Produksi sejumlah komoditas pangan pokok di dalam negeri menghadapi dilema ”tarik sarung”. Saat produksi satu komoditas naik, komoditas lain turun. Produksi sulit melejit bersama sehingga perlu jalan keluar.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
Selain energi, pangan jadi isu global yang mengemuka pada tahun 2022, antara lain karena siklus superkomoditas pascapandemi Covid-19. Indonesia pun terdampak, terutama terkait sejumlah komoditas pangan impor, termasuk kedelai. Di sisi lain, ”persaingan” di antara tiga komoditas pangan utama, yakni beras, jagung, dan kedelai, masih terjadi.
Saat krisis pangan berembus di tingkat global, Indonesia bisa dinilai masih berjarak dengan krisis itu, yakni dengan mempertimbangkan kekayaan dan keberagaman pangan yang ada. Namun, bukan berarti kondisi pangan nasional dalam situasi baik-baik saja. Apabila ketergantungan impor pada sejumlah komoditas terus meningkat, kedaulatan pangan terancam.
Problematika pangan yang dihadapi Indonesia itu mengemuka dalam Arifin Panigoro (AP) Dialog bertema ”Menghadapi Krisis Pangan Dunia: Apa Prioritas Indonesia?” di Griya Arifin Panigoro, Jakarta, Selasa (18/10/2022). Selain itu, mengemuka juga optimisme untuk memanggungkan potensi dalam negeri yang diharapkan dapat mengikis ketergantungan pada pangan impor, sekaligus mempertegas posisi Indonesia di mata dunia.
Dalam dialog yang dimoderatori oleh Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Teten Masduki tersebut, hadir para pelaku usaha pangan di berbagai skala, pakar, pemerintah, hingga pegiat pangan dari kalangan milenial. Berbagai tantangan hingga gagasan-gagasan dalam mengatasi problem pangan yang dihadapi Indonesia juga disampaikan dalam dialog itu.
Menurut Ketua Umum Perkumpulan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) Sutarto Alimoeso, persoalan mendasar dari perbaikan tata kelola pangan dalam negeri, salah satunya, ialah petani Indonesia—yang didominasi petani gurem—kerap kesulitan modal dan pasar. Mereka perlu didorong berkorporasi. Mereka juga perlu terus didampingi, tak sekadar diberi bantuan lalu dibiarkan.
Manajemen lapangan, imbuh Sutarto, juga perlu diperhatikan. Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), perkiraan luas panen padi di Indonesia tahun ini sebesar 52,24 persen berada di Pulau Jawa. Kondisi tersentral itu juga yang membuat beras (padi), jagung, dan kedelai, sebagai tiga komoditas utama pangan nasional, sulit melejit bersama.
”Ini yang tidak bergerak dari dulu sehingga ada teori sarung di Pulau Jawa. Jika sarung diangkat, bagian bawah (tubuh) terlihat, sedangkan jika diturunkan, atasnya yang terlihat. Jadi, jika padi naik, jagung dan kedelai turun. Saat kedelai naik, jagung turun. Ketika jagung naik, kedelai turun. Ini yang perlu diperhatikan,” kata Direktur Utama Perum Bulog periode 2009-2014 itu.
Dalam tiga tahun terakhir, Indonesia tidak mengimpor beras medium atau beras umum. Adapun jagung untuk pakan ternak, yang merupakan serapan dominan, juga tak mengimpor kecuali untuk industri. Adapun produksi kedelai Indonesia, pada 2021, hanya sekitar 215.000 ton, padahal kebutuhan nasional per tahun lebih dari 2 juta ton. Sisanya dipenuhi dengan impor.
Terkait beras, Sutarto mengatakan, produksi tahun ini diperkirakan aman. Hingga akhir 2022, ketersediaan beras diperkirakan mencapai 8 juta ton. ”Namun, masalahnya, beras yang ada di pemerintah terlalu sedikit. Stok (kebanyakan) adanya di pelaku usaha. Sementara (negara) perlu perlu sebagai penyeimbang,” katanya.
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University Dwi Andreas Santosa menuturkan, terkait krisis pangan, yang menjadi pendorong utama ialah penurunan produksi serealia dunia, seperti pada 1972, 2008, dan 2011. Pada 2011, produksi serealia dunia menurun 14 persen sehingga terjadi guncangan harga, ditambah spekulasi. Kemudian, saat itu terjadilah Arab Spring.
Pada 2020 dan 2021, produksi serealia naik, bahkan mencapai puncaknya. Namun, kata Andreas, lalu terembus kabar krisis pangan di dunia internasional. Hal itu menjadi pertanyaan bersama apakah sengaja diembuskan negara-negara maju sebagai produsen 75 persen pangan yang diperdagangkan di dunia. Adapun konsumsi didominasi negara berkembang.
Impor gandum
Andreas mengemukakan, kondisi pangan di Indonesia sedang tak baik-baik saja karena ada peningkatan volume ekspor pada delapan komoditas pangan. Dari 8 juta ton pada 2008 menjadi 27,6 juta ton pada 2018. Pada 2019 sempat menurun, tetapi kemudian meningkat lagi pada 2020. Begitu juga 2021, yang menjadi rekor tertinggi, yakni sebanyak 27,7 juta ton.
Salah satu komoditas dengan peningkatan ekspor signifikan ialah gandum yang juga memengaruhi konsumsi pada beras (beralih). Dalam catatannya, pada 1970, proporsi gandum sebagai pangan pokok di Indonesia baru sebesar 3 persen. Kemudian meningkat menjadi 18,3 persen pada 2010 dan 28 persen pada 2022.
”Kalau kita tidak hentikan, 100 tahun Indonesia merdeka (2045), 50 persen konsumsi pangan pokok kita adalah gandum. Apabila tidak dianggap sebagai satu bahaya, ya mari, jadi konsumen gandum,” kata Andreas yang juga Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani (AB2TI) ini.
Ia menambahkan, dari data resmi, ada penurunan produksi beras nasional sebesar 0,35 persen per tahun. Padahal, terjadi La Nina yang biasanya membawa peningkatan produksi. Agustus 2019-Juni 2022 juga ada tren penurunan harga gabah dan beras. Ia pun mengkhawatirkan para petani yang sudah malas menanam padi karena pendapatannya terus menurun.
Dari tinjauannya langsung ke Karanganyar, Jawa Tengah, dan Gunungkidul, DI Yogyakarta, kerugian dirasakan petani. ”Kenapa masih menanam? Untuk keamanan rumah tangga. Ada gabah, ada beras di rumah. Ini yang perlu menjadi warning bersama. Jangan-jangan kita sesungguhnya tidak peduli terhadap kesejahteraan sedulur tani kita,” ujarnya.
Salah seorang pembicara utama dalam dialog tersebut, yakni Direktur Ketersediaan Pangan Badan Pangan Nasional (National Food Agency/NFA) Budi Waryanto, menuturkan, pihaknya saat ini tengah membangun ekosistem pangan nasional yang kuat dan berkelanjutan. Upaya itu ditempuh dengan bersinergi dan berkolaborasi sehingga diharapkan petani sejahtera, pedagang untung, dan masyarakat mendapat harga terjangkau.
Adapun Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk Franciscus Welirang, yang juga pembicara utama, menuturkan, ada dua hal yang perlu disoroti terkait produksi pangan di Indonesia, yakni pascapanen dan benih. Kalaupun ada, pascapanen dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen. Padahal, menurut dia, pascapanen bukanlah pertambahan nilai, melainkan pertambahan usia simpan produk.
Akan tetapi, Indonesia bukannya tanpa harapan untuk mengembangkan pangan lokal. Teten mengatakan, pihaknya tengah membuat sejumlah model bisnis dengan mengonsolidasikan para petani kecil perorangan dalam satu koperasi. Dengan demikian, skala ekonomi yang diharapkan dapat tercapai.
”Dengan demikian, volume maupun kualitasnya tercapai. Bisa menyuplai pasar. Para petani hortikultura, padi, maupun lainnya bisa exercise dengan GGP (PT Great Giant Pineapple) yang telah melakukan itu (hingga ekspor),” kata Teten.
Apa yang dilakukan GGP, ujarnya, sudah direplikasikan kepada para petani di Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. ”Jadi, koperasi membeli tunai dari petani dan bank yang membiayai petani. Dari koperasi lalu ke jaringan pasar modern. Juga mengintegrasikan model pembiayaan. Semua sedang dan terus kami kembangkan,” ujarnya.