanya ketika kulit putih memakai informasi kulit hitam untuk mematai-matai kulit hitam. Maka, bisa dibayangkan jika sistem apartheid yang ditentang itu menjelma menjadi perang di antara sesama kulit hitam, yang justru sedang berjuang meraih jati diri kulit hitam itu sendiri.
Liputan media internasional semakin santer akan perjuangan kulit hitam dengan keberadaan Uskup Tutu di tengah rakyat. Pada 1981, Uskup Tutu diundang Sekjen PBB Kurt Waldheim untuk berbicara di forum PBB tentang suasana akibat sistem apartheid. Tiga tahun kemudian, Komite Nobel menganugerahinya hadiah Nobel Perdamaian 1984.
Tidak hanya namanya yang melejit, tetapi Afrika Selatan semakin menjadi perhatian dunia internasional. ”Dari situasi tidak teramati, Afrika Selatan jadi perhatian dunia,” kata Uskup Tutu seusai menerima hadiah Nobel.
Tidak ada perjuangan lebih dari biasanya. Ia tetap saja dengan prinsip non-kekerasan, sebuah argumen yang membuat Komite Nobel melihatnya lambang perdamaian di tengah kemelut. Hanya saja, memang ia mendukung embargo ekonomi internasional terhadap Afrika Selatan. Tujuannya, agar pemerintahan Afrika Selatan merasakan efek jera.
Meski demikian, sistem apartheid cukup kuat dan terus bertahan walau sudah mulai melemah karena seruan dunia. Undangan Presiden Ronald Reagan kepada Uskup Tutu ke Washington DC pada 1984 membuat Uskup Tutu menjadi ikon yang meraih simpati meluas dunia internasional. Uskup Tutu juga bertemu Paus Yohanes Paulus II di Roma.
Efeknya adalah pembebasan Mandela pada 1990 oleh Presiden Apartheid Frederik Willem de Klerk. Hal itu membawa kulit putih mulai merancang sistem pemerintahan tandem, kulit putih dan kulit hitam, persisnya antara Mandela dan Clerk. Dan, jadilah Nelson Mandela sebagai Presiden Afrika Selatan pada 1994.
Refleksi
Uskup Tutu kemudian bertutur tentang sebuah refleksi. Setiap orang akan terpanggil untuk menjalankan suatu tugas. Uskup Tutu telah terpanggil menjadi bagian dari perjuangan akan kehidupan yang setara dan bernurani.
Akan tetapi, ada syarat untuk itu. Konsekuensi perjuangan selalu memiliki risiko, katanya. ”Anda harus siap dengan konsekuensi itu,” ucap Uskup Tutu. Inilah risiko perjuangan tentang kesetaraan, yang telah dibuat tak setara oleh satu pihak, dalam hal ini kulit putih.
Mendengar, merasakan, dan turut memperjuangkan keadilan adalah keharusan lain. Kehidupan pribadi pun harus siap keluar dari zona nyaman. Uskup Tutu keluar dari biara dan turun ke jalanan bersama rakyat dengan jimat non-kekerasan.
Ia telah menjadi pemimpin moral perjuangan, yang mau tak mau semakin mengentalkan semangat kulit hitam. Ia sekaligus menjadi pemimpin yang didengar dua sisi.
”Ada sebuah proses yang membuat seorang pemimpin didengar,” kata Uskup Tutu.
Itu adalah buah dari pilihan untuk keluar dari zona nyaman. Misinya adalah dengan menemukan celah untuk kolaborasi bagi dua sisi yang bertahun-tahun hidup dalam segregasi akut. Tentu posisinya sebagai uskup agung memiliki arti penting dalam perjuangan itu. Seorang Uskup yang teguh memilih untuk tetap berada di antara dua kubu yang berseteru sengit.
Pemimpin memang harus melihat keluar, tidak bertahan pada kenyamanan diri, apalagi memegahkan diri. Ini membuat Uskup Tutu bisa menjadi penengah di antara kulit hitam yang berbeda cara, dan sekaligus juga ada di pihak kulit putih yang hendak disadarkan.
Itulah juga makna pemimpin, kata Uskup Tutu. Melerai dan menengahi dua kubu, bahkan multikubu. Kepemimpinan adalah tentang penyatuan berbagai kubu, bukan menjadi sentra di antara kubu-kubu dengan misi menguntungkan diri sendiri, melainkan demi kebersamaan yang melanggengkan kehidupan berbangsa. Sebab, dia katakan, ketimpangan tidak akan melanggengkan kemasyarakatan.
Tentu ia mengagumi dan menyebut Nelson Mandela, Aung San Suu Kyi, Mahatma Gandhi, Dalai Lama, Mother Teresa, dan Marthin Luther King sebagai pemimpin yang juga keluar dari zona nyaman dengan segala konsekuensinya.
Selamat jalan Uskup Tutu.