Angka kemiskinan pada Maret 2022 menurun. Namun, setelah Maret, inflasi melesat naik, terutama pada bahan pangan yang mendominasi pengeluaran warga miskin. Perlu diwaspadai ancaman kemiskinan lebih dalam.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ikhtiar menekan angka kemiskinan tahun ini dibayangi tren kenaikan harga kebutuhan pokok yang semakin tinggi dari waktu ke waktu. Tanpa perbaikan serius pada sisi sasaran dan keterjangkauan distribusi bantuan sosial, kemiskinan diperkirakan bisa kembali meningkat, khususnya di daerah pedesaan.
Angka kemiskinan Maret 2022 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Jumat (15/7/2022) menunjukkan penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, Kondisi ini bersamaan dengan kembali bergeliatnya perekonomian seiring pandemi yang makin dapat dikendalikan dan tercapainya pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,01 persen pada triwulan I-2022 ini.
BPS mencatat, pada Maret 2022, angka kemiskinan adalah 9,54 persen dari total penduduk atau sebanyak 26,12 juta orang, menurun 0,17 persen dibandingkan September 2021, yakni 9,71 persen atau 26,50 juta orang.
Kendati menurun secara tahunan, jumlah orang miskin per Maret 2022 ini masih lebih banyak dibandingkan kondisi sebelum pandemi. Sebagai perbandingan, pada September 2019, sebelum pandemi, angka kemiskinan tercatat sebesar 9,22 persen atau sebanyak 24,68 juta orang.
Kepala BPS Margo Yuwono menjelaskan, angka kemiskinan yang menurun itu menunjukkan pemulihan ekonomi pascapandemi terus berlanjut. Meski demikian, jalur pemulihan itu dibayangi tantangan dalam bentuk krisis pangan dan energi global yang kini berdampak pada naiknya harga berbagai kebutuhan pokok di masyarakat.
Tren kenaikan inflasi yang cepat itu terutama berdampak pada kelompok masyarakat miskin yang rentan terhadap guncangan ekonomi. ”Naiknya harga beberapa komoditas yang banyak dikonsumsi masyarakat tentu saja menambah beban pengeluaran bagi masyarakat miskin,” kata Margo dalam konferensi pers virtual di Jakarta.
Kenaikan harga komoditas pangan pada Maret 2022 yang paling banyak dikonsumsi masyarakat miskin antara lain telur ayam ras (naik 31,55 persen dibandingkan September 2021), minyak goreng curah (naik 10,34 persen), bawang putih (naik 7,7 persen), dan daging ayam ras (naik 7,31 persen).
Tergerus inflasi
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai, pada dasarnya, turunnya angka kemiskinan pada Maret 2022 dapat diperkirakan, seiring dengan pandemi yang lebih terkendali dan ekonomi yang kembali bergeliat.
Tren kenaikan inflasi yang cepat terutama berdampak pada kelompok masyarakat miskin yang rentan terhadap guncangan ekonomi.
Selain itu, meski mulai ada kenaikan inflasi, tetapi belum setajam kondisi setelah Maret 2022. Pada Maret 2022, inflasi tercatat sebesar 2,64 persen secara tahunan (year on year), dan 1,20 persen secara tahun berjalan (year to date).
Namun, upaya menurunkan angka kemiskinan ke depan akan menghadapi tantangan besar. Pasalnya, setelah Maret 2022, inflasi terus meningkat tajam. Terakhir, per Juni 2022, inflasi tahunan sudah mencapai 4,35 persen dan secara tahun berjalan sebesar 3,19 persen.
“Dalam waktu setengah tahun saja, inflasi sudah dua kali lipatnya masa pandemi (tahun 2020). Di semester kedua nanti, inflasi 5 persen sangat mungkin terjadi. Meski masih relatif moderat dibandingkan inflasi di negara lain, tetap saja ini sangat memukul daya beli masyarakat miskin,” kata Faisal.
Apalagi, inflasi tertinggi ada di kelompok pangan, yang mendominasi pengeluaran masyarakat miskin. Inflasi makanan pada Juni 2022 sudah mencapai 9,57 persen secara tahunan. ”Pendapatan nominal masyarakat seiring dengan peningkatan mobilitas bisa saja naik, tetapi secara riil, pendapatan mereka tergerus, terkoreksi oleh inflasi yang semakin tinggi,” ujarnya.
Keterjangkauan bansos
Jika tidak diantisipasi dengan bantuan sosial (bansos) yang tepat sasaran dan menjangkau masyarakat perdesaan, kemiskinan diperkirakan akan semakin dalam. Per Maret 2022, Indeks Kedalaman Kemiskinan memang menunjukkan penurunan, dari 1,668 pada September 2021 menjadi 1,586.
Sebagai catatan, semakin tinggi Indeks Kedalaman Kemiskinan, semakin jauh jaraknya dari garis kemiskinan. Artinya, masyarakat akan semakin sulit keluar dari jurang kemiskinan.
Adapun Indeks Kedalaman Kemiskinan di perdesaan jauh lebih tinggi daripada perkotaan, yakni 2,125, sementara Indeks Kedalaman Kemiskinan di perkotaan adalah 1,187. Hal ini, menurut Faisal, patut menjadi perhatian. Pasalnya, meski pemerintah kini menaikkan anggaran dan nilai program bantuan sosial, tetapi keterjangkauannya hingga ke desa-desa masih terbatas.
”Bicara bansos, meski nilainya naik, tetapi kebanyakan meng-cover masyarakat di kota, yang lebih mudah dibagikan bansos. Padahal, kemiskinan ekstrem banyak terdapat di pedesaan yang lokasinya remote dan sulit dijangkau bansos,” ujar Faisal.
Menurut Faisal, pemerintah perlu memperluas jangkauan distribusi bansos hingga ke pedesaan. Alokasi anggaran perlindungan sosial sebaiknya tidak hanya berfokus pada nilai nominal bansos, tetapi juga menambah anggaran distribusi bansos agar bisa lebih luas menjangkau daerah terpencil.
Selain itu, perbaikan data sasaran bansos tetap menjadi pekerjaan rumah klasik yang harus segera dibenahi. Di tengah keterbatasan APBN saat ini, pengeluaran untuk program bansos dan subsidi yang tidak tepat sasaran hanya akan membuat kondisi keuangan negara semakin kepayahan.
”Kalau inflasi ke depan terus meningkat dan cara-cara kita mendistribusikan bansos masih business as usual seperti ini, kemiskinan berpotensi semakin dalam, khususnya di pedesaan. Mereka bisa jatuh lebih dalam ke jurang kemiskinan karena inflasi,” ujarnya.
Meski pemerintah kini menaikkan anggaran program bantuan sosial, tetapi keterjangkauannya hingga ke desa-desa masih terbatas.
Menekan kesenjangan
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development on Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, momentum pemulihan ekonomi saat ini lebih banyak menguntungkan kelompok masyarakat ekonomi menengah-atas dibandingkan menengah-bawah.
Hal itu terlihat dari angka rasio gini atau ketimpangan yang justru melebar pada Maret 2022. BPS mencatat, rasio gini pada Maret 2022 adalah 0,384, meningkat dari September 2021 yaitu 0,381. Semakin mendekati angka 1, ketimpangan semakin lebar. Sebaliknya, semakin mendekati angka 0, ketimpangan semakin sempit.
Menurut dia, ada beberapa solusi yang bisa ditempuh pemerintah. Pertama, meningkatkan nilai bansos untuk mendongkrak pendapatan masyarakat miskin. Kedua, menciptakan lebih banyak lapangan kerja yang ditujukan untuk masyarakat miskin.
Ketiga, merevisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menyebabkan upah minimum buruh tertahan dan terus termakan inflasi. Keempat, mendorong pemerataan distribusi kekayaan lewat instrumen pajak yang lebih tegas ke kelompok menengah-atas.
”Solusi yang ditempuh harus lebih progresif. Jangan sampai pemulihan saat ini hanya dinikmati oleh segelintir masyarakat menengah-atas, lalu meninggalkan masyarakat miskin,” ujarnya.