Fatamorgana Pemulihan
Benang kusut problem struktural yang mendasari lemahnya pemulihan di sektor ketenagakerjaan ini harus segera menjadi perhatian. Kalau tidak, bertahun-tahun ke depan kita akan kembali dihadapkan pada ilusi yang sama.
Sekilas, kondisi ketenagakerjaan Februari 2022 yang baru dirilis pekan lalu menggembirakan. Jumlah penganggur terus menurun sejak terjadinya pandemi, upah buruh di hampir semua sektor lapangan kerja pun meningkat lagi. Namun, angka-angka itu ibarat fatamorgana, menutupi realitas bahwa masih ada problem struktural yang terbengkalai dan semakin akut.
Setelah sempat naik signifikan sebagai dampak pandemi Covid-19, tingkat pengangguran terbuka (TPT) memang terus menurun dari 8,75 juta orang pada Februari 2021 (6,25 persen dari total angkatan kerja) menjadi 8,4 juta orang pada Februari 2022 (5,83 persen dari total angkatan kerja).
Meski demikian, informalisasi kerja meningkat pesat. Gelombang pemutusan hubungan kerja, praktik merumahkan pekerja, dan pemutihan status kerja selama pandemi memaksa warga lari ke sektor informal sebagai solusi mencari nafkah.
Baca juga : Jangan Terlena Data dan Angka
Tren informalisasi kerja itu tak kunjung reda meski pandemi mulai terkendali dan ekonomi kembali bergerak. Pada Februari 2022, di tengah pertumbuhan ekonomi triwulan I tahun 2022 yang kembali melejit ke kisaran 5 persen, jumlah pekerja informal semakin membeludak.
Dalam satu tahun terakhir, ada 4,55 juta orang baru yang terserap di pasar kerja. Namun, sebanyak 70,1 persen (3,19 juta orang) masuk ke sektor informal. Sisanya, hanya 29,8 persen (1,36 juta orang) yang terserap di sektor formal.
Tren informalisasi itu tidak lepas dari gejala deindustrialisasi dini selama 15 terakhir ini. Total kontribusi sektor manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional menurun dari tahun ke tahun. Pada triwulan I-2022, di tengah krisis rantai pasok dunia, kontribusi sektor pengolahan adalah 19,19 persen, turun dari 19,83 persen pada tahun sebelumnya.
Kendati nilai investasi sekunder naik dan indeks manufaktur selalu ekspansif, sektor pengolahan sebenarnya tengah lesu. Investasi padat karya terus menyusut. Hilirisasi industri tambang, yang sedang jadi prioritas pemerintah, belum signifikan membuka lapangan kerja baru. Apalagi, tanpa diiringi pembangunan ekosistem industri yang komprehensif, investasi tersebut lebih cenderung padat modal dan teknologi, tidak padat karya.
Seiring dengan lambatnya pertumbuhan industri itu, banyak tenaga kerja yang tidak tertampung secara memadai di pasar kerja. Mereka berujung jadi penganggur, berusaha sendiri sebagai pekerja/pengusaha mikro, atau menjadi buruh informal berkedok ”mitra” yang kini semakin menjamur lewat kehadiran berbagai perusahaan rintisan teknologi.
Seiring dengan lambatnya pertumbuhan industri itu, banyak tenaga kerja yang tidak tertampung secara memadai di pasar kerja.
Menambah informalisasi
Dari sisi penawaran pasar kerja, minimnya keterampilan tenaga kerja menjadi salah satu faktor yang berkontribusi pada informalisasi. Namun, sampai sekarang, belum ada gebrakan untuk mereformasi sistem pendidikan vokasi dan pelatihan tenaga kerja. Kebijakan yang digulirkan untuk menjawab isu tersebut justru salah sasaran dan menambah problem informalisasi.
Ambil contoh, program Kartu Prakerja yang dibanggakan pemerintah karena berhasil mencetak wirausaha baru lewat kelas-kelas pelatihan dan insentif uang tunai untuk para pesertanya. Yang kerap luput disoroti, program yang memakan anggaran Rp 10 triliun-Rp 20 triliun setiap tahun itu tidak menjawab problem mendasar penyerapan tenaga kerja di sektor formal.
Memang, sektor UMKM dipandang sebagai tulang punggung perekonomian karena jumlahnya yang banyak dan perannya sebagai ”bumper” ekonomi di kala krisis. Namun, realitas dua tahun terakhir ini menunjukkan sebaliknya. Pelaku usaha kecil di Indonesia sudah terlalu banyak, mayoritas berada di garis subsisten, dan paling rentan terpukul saat krisis.
Alih-alih melahirkan wirausaha berskala mikro baru dan menambah kerentanan kondisi kerja, anggaran negara yang terbatas semestinya diarahkan untuk menyerap tenaga kerja yang sudah mengikuti pelatihan itu ke sektor formal atau untuk memajukan jutaan pengusaha mikro yang sudah ada agar lebih produktif dan sejahtera.
Tren informalisasi di tengah naiknya pertumbuhan ekonomi itu menunjukkan kekeliruan asumsi klasik bahwa jumlah pekerja informal akan menurun seiring dengan kemajuan ekonomi. Apalagi, di tengah sistem ekonomi pasar yang semakin melanggengkan fleksibilitas kerja dan mengutamakan kepentingan korporasi.
Baca juga : Informalisasi Pasar Kerja Meningkat, Kualitas Pemulihan Dipertanyakan
Mengutip Muhtar Habibi dalam buku Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran, alih-alih menjadi pengusaha mikro yang mampu menciptakan kesejahteraan dan mendorong mobilitas vertikal, mayoritas justru menjadi proletariat informal yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya sebagai pekerja.
Sementara itu, sistem kerja pasar justru menciptakan dan mengabadikan informalisasi. Ekspansi bisnis yang besar-besaran di sektor pertambangan dan perkebunan memperparah ketimpangan penguasaan lahan di desa. Akibatnya, banyak warga bermigrasi antara desa dan kota untuk berburu peluang kerja.
Di kota, karena minim keahlian, mereka gagal terserap di sektor formal dan menjadi pedagang kaki lima, tukang ojek, atau buruh harian. Sepulangnya ke desa, karena tidak memiliki lahan dan akses pada sektor produktif, mereka menjadi buruh tani, petani gurem, atau penganggur.
Praktik itu terus dibiarkan dan mengabadikan informalisasi kerja. Meminjam istilah Habibi, surplus populasi pekerja informal yang berlebih justru menguntungkan sistem pasar karena menyediakan pasokan pekerja yang murah dan berlimpah.
Sistem kerja pasar justru menciptakan dan mengabadikan informalisasi.
Pekerja formal
Di sisi lain, kondisi pekerja formal pun sama mirisnya. BPS mencatat, meski rata-rata upah buruh kembali naik pada Februari 2022, secara riil upah buruh justru tergerus inflasi. Kenaikan upah sebesar 1,12 persen itu berada di bawah tingkat inflasi tahunan per April 2022 yang sudah mencapai 3,47 persen dan diprediksi akan terus naik.
Dari 17 provinsi yang mengalami kenaikan upah pada Februari 2022, tujuh provinsi mencatat kenaikan upah di bawah tingkat inflasi tahunan nasional. Sementara 17 provinsi sisanya justru mengalami penurunan upah rata-rata, bahkan di bawah standar upah minimum yang berlaku di daerah tersebut.
Memang, gejolak ekonomi global saat ini membuat tren inflasi melejit di mana-mana. Namun, fenomena upah riil buruh yang tergerus inflasi ini tidak lepas dari karut-marut kebijakan pengupahan setelah kemunculan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
UU tersebut menjadi salah satu faktor yang telah dan akan semakin menghambat kualitas pemulihan ketenagakerjaan pascapandemi. Formula upah minimum yang diatur dalam UU sapu jagat itu menahan laju kenaikan upah demi menciptakan iklim usaha yang kondusif, tetapi kini menekan daya beli pekerja dan menghambat konsumsi rumah tangga.
Implikasi regulasi yang sama juga akan semakin memperparah persoalan struktural yang mendorong informalisasi dan fleksibilitas kerja. Hal itu, antara lain, berupa ketimpangan penguasaan lahan yang semakin tajam demi kemudahan perizinan usaha, ketidakpastian kerja lewat semakin longgarnya pengaturan pekerja kontrak dan pekerja alih daya, serta kebijakan upah rendah.
UU Cipta Kerja menjadi salah satu faktor yang telah dan akan semakin menghambat kualitas pemulihan ketenagakerjaan pascapandemi.
Berbagai persoalan yang menghambat prospek pemulihan ketenagakerjaan di atas tentu memerlukan langkah terobosan baru, yang harus dimulai dengan membenahi UU sebagai payung hukum reformasi struktural. Namun, putusan Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan revisi UU Cipta Kerja sampai sekarang tidak jelas ujungnya.
Pemerintah masih disibukkan dengan presidensi G20, masalah inflasi kebutuhan pokok, ruwetnya pengendalian harga minyak goreng, urusan pembangunan ibu kota baru, dan segudang persoalan lain. Rencana memulai revisi pada awal tahun ini pun bablas buyar.
Meski demikian, benang kusut problem struktural yang mendasari lemahnya pemulihan di sektor ketenagakerjaan ini harus segera kembali menjadi perhatian. Kalau tidak, bertahun-tahun ke depan, kita akan kembali dihadapkan pada ilusi yang sama: seolah-olah pulih, padahal semakin rapuh.
Baca juga : UU Cipta Kerja, Antara Janji dan Realitas