Krisis Biaya Hidup Global Bisa Turunkan Kinerja Ekspor RI
Krisis biaya hidup yang merupakan salah satu indikator pelemahan daya beli masyarakat global bakal menurunkan permintaan dan ekspor. Kendati begitu, masih ada peluang bagi RI untuk menahan laju tergerusnya ekspor.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Cost of living crisis atau krisis biaya hidup global dapat menurunkan kinerja ekspor Indonesia. Hal itu bisa terjadi lantaran daya beli masyarakat global, terutama di negara-negara tujuan utama ekspor RI, turun.
Hasil jajak pendapat Ipsos, perusahaan riset pasar dan konsultansi multinasional Perancis untuk Forum Ekonomi Dunia (WEF), menunjukkan, satu dari empat orang mengalami kesulitan keuangan di 11 negara maju. Mereka berencana mengurangi biaya makan, listrik, dan pemanas. Mereka juga mengurangi bersosialisasi di kafe atau tempat makan serta menunda keputusan pembelian-pembelian besar.
Head of Industry and Regional Research PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani, Selasa (27/9/2022), mengatakan, krisis biaya hidup merupakan cerminan penurunan pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Krisis itu menurunkan daya beli sehingga permintaan turun.
Amerika Serikat, misalnya. Pertumbuhan ekonomi negara itu pernah terkontraksi atau tumbuh minus 2,6 persen secara tahunan pada 2009 atau saat krisis keuangan global. Waktu itu, impor Amerika Serikat terhadap dunia turun 26 persen secara tahunan sehingga memengaruhi penurunan ekspor RI.
”Ekspor RI pada saat itu tumbuh minus 15 persen secara tahunan. Kemudian, pada triwulan II-2022, perekonomian AS tumbuh minus 0,9 persen sehingga impornya diperkirakan terkontraksi minus 9 persen. Hal ini pasti akan berpengaruh pada penurunan ekspor Indonesia ke negara tersebut,” ujarnya.
Krisis biaya hidup merupakan cerminan penurunan pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Krisis itu menurunkan daya beli sehingga permintaan turun.
Saat ini, Amerika Serikat telah mengalami resesi karena perekonomiannya tumbuh negatif dalam dua triwulan berturut-turut. Pada triwulan I-2022, ekonomi AS tumbuh minus 1,4 persen dan pada triwulan II-2022 minus 0,9 persen.
Menurut Dendi, penurunan permintaan itu akan dibarengi dengan penurunan harga komoditas global dan kebijakan moneter kontraktif. Hal itu juga dapat memengaruhi penurunan nilai ekspor Indonesia.
Penurunan harga komoditas global akan menyebabkan Indonesia tidak lagi mendapatkan windfall atau durian runtuh. Adapun kebijakan moneter kontraktif, seperti menaikkan suku bunga acuan, akan semakin menekan harga komoditas.
”Harga komoditas akan terus turun karena kebijakan moneter kontraktif akan menekan pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya bisa menurunkan permintaan global. Kebijakan moneter kontraktif juga akan membuat mata uang dollar AS menguat. Pada gilirannya, ini bisa membuat harga menjadi mahal bagi para importir karena penjualannya dalam dollar AS sehingga permintaan berkurang,” tuturnya.
Kepala Badan Kebijakan Perdagangan (BKP) Kementerian Perdagangan Kasan Muhri juga berpendapat senada. Krisis biaya hidup yang merupakan salah satu indikator pelemahan daya beli masyarakat global bakal menurunkan permintaan dan ekspor.
”Di saat daya beli masyarakat turun, pola konsumsi pasti akan berubah. Bisa jadi turun drastis atau bisa pula menyesuaikan dengan mengonsumsi produk-produk sejenis yang harganya lebih murah,” katanya.
Kasan mengakui, masyarakat global pasti akan lebih selektif mengonsumsi produk-produk domestik ataupun impor. Mereka pasti akan lebih mengutamakan produk-produk primer ketimbang sekunder.
Masyarakat global pasti akan lebih selektif mengonsumsi produk-produk domestik ataupun impor. Mereka pasti akan lebih mengutamakan produk-produk primer ketimbang sekunder.
Artinya, masih ada peluang bagi Indonesia untuk menjaga ekspor agar tidak tergerus lebih dalam di tengah krisis biaya hidup masyarakat global. Indonesia masih bisa mengekspor komoditas primer yang dibutuhkan masyarakat, bahkan bahan baku utama yang dibutuhkan oleh kalangan industri di negara-negara yang tengah mengalami krisis.
Selain itu, lanjut Kasan, Indonesia bisa memetik keuntungan dari menguatnya dollar AS terhadap rupiah. Importir-importir di negera-negara maju, terutama Amerika Serikat, bisa membeli produk-produk RI dengan harga murah lantaran faktor depresiasi nilai tukar RI terhadap dollar AS.
”Sebaliknya, bagi importir dan eksportir di Indonesia, hal itu justru akan menimbulkan biaya ekspor dan impor yang lebih tinggi. Hal inilah yang perlu dicermati dan diwaspadai karena bakal menggerus cadagangan devisa dan menaikkan harga produk impor di Indonesia,” ujarnya.
Menurut Kasan, untuk mengantisipasi penurunan ekspor, BKP akan mengkaji dan memetakan produk-produk primer dan sekunder yang diekspor. Peluang pasar ekspor ke negara-negara yang pertumbuhan ekonominya relatif bagus juga akan terus didorong, seperti ke negara-negara di kawasan Timur Tengah, Asia Tengah, dan Asia Tenggara.
Kementerian Perdagangan menargetkan ekspor nonmigas Indonesia pada 2022 bisa tumbuh 5,2 persen. Hingga Januari-Agustus 2022, ekspor nonmigas Indonesia sudah tumbuh jauh di atas target, yakni 35,24 persen.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai ekspor Indonesia Januari-Agustus 2022 mencapai 194,6 miliar dollar AS atau naik 35,42 persen dibandingkan dengan periode yang sama 2021. Sementara ekspor nonmigas mencapai 183,73 miliar dollar AS atau tumbuh 35,24 persen.
Dalam laporan terbarunya bertajuk ”Paying The Price of War” yang dirilis 26 September 2022, Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menyebutkan, Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina masih akan mendorong kenaikan inflasi dan memberikan tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi global. OECD memproyeksikan, ekonomi dunia pada 2022 dan 2023 bakal melambat masing-masing menjadi 3 persen dan 2,2 persen.
Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dan Eropa akan melambat 0,5 persen dan 0,25 persen. Adapun China, perekonomiannya bakal melambat menjadi 3,2 persen pada 2022. Ketiga negara itu merupakan pasar utama ekspor Indonesia.
OECD juga memperkirakan, kendati masih tinggi, inflasi akan surut secara bertahap hingga 2023 di sebagian besar negara G20 karena pengetatan kebijakan moneter. Rata-rata inflasi di negara-negara G20 akan turun dari 8,2 persen pada 2022 menjadi 6,6 persen pada 2023. Sementara di negara-negara maju, rata-rata inflasi akan turun dari 6,2 persen pada 2022 menjadi 4 persen pada pada 2023.
Untuk Indonesia, ekonominya diperkirakan tumbuh 5 persen pada 2022 dan 4,8 persen pada 2023. Proyeksi pertumbuhan ekonomi tersebut meningkat dari proyeksi OECD pada Juni 2022 yang sebesar 4,7 persen. Adapun inflasi Indonesia pada 2022 dan 2023 diperkirakan masing-masing 4,14 persen dan 3,94 persen.
Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann mengatakan, dukungan fiskal dapat membantu meredam dampak biaya energi yang tinggi pada rumah tangga dan perusahaan. Namun, dukungan fiskal itu tetap harus dikonsentrasikan untuk membantu mereka yang paling rentan dan mempertahankan insentif untuk mengurangi konsumsi energi.
”Tindakan fiskal untuk melindungi standar hidup rumah tangga, terutama yang paling rentan, sangat diperlukan untuk menjaga daya beli,” ujarnya melalui siaran pers.