Sedikit Mengubah Diet Membuat Hidup Kita Sehat dan Ramah Lingkungan
Sedikit mengubah menu makanan di piring kita akan memiliki dampak besar bagi kesehatan tubuh kita dan kelestarian bumi.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Berbagai sayuran yang melimpah untuk stok bahan pangan di tempat tinggal Kepala Desa Ngrajek, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Senin (16/11/2020).
Mengonsumsi hot dog mungkin lebih nikmat dibandingkan menyantap seporsi kacang-kacangan. Namun, memakan hot dog bisa membuat kita kehilangan 36 menit hidup sehat. Sementara memakan satu porsi kacang-kacangan bisa membantu kita mendapatkan ekstra 26 menit hidup sehat. Mana yang Anda pilih setelah mengetahui hal ini?
Dalam riset yang dilakukan University of Michigan, Amerika Serikat, yang laporannya terbit dalam jurnal Nature Food pada 18 Agustus 2021, peneliti mengevaluasi lebih dari 5.800 makanan. Mereka mengurutkannya berdasarkan beban penyakit dan gizinya bagi manusia serta dampaknya bagi lingkungan.
Laporan berjudul ”Perubahan Kecil Diet Dapat Bermanfaat Besar bagi Manusia dan Lingkungan” ini menemukan bahwa mengganti 10 persen asupan kalori harian dari daging sapi dan daging olahan dengan campuran buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, polong-polongan/ biji-bijian, dan makanan laut tertentu dapat mengurangi jejak karbon makanan kita hingga sepertiga. Kabar baiknya lagi, hal itu memungkinkan orang untuk mendapatkan 48 menit sehat per hari.
”Umumnya, rekomendasi diet kurang spesifik dan kurang arahan yang dapat ditindaklanjuti untuk memotivasi orang untuk mengubah perilaku mereka dan jarang rekomendasi diet mengatasi dampak lingkungan,” kata Katerina Stylianou, peneliti riset itu yang juga kandidat doktor di Departemen Ilmu Kesehatan, Sekolah Kesehatan Masyarakat di University of Michigan, dalam situs internet kampus tersebut pada 18 Agustus 2021. Dia saat ini bekerja sebagai Direktur Informasi Kesehatan Masyarakat dan Strategi Data di Departemen Kesehatan Detroit.
Indeks baru
Penelitian tersebut didasarkan pada indeks gizi berbasis epidemiologi baru, indeks gizi kesehatan (HENI), yang dikembangkan oleh para peneliti bekerja sama dengan ahli gizi Victor Fulgoni III dari Nutrition Impact LLC. HENI menghitung manfaat dan beban kesehatan bersih dalam hitungan menit hidup sehat yang terkait dengan porsi makanan yang dikonsumsi.
Temuan mereka menunjukkan substitusi kecil yang ditargetkan menawarkan strategi yang layak dan kuat untuk mencapai manfaat kesehatan dan lingkungan yang signifikan tanpa memerlukan perubahan pola makan yang dramatis.
Indeks tersebut merupakan adaptasi dari beban penyakit global (GBD) dengan mortalitas dan morbiditas penyakit dikaitkan dengan satu pilihan makanan individu. Untuk HENI, peneliti menggunakan 15 faktor risiko diet dan perkiraan beban penyakit dari GBD dan menggabungkannya dengan profil nutrisi makanan yang dikonsumsi di AS berdasarkan database What We Eat di AS dari National Health and Nutrition Examination Survey. Makanan dengan skor positif menambah menit hidup yang sehat, sedangkan makanan dengan skor negatif dapat merugikan kesehatan manusia.
Untuk mengevaluasi dampak lingkungan dari makanan, para peneliti menggunakan IMPACT World+. Metode ini dipakai untuk menilai dampak siklus hidup makanan (produksi, pemrosesan, manufaktur, persiapan/pemasak, konsumsi, dan limbah), serta menambahkan penilaian yang lebih baik untuk penggunaan air dan polusi pembentukan partikel halus berbahaya (PM). Mereka mengembangkan skor untuk 18 indikator lingkungan dengan mempertimbangkan resep makanan terperinci juga mengantisipasi limbah makanan.
Akhirnya, para peneliti mengklasifikasikan makanan ke dalam zona warna hijau, kuning dan merah, seperti lampu lalu lintas yang didasarkan kombinasi nutrisi dan keberlangsungan lingkungan.
Zona hijau mewakili makanan yang direkomendasikan untuk ditingkatkan dalam diet seseorang. Makanan di zona ini bermanfaat secara nutrisi dan memiliki dampak lingkungan yang rendah. Kacang-kacangan, buah-buahan, sayuran yang ditanam di ladang, biji-bijian, dan beberapa makanan laut masuk dalam zona ini.
Zona merah mengklasifikasi makanan yang memiliki dampak gizi atau lingkungan yang cukup besar dan harus dikurangi atau dihindari dalam diet seseorang. Dampak gizi terutama didorong oleh pemrosesan daging dan iklim serta sebagian besar dampak lingkungan lainnya didorong oleh daging sapi dan babi, domba, dan daging olahan.
Para peneliti mengakui kisaran semua indikator bervariasi secara substansial dan menunjukkan manfaat makanan bergizi mungkin tidak selalu menghasilkan dampak lingkungan terendah dan sebaliknya. ”Penelitian sebelumnya sering mengurangi temuan mereka menjadi diskusi makanan nabati versus hewani. Meskipun kami menemukan bahwa makanan nabati umumnya berkinerja lebih baik, ada banyak variasi dalam makanan nabati dan hewani,” kata Stylianou.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Tanaman cabai anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) RW 001 Kelurahan Bubulak, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa Barat, di lahan petanian mereka, Senin (25/1/2021). Selain mengubah lahan tumpukan pembuangan sampah liar menjadi lahan produktif, semangat bercocok tanam ini menjadi upaya pemenuhan konsumsi makanan bergizi, khususnya sayuran dan tanaman obat, yang bisa dimanfaatkan secara bersama di lingkup wilayah tersebut. Upaya pertanian komunal di tengah pemukiman padat seperti ini pun diharapkan menjadi penumbuh semangat kesadaran bersama akan kebutuhan rasa sosial bersama di tengah-tengah perkotaan, terutama untuk kebutuhan pangan mandiri.
Berdasarkan temuan mereka, para peneliti menyarankan:
Mengurangi makanan dengan dampak kesehatan dan lingkungan paling negatif termasuk daging olahan tinggi, daging sapi, udang, diikuti daging babi, domba, dan sayuran yang ditanam di rumah kaca.
Meningkatkan makanan bergizi paling bermanfaat, termasuk buah-buahan dan sayuran yang ditanam di lapangan, kacang-kacangan, dan makanan laut yang berdampak rendah terhadap lingkungan.
”Urgensi perubahan pola makan untuk meningkatkan kesehatan manusia dan lingkungan jelas,” kata Olivier Jolliet, profesor ilmu kesehatan lingkungan University of Michigan dan penulis senior makalah tersebut.
Ia mengatakan, temuan mereka menunjukkan substitusi kecil yang layak dan kuat untuk mencapai manfaat kesehatan dan lingkungan yang signifikan tanpa perlu mengubah pola makan secara dramatis. Para peneliti juga bekerja sama dengan mitra di Swiss, Brasil, dan Singapura untuk mengembangkan sistem evaluasi serupa di sana. Diharapkan, ini juga diperluas ke seluruh negara.