Kedaulatan pangan sulit terwujud tanpa mengoptimalkan potensi daerah sesuai dengan keragaman benih lokalnya.
Pemerintah melalui Kementerian BUMN membentuk kluster BUMN pangan untuk turut mengelola sektor pangan agar lebih efisien. Harapannya, semakin banyak bahan baku industri makanan minuman yang diproduksi di dalam negeri.
Sejumlah pihak menilai, kehadiran RUU Cipat Kerja akan menjauhkan Tanah Air dari kemandirian pangan. Kemudahan impor serta penguasaan lahan oleh korporasi serta sejumlah pasal yang merugikan petani menjadi alasannya.
Pandemi Covid-19 kian menyadarkan akan kerentanan sistem pangan Tanah Air yang masih bergantung pada impor. Perlu dilakukan perbaikan sistem demi tercapai kedaulatan pangan dengan memanfaatkan pangan lokal.
Sistem pangan di Indonesia saat ini dinilai rentan karena ditopang impor. Perbaikan mutlak diperlukan dengan mengedepankan petani sebagai pelaku penting dalam kedaulatan pangan.
Pengesahan RUU Cipta Kerja membuka lebar impor pangan. Sebab, impor tidak lagi mensyaratkan kecukupan stok dan produksi dalam negeri. Nasib petani, peternak, dan pembudidaya jadi taruhannya.
Jauh di Afrika, diaspora Indonesia berhasil mengembangan ubi untuk mengatasi persoalan sosial dan meningkatkan ketahanan pangan.
Saat ini yang dibutuhkan adalah perubahan paradigma dan konsep dari pendekatan ketahanan pangan ke kedaulatan pangan yang menempatkan petani sebagai aktor utama pembangunan pertanian serta melaksanakan reforma agraria.
Penyederhanaan yang dilakukan RUU Cipta Kerja dengan cara menghapus syarat-syarat esensial dan membiarkan hal-hal krusial tetap tak terselesaikan itu memperlihatkan keberpihakan ke pelaku usaha.
Guncangan perdagangan global dan rapuhnya ketahanan seiring tren peningkatan volume pangan impor semestinya jadi cambuk untuk memperbaiki kebijakan pangan nasional. Pandemi telah mengirim ”cermin” untuk berkaca diri.