Krisis Hambat Pengentasan Rakyat Miskin dan Perburuk Kondisi Ketenagakerjaan
Tanda-tanda krisis biaya hidup sudah mulai terjadi di RI. Kenaikan harga pangan dan energi akan menaikkan pula garis kemiskinan nasional. Dengan kenaikan harga BBM, garis kemiskinan RI bisa naik pada 5-6 persen.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Krisis biaya hidup yang dipicu oleh inflasi tinggi akan menghambat upaya pengentasan rakyat miskin dan memperburuk kondisi ketenagakerjaan. Forum Ekonomi Dunia atau WEF menyebutkan pertumbuhan lapangan pekerjaan akan melemah dan upah riil yang diterima pekerja selama ini akan tergerus.
Di sisi lain, Bank Dunia menaikkan garis kemiskinan ekstrem dan kelas masyarakat. Melalui perubahan penghitungan keseimbangan kemampuan berbelanja atau paritas daya beli (purchasing power parities/PPPs) itu, jumlah orang miskin di sejumlah negara, termasuk Indonesia, menjadi bertambah.
Berdasarkan hasil survei WEF terhadap 22 ekonom anggota Komunitas Ekonom WEF yang dipublikasikan di Geneva, Swiss, Rabu (28/9/2022) waktu setempat, sebanyak 70 persen responden menyetujui resesi global kemungkinan terjadi tahun depan. Resesi itu akan diwarnai oleh inflasi tinggi yang menyebabkan krisis biaya hidup yang sudah mulai terjadi tahun ini.
Sebanyak 90 persen ekonom juga sepakat upah riil yang saat ini diterima pekerja akan tergerus kenaikan harga. Kenaikan upah pada tahun depan juga tidak akan bisa mengimbangi lonjakan harga. Begitu juga dengan prospek lapangan kerja. Sebanyak 65 persen ekonom melihat pertumbuhan lapangan kerja akan melemah tahun depan.
”Dengan melonjaknya inflasi dan tergerusnya upah riil, krisis biaya hidup global menghantam masyarakat paling rentan. Para pengambil kebijakan yang tengah mengendalikan inflasi sekaligus menjaga pertumbuhan ekonomi perlu memastikan dukungan khusus kepada mereka yang paling membutuhkan,” kata Managing Director WEF Saadia Zahidi melalui siaran pers di Jakarta.
Dengan melonjaknya inflasi dan tergerusnya upah riil, krisis biaya hidup global menghantam masyarakat paling rentan.
Bersamaan dengan itu, Bank Dunia dalam laporannya bertajuk ”Reforms for Recovery: East Asia and Pacific Economic” menyebutkan, kenaikan harga pangan dan nonpangan akan mendorong kenaikan garis kemiskinan. Garis kemiskinan merupakan tingkat minimum pendapatan yang dianggap perlu dipenuhi untuk memperoleh standar hidup yang mencukupi di suatu negara.
Seiring dengan kenaikan harga pangan dan nonpangan, Bank Dunia menaikkan garis kemiskinan ekstrem dan kelas masyarakat dengan mengubah PPPs 2011 menjadi PPPs 2017. Berdasarkan PPPs 2017 itu, garis kemiskinan ekstrem naik dari 1,9 dollar AS per hari atau sekitar Rp 28.969 (kurs Jisdor BI Rp 15.247 per dollar AS) menjadi 2,15 dollar AS per hari.
Garis kemiskinan masyarakat berpenghasilan menengah bawah juga naik dari 3,2 dollar AS per hari menjadi 3,65 dollar AS per hari. Begitu juga dengan garis kemiskinan masyarakat berpenghasilan menengah atas yang naik dari 5,5 dollar AS per hari menjadi 6,85 dollar AS per hari.
Merujuk pada data survei kependudukan 2019, Bank Dunia menyebutkan, dengan penghitungan baru itu, sebanyak 33 juta orang kelas menengah bawah di Asia turun kelas menjadi miskin. Indonesia dan China menjadi negara dengan penurunan kelas menengah terbanyak.
Di Indonesia, sebanyak 13 juta orang kelas menengah bawah turun kelas masuk kategori masyarakat miskin. Di China, kelas menengah bawah yang masuk kategori miskin sebanyak 18 juta orang.
Merujuk pada data survei kependudukan 2019, Bank Dunia menyebutkan, dengan kenaikan garis kemiskinan, sebanyak 13 juta orang kelas menengah bawah di Indonesia turun kelas masuk kategori masyarakat miskin.
Selama ini, garis kemiskinan yang dikeluarkan Bank Dunia berbeda dengan garis kemiskinan hasil penghitungan Badan Pusat Statistik (BPS). Garis kemiskinan yang dikeluarkan BPS merupakan representasi dari jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok makanan dan nonmakanan per kapita per bulan. Setiap tahun, garis kemiskinan yang ditentukan oleh BPS berubah mengikuti gerak kenaikan harga makanan dan nonmakanan.
Ambang batas garis kemiskinan di Indonesia meningkat 4 persen dari Rp 486.168 per kapita per bulan pada September 2021 menjadi Rp 505.469 per kapita per bulan pada Maret 2022. Dari jumlah tersebut, komposisi pengeluaran untuk makanan sebesar 74,08 persen.
Krisis di Indonesia
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, inflasi tinggi yang terjadi di sejumlah negara telah menyebabkan krisis biaya hidup. Krisis biaya hidup itu membuat masyarakat di negara-negara tersebut mengerem atau lebih selektif belanja atau mengeluarkan uang.
Hal ini akan berimbas pada sektor perdagangan dan pariwisata di Indonesia. Laju ekspor akan tertahan karena permintaan impor dari negara-negara yang inflasinya tinggi turun sehingga surplus neraca perdagangan RI bisa semakin mengecil.
”Di sisi lain, krisis biaya hidup masyarakat global juga akan berdampak pada sektor pariwisata nasional. Masyarakat global bakal mengerem berwisata mengingat harga tiket pesawat juga melambung tinggi akibat kenaikan harga avtur,” ujarnya.
Menurut Tauhid, tanda-tanda krisis biaya hidup di Indonesia sudah mulai terjadi. Pengeluaran masyarakat mulai meningkat akibat kenaikan harga bahan baku pangan, pangan olahan, dan bahan bakar minyak (BBM).
Pekan lalu, Bank Indonesia (BI) memperkirakan tingkat inflasi hingga pekan keempat September 2022 mencapai 1,1 persen. Komoditas utama penyumbang inflasi bulanan tersebut antara lain bensin sebesar 0,91 persen; angkutan dalam kota 0,05 persen; angkutan antarkota 0,02 persen; serta telur ayam ras, pasir, semen, dan bahan bakar rumah tangga masing-masing 0,01 persen.
Sementara terkait dengan kenaikan garis kemiskinan yang dilakukan Bank Dunia, Tauhid berpendapat, standar penentu kemiskinan Bank Dunia dengan BPS memang berbeda. Terlepas dari itu, Bank Dunia ingin menunjukkan bahwa standar kehidupan orang miskin berubah dan naik seiring dengan kebutuhan dan kenaikan harga pangan dan nonpangan.
Tanpa ada kenaikan harga BBM, garis kemiskinan bisa meningkat sekitar 4 persen. Dengan kenaikan harga BBM, garis kemiskinan bisa naik di 5-6 persen.
Garis kemiskinan itu juga menjadi tolok ukur mayoritas negara di dunia terhadap berhasil atau tidaknya pengentasan rakyat miskin. Melalui tolok ukur itu, keberhasilan negara bukan hanya dilihat dari peningkatan produk domestik bruto (PDB), melainkan juga angka kemiskinan.
Selain itu, lanjut Tauhid, garis kemiskinan, termasuk yang dihitung oleh BPS, dari tahun ke tahun terus meningkat. Tanpa ada kenaikan harga BBM, garis kemiskinan bisa meningkat sekitar 4 persen. Dengan kenaikan harga BBM, garis kemiskinan bisa naik pada 5-6 persen.
”Dengan kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu, garis kemiskinan pada September 2022 diperkirakan naik menjadi Rp 530.742,45 per kapita per bulan hingga Rp 535.328,14 per kapita per bulan dari Maret 2022 yang sebesar Rp 505.469 per kapita per bulan,” katanya.
Tauhid menambahkan, dalam kondisi seperti saat ini, pemerintah diharapkan tidak hanya memberikan bantalan sosial bagi masyarakat miskin. Bantalan sosial bagi masyarakat kelas menengah bawah yang rentan menjadi miskin juga diperlukan.
Pada 2023, pemerintah menargetkan tingkat kemiskinan bisa mencapai 7,5-8 persen. Tingakt pengangguran terbuka (TPT) juga ditargetkan dapat ditekan di kisaran 5,3-6 persen. Tingkat kemiskinan di Indonesia pada Maret 2022 sebesar 9,54 persen, sedangkan TPT pada Februari 2022 sebesar 5,83 persen.