Badai yang Sama di Kapal Berbeda
Pemulihan ekonomi pascapandemi menyisakan problem ketimpangan ekonomi yang meruncing. Kesenjangan berpotensi semakin melebar akibat meroketnya harga berbagai kebutuhan pokok di tengah rendahnya daya beli masyarakat.
Kita menghadapi badai yang sama, tetapi kapal yang kita tumpangi tidaklah sama. Ungkapan itu terasa relevan menggambarkan situasi saat ini. Euforia pemulihan yang muncul seiring dengan kembalinya pertumbuhan ekonomi di angka 5 persen pada awal tahun ini baru dirasakan sebagian orang, meninggalkan sebagian lainnya mengarungi sisa badai di atas kapal yang ringkih.
Di satu sisi, tak dimungkiri, perekonomian nasional berangsur membaik. Pada triwulan I tahun 2022, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,01 persen secara tahunan, kembali melambung setelah sempat terimbas pandemi Covid-19 dalam dua tahun terakhir.
Namun, seperti yang dikhawatirkan, tren pemulihan itu tidak merata. Berbagai indikator menunjukkan, ketimpangan ekonomi justru makin menjadi-jadi dan berpotensi melebar setelah Covid-19 berlalu. Apalagi, di tengah iklim ekonomi global yang semakin tak pasti.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), ketimpangan selama pandemi semakin tajam, khususnya di wilayah perkotaan. Di kawasan urban tersebut, jenis pekerjaan yang tersedia dan masyarakat yang memperebutkannya jauh lebih beragam ketimbang di perdesaan.
Per September 2021, angka rasio gini di perkotaan adalah 0,398 poin, meningkat dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi. Saat itu, rasio gini pada September 2018 dan 2019 masih berada di angka 0,391. Sebagai catatan, semakin mendekati nilai 1, ketimpangan semakin lebar. Sebaliknya, semakin mendekati angka 0, ketimpangan semakin sempit.
Melebarnya ketimpangan itu disebabkan oleh bertambahnya jumlah orang miskin selama pandemi. Per September 2021, ada 26,5 juta orang miskin atau mencakup 9,71 persen dari total penduduk. Meski turun secara tahunan, angka kemiskinan tetap lebih tinggi dibandingkan dengan September 2019, yaitu 24,78 juta orang miskin atau 9,22 persen dari total penduduk.
Di saat yang sama dengan membengkaknya jumlah penduduk miskin itu, aset milik segelintir orang kaya di Indonesia justru bertambah pesat selama pandemi. LaporanForbes pada akhir 2021 menunjukkan, harta 50 orang terkaya di Indonesia meningkat hingga 21 persen dari 133 miliar dollar AS pada 2020 menjadi 162 miliar dollar AS pada 2021.
Berbagai indikator menunjukkan, ketimpangan ekonomi justru makin menjadi-jadi dan berpotensi melebar setelah Covid-19 berlalu. Apalagi, di tengah iklim ekonomi global yang semakin tak pasti.
Gambaran ketimpangan ekonomi juga tampak dari laporan World Inequality Report 2022 oleh Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) dan Lab Ketimpangan Dunia. Disebutkan, rata-rata pendapatan orang dewasa di Indonesia adalah Rp 69 juta per tahun (Rp 5,7 juta per bulan).
Sebanyak 50 persen masyarakat lapisan bawah berpendapatan rata-rata Rp 22,6 juta per tahun (Rp 1,9 juta per bulan). Sementara di sisi lain, 10 persen masyarakat lapisan atas berpendapatan rata-rata Rp 285 juta per tahun (Rp 23,7 juta per bulan).
Senior Program Officer SDGs International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Bona Tua P mengatakan, selama 100 tahun terakhir, 40-50 persen dari total pendapatan nasional dikuasai oleh 10 persen masyarakat dari kelompok ekonomi teratas.
”Sementara itu, dalam periode yang sama, 50 persen masyarakat pada lapisan ekonomi terbawah hanya menguasai 12-18 persen dari total pendapatan nasional,” ujarnya.
Sebenarnya, kondisi ketimpangan ekonomi di Indonesia itu cenderung membaik selama periode tahun 2000-2020. Sayangnya, ujar Bona, pandemi yang menghantam ekonomi domestik selama dua tahun terakhir kembali memperlebar kesenjangan tersebut.
Selama 100 tahun terakhir, 40-50 persen dari total pendapatan nasional dikuasai oleh 10 persen masyarakat dari kelompok ekonomi teratas.
Terancam inflasi
Di sisi lain, meski pandemi mulai mereda, badai lain menanti. Jurang ketimpangan antara masyarakat kelas ekonomi menengah-atas dan bawah berpotensi semakin lebar akibat meroketnya harga kebutuhan pokok di tengah rendahnya upah minimum tahun ini.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai kondisi tersebut tidak akan banyak mengganggu daya beli masyarakat menengah-atas yang pendapatannya stabil dan memiliki likuiditas simpanan yang bisa digunakan untuk situasi darurat.
Namun, masyarakat menengah-bawah yang masih berusaha pulih dari pandemi akan semakin kesulitan memenuhi kebutuhan hidup akibat meningkatnya harga kebutuhan pokok. ”Orang kaya masih punya tabungan sehingga kenaikan inflasi 5 persen pun masih bisa diakomodasi. Tetapi, masyarakat rentan bisa semakin terpuruk sehingga ketimpangan semakin melebar,” ujarnya.
Baca juga: Ketimpangan Jalan Terjal Menuju Ekonomi Berkeadilan
Petani merupakan salah satu kelompok masyarakat rentan yang daya belinya saat ini mulai tergerus oleh inflasi. Nilai tukar petani (NTP) nasional pada Mei 2022 anjlok 2,81 persen dari 108,46 menjadi 105,41. Sebelumnya, pada April, NTP juga merosot 0,76 persen.
NTP menunjukkan perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani. NTP yang semakin rendah dalam beberapa bulan terakhir itu menunjukkan daya beli petani mengalami penurunan.
Kondisi serupa dirasakan pekerja dengan gaji upah minimum. Pendapatan mereka tergerus oleh kenaikan biaya kebutuhan hidup. Itu karena rata-rata kenaikan upah minimum 2022 hanya 1,09 persen, jauh di bawah inflasi tahunan yang pada Mei 2022 sudah mencapai 3,55 persen dan diprediksi terus naik hingga 5 persen pada akhir tahun ini.
Untuk mengatasi ketimpangan ekonomi, politik kebijakan dan anggaran pemerintah harus ditata ulang sesuai skala prioritas.
Solusi berkelanjutan
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance Tauhid Ahmad mengatakan, untuk mengatasi ketimpangan ekonomi, politik kebijakan dan anggaran pemerintah harus ditata ulang sesuai skala prioritas. Kelompok yang tertinggal gerbong pemulihan dan semakin terpuruk akibat dampak inflasi perlu mendapat dukungan lebih kuat.
Ia mengkritisi fokus pemerintah yang masih terpecah kendati ruang fiskal semakin sempit dan krisis belum berakhir. ”Upaya mendorong pemulihan yang inklusif akan semakin sulit jika anggaran tersedot untuk kebutuhan yang tidak urgent, seperti pembangunan ibu kota negara baru,” ujar Tauhid.
Bona Tua menambahkan, pemerintah mesti berupaya keras menahan laju kenaikan harga kebutuhan pokok, khususnya pangan dan energi, agar daya beli masyarakat kelas bawah tidak semakin anjlok. ”Kondisi ketimpangan ekonomi di Indonesia mengkhawatirkan. Penting bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang berkelanjutan, bukan hanya kebijakan yang bersifat periodik,” katanya.
Menurut Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Vivi Yulaswati, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah memprioritaskan penguatan rantai pasok dan nilai tambah di sektor subsisten, seperti pertanian, perikanan, dan perkebunan.
Di atas kertas, program itu sudah termasuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2023. Namun, ia mengakui, implementasinya masih terkendala. ”Banyak faktor yang tidak mendukung di lapangan. Kebijakan berganti, pemerintah daerah tidak mendukung, atau anggaran terbatas,” ujarnya.
Kondisi ketimpangan ekonomi di Indonesia mengkhawatirkan. Penting bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang berkelanjutan, bukan hanya kebijakan yang bersifat periodik.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan, transformasi dan pembangunan sumber daya manusia menjadi faktor kunci untuk menurunkan tingkat kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. Pemerintah pun menggencarkan berbagai program pengembangan SDM, di antaranya Gerakan Nasional Literasi Digital, Digital Talent Scholarship, dan program Kartu Prakerja.
Baca juga: Kesenjangan Ekonomi Terancam Semakin Melebar
Selain itu, penyaluran kredit usaha rakyat (KUR) juga digenjot untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif guna mengatasi ketimpangan pendapatan. Realisasi KUR sejak awal tahun hingga 23 Mei 2022 telah mencapai Rp 136,88 triliun atau 36,88 persen dari target.
Sementara itu, Deputi Bidang Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Amalia Adininggar Widyasanti meyakini, pemulihan saat ini sudah berada di jalur yang tepat. Hal itu terlihat dari kondisi semua sektor usaha dan daerah yang kembali tumbuh positif di awal tahun ini.
”Ini masih proses awal pemulihan ekonomi, akan diikuti dengan tahap-tahap berikutnya. Yang penting, momentum yang ada sekarang ini kita jaga bersama-sama agar tidak perlu ada perlambatan lagi,” katanya.