Mengurangi Konsumsi Nasi
Restoran perlu memberi pilihan apakah konsumennya memerlukan porsi makanan biasa, porsi kecil, ataupun porsi besar. Jika porsi disamaratakan, akan banyak makanan berlebih yang dapat terbuang percuma.
Sekarang saya berumur 52 tahun. Saya lahir di desa dan sampai kelas III SMP bersekolah di desa. Saya masih ingat semasa kecil saya makan nasi banyak sekali. Makanan kami biasanya terdiri dari nasi dan sayuran. Makan daging dan telur jarang. Susu juga jarang. Namun, kami beruntung dekat rumah ada empang pemeliharaan ikan.
Saya dan adik-adik semua berperawakan kurus, tetapi kami cukup sehat. Orangtua kami, bahkan pada umumnya warga desa, mempunyai pola makan yang sama dengan kami.
Sewaktu saya pindah sekolah ke kota, pola makan mulai berubah. Saya mendapat kesempatan untuk menikmati daging, telur, dan susu mesti tidak sering. Badan masih tetap normal dan saya banyak berjalan kaki.
Makan sehat sekarang tidak hanya dianggap untuk menjaga kesehatan, tetapi juga untuk memelihara Bumi kita. Jadi, makanan, kesehatan, dan perubahan iklim merupakan tiga serangkai yang saling berkaitan.
Perubahan gaya makan saya rasakan setelah tamat kuliah dan mulai kerja. Saya makan siang di kantor dan makanan di kantor mulai banyak daging, ayam, serta telur. Saya masih mengonsumsi banyak nasi meski tak sebanyak waktu di desa. Namun, teman-teman sekantor saya mengatakan bahwa porsi nasi saya besar.
Sekarang berat badan saya mulai berlebih, apalagi kesempatan untuk berolahraga mulai kurang. Dulu saya banyak berjalan kaki, sekarang setelah mendapat fasilitas mobil dari kantor saya mulai sedikit berjalan kaki. Pagi-pagi sudah harus berangkat kantor dan malam baru tiba di rumah. Waktu untuk berjalan kaki menjadi hilang, kecuali pada hari libur. Saya menyadari, olahraga hanya pada hari libur tak cukup sehingga saya sekarang menjadi gemuk.
Saya mulai mendapat banyak informasi tentang bahaya obesitas. Ternyata obesitas mempunyai konsekuensi kesehatan yang cukup banyak. Tidak hanya risiko penyakit diabetes melitus, tetapi juga penyakit jantung dan stroke. Karena itu, saya mulai mengurangi konsumsi nasi.
Saya pernah melihat anjuran Kementerian Kesehatan tentang pola makan sehat. Piring dibagi tiga, sayur separuhnya, sepertiga nasi, dan sisanya lauk pauk. Saya mencoba mengamalkan anjuran tersebut dan berat badan saya sekarang mulai stabil meski tetap masih berlebih.
Baca juga : Diet Tepat Atasi Obesitas
Setiap makan siang saya menghadapi kendala porsi yang dihidangkan kantin terlalu besar bagi saya. Padahal, sejak kecil saya diajari oleh orangtua untuk tidak menyisakan makanan. Jika saya habiskan makan yang disediakan kantin, kalori yang dikonsumsi berlebih. Jika disisakan, saya merasa sayang, mubazir, dan ada rasa bersalah.
Teman-teman kantor saya yang laki-laki umumnya gemuk, sedangkan yang perempuan saya lihat sedikit sekali makan nasi sehingga rata-rata berat badannya masih normal. Sebagian dari mereka bahkan tidak makan nasi dan banyak makan lemak dan protein. Katanya pola makan seperti itu dapat menurunkan berat badan. Saya belum berani melaksanakan pola makan tanpa karbohidrat karena saya masih percaya pada pola makan seimbang.
Sesuai dengan keadaan sekarang ini, kalangan kedokteran menganut pola makan yang mana? Apakah memang kita harus mengurangi konsumsi karbohidrat, termasuk nasi? Mohon penjelasan Dokter. Terima kasih.
R di J
Kebutuhan makanan setiap orang berbeda, tergantung berat badan, tinggi badan, serta aktivitasnya. Anda juga sudah menyampaikan ternyata perubahan ekonomi mengubah pola makan. Umumnya sewaktu di desa kita banyak mengonsumsi karbohidrat, terutama nasi. Lemak dan protein hewani terbatas karena mahal atau ketersediaannya terbatas.
Sekarang kantin atau restoran menyediakan makanan yang enak-enak dan pada umumnya mengandung lemak tinggi dan protein juga tinggi. Memang benar sebagian masyarakat mulai mengurangi konsumsi karbohidrat karena khawatir gula darahnya meningkat atau menjadi gemuk.
Baca juga : Salah Kaprah Diet Menurunkan Berat Badan
Makanan yang sehat adalah makanan yang sesuai kebutuhan badan kita, lebih banyak terdiri atas tumbuh-tumbuhan, kurang makanan dari hewan, serta kurang lemak. Pada tahun 1970-an makanan kita umumnya mengandung 70-80 persen karbohidrat, sisanya lemak dan protein. Seperti yang Anda sampaikan, konsumsi protein dan lemak terbatas.
Namun, pada waktu itu masyarakat giat beraktivitas fisik. Ke mana-mana berjalan kaki. Entah bekerja di sawah atau pergi sekolah pada umumnya berjalan kaki sehingga masalah kita pada waktu itu adalah kurang gizi. Masalah obesitas belum nyata.
Seiring dengan peningkatan ekonomi masyarakat, makan bukan hanya untuk menghilangkan lapar, melainkan juga untuk menikmati lezatnya makanan. Konsumsi lemak dan protein meningkat. Konsumsi karbohidrat turun 45-60 persen.
Memang ada juga yang mencoba menghindari konsumsi karbohidrat dari nasi, roti, kentang, jagung, dan sebagainya. Namun, tubuh kita tetap memerlukan karbohidrat dan makanan sehat tersebut adalah makanan yang seimbang.
Pola makan tanpa karbohidrat cukup populer untuk menurunkan berat badan, boleh dijalankan oleh orang sehat untuk sementara karena efek jangka panjangnya kita belum tahu. Kita khawatir efek jangka panjangnya mungkin tidak baik untuk kesehatan.
Terkait sisa makanan memang merupakan masalah yang memerlukan kepedulian kita. Sebanyak 30-50 persen makanan yang ada tersisa di rumah tangga, di pesta-pesta, di restoran, ataupun di rumah sakit. Padahal, kita menghadapi masalah besar, yaitu perubahan iklim. Kita harus menjaga Bumi kita agar kenaikan temperatur Bumi dapat ditahan. Jika tidak, kita akan menghadapi berbagai dampak kenaikan suhu Bumi.
Baca juga : Sedikit Mengubah Diet Membuat Hidup Kita Sehat dan Ramah Lingkungan
Nah, makan sehat sekarang tidak hanya dianggap untuk menjaga kesehatan, tetapi juga untuk memelihara Bumi kita. Jadi, makanan, kesehatan, dan perubahan iklim merupakan tiga serangkai yang saling berkaitan. Sisa makanan dan cara bertani ternyata juga memengaruhi iklim. Karena itu, kita perlu menyadari kebiasaan makanan yang tak banyak menimbulkan sisa.
Jika ada makanan berlebih, harus dapat dimanfaatkan bagi saudara kita yang memerlukannya. Usaha Food Bank Indonesia dan lembaga swadaya masyarakat lain untuk memanfaatkan makanan berlebih ini perlu kita dukung. Pemerintah sendiri perlu membuat aturan yang mencegah makanan berlebih.
Sementara restoran perlu memberi pilihan apakah konsumennya memerlukan porsi makanan biasa, porsi kecil, ataupun porsi besar. Jika porsi disamaratakan, akan banyak makanan berlebih yang dapat terbuang percuma, bahkan jadi sampah yang berkontribusi pada kenaikan suhu Bumi. Tentu kita mengonsumsi makanan untuk kesehatan tubuh kita.
Sebagian kita adalah penikmat makanan lezat. Namun, hendaknya janganlah kebiasaan hidup kita menimbulkan dampak yang tidak baik bagi kesehatan ataupun Bumi kita ini.
Keinginan Anda untuk mengurangi konsumsi nasi baik saja, asalkan makanan Anda mencukupi kebutuhan tubuh Anda dan merupakan makanan bergizi seimbang. Saya menganjurkan kepada warga agar lebih peduli pada makanan sehat. Kita berusaha mengatasi soal stunting atau gagal tumbuh kembang akibat kurang gizi, tetapi kita juga harus mencegah masalah obesitas.
Baca juga : Sampah Makanan Indonesia Mencapai Rp 330 Triliun
Marilah kita makan sesuai kebutuhan tubuh kita, jangan berlebih. Masih banyak saudara kita yang kurang makan. Sumber daya alam kita yang semakin berkurang harus kita jaga agar bermanfaat bagi seluruh masyarakat. Semoga usaha Anda untuk hidup sehat dapat terwujud. Kita juga berusaha agar makanan bersisa dapat kita kurangi semaksimal mungkin.