Kendati diuntungkan oleh iklim basah karena La Nina, produksi beras nasional cenderung stagnan beberapa tahun terakhir. Ada kekhawatiran motivasi petani untuk menanam padi redup karena insentif usaha makin tergerus.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·3 menit baca
Produksi beras nasional tahun 2022, sebagaimana data yang dirilis Badan Pusat Statistik, Senin (17/10/2022), cukup positif. Dengan proyeksi peningkatan luas panen dan produksi di tiga bulan terakhir, produksi beras Indonesia tahun ini diperkirakan mencapai 32,07 juta ton. Angka itu naik 2,29 persen dibandingkan produksi tahun lalu yang tercatat 31,36 juta ton.
Peningkatan produksi itu disumbang oleh lonjakan produksi sebesar 15,12 persen secara tahunan Oktober-Desember 2022. Proyeksi produksi beras tahun 2022 itu diperoleh dari realisasi luas panen sepanjang Januari-September serta proyeksi pada Oktober-Desember yang diperkirakan mencapai 1,91 juta hektar (ha). Luas itu meningkat 16,45 persen dibandingkan periode Oktober-Desember 2021 yang tercatat 1,64 juta ha.
Dengan produksi beras sebanyak itu, Indonesia bisa swasembada lagi tahun ini. Sebab, kebutuhan beras nasional rata-rata mencapai 30 juta ton per tahun. Namun, situasi iklim di tiga bulan terakhir bisa menjadi kendala serius. Kantor Meteorologi (Bureau of Meteorology) Australia memublikasikan, indeks kondisi iklim di Samudera Pasifik menunjukkan fenomena La Nina kuat hingga awal 2023.
Sementara menurut ASEAN Specialised Meteorological Centre (ASMC), La Nina akan menyebabkan kondisi iklim yang lebih basah di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Curah hujan di sejumlah wilayah di Indonesia akan berada di atas normal hingga Desember 2022. Wilayah itu, antara lain Pulau Jawa; Nusa Tenggara dan Bali; Pulau Kalimantan bagian timur, selatan, dan barat; Pulau Sulawesi; Pulau Maluku; serta Pulau Papua.
Akan tetapi, selain iklim, ada faktor lain yang berpotensi menggerus produksi beras nasional, yakni harga gabah di tingkat petani. Kendati harga gabah tiga tahun terakhir umumnya di atas harga pembelian pemerintah (HPP), situasi harga perlu dicermati untuk memastikan petani mendapatkan untung atas hasil usahanya.
Motivasi redup
Ada kekhawatiran motivasi petani untuk menanam padi redup karena insentif usaha yang semakin turun. Hasil perhitungan Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), ongkos produksi GKP mencapai Rp 4.523 per kg pada tahun 2019. Namun, kini ongkos produksinya naik menjadi Rp 5.876 per kg GKP seiring naiknya komponen biaya usaha tani, seperti sewa lahan, upah buruh tani, dan sarana produksi sebesar 25-35 persen dalam tiga tahun terakhir.
Dengan ongkos produksi sebesar itu, harga gabah di atas HPP tidak ada artinya lagi buat petani. Sebab, HPP makin tidak relevan dan tertinggal oleh ongkos produksi dan harga yang terbentuk di pasar. Jika mengacu hasil hitungan AB2TI, ongkos produksi GKP telah naik hampir 40 persen dibandingkan HPP yang ditetapkan Rp 4.200 per kg. Ini situasi laten yang menggerus produksi beras nasional dalam jangka panjang.
Ada kekhawatiran motivasi petani untuk menanam padi redup karena insentif usaha yang semakin turun.
Situasi produksi bisa jadi mengonfirmasi hal itu. Dengan kondisi iklim yang basah, peningkatan produksi beras yang “hanya” 2,29 persen tahun ini dinilai tidak signifikan. Menurut catatan Guru Besar Pertanian IPB University, Dwi Andreas Santosa, kenaikan terendah produksi beras nasional selama La Nina terjadi pada tahun 2007, yakni mencapai 4,7 persen. Adapun peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 2016, yakni dengan kenaikan 9,6 persen. (Kompas, 18/10/2022)
Produksi beras tahun 2021 juga tidak optimal kendati musim lebih basah karena fenomena La Nina. Tahun lalu, produksi beras nasional mencapai 31,36 juta ton, turun 0,14 juta ton atau 0,45 persen lebih rendah dibandingkan produksi tahun 2020 yang tercatat 31,5 juta ton. Artinya, ada faktor di luar pengairan yang menyebabkan produksi turun.
Situasi itu menjadi tantangan pemerintah yang pada 14 Agustus 2022 menerima penghargaan dari Institut Penelitian Padi Internasional (IRRI). Penghargaan itu diberikan karena pemerintah Indonesia dinilai memiliki sistem ketahanan pangan yang baik dan berhasil swasembada beras selama periode 2019-2021.
Usaha mempertahankannya bakal lebih berat ketimbang saat menggapainya. Kini, tak hanya iklim, tantangan mempertahankan dan meningkatkan produksi pangan akan berhadapan dengan kendala yang makin kompleks. Termasuk soal motivasi petani untuk menanam lagi.