Ketimpangan, Jalan Terjal Menuju Ekonomi Berkeadilan
Keberhasilan pembangunan tidak hanya soal pertumbuhan ekonomi, peningkatan PDB, peningkatan pendapatan per kapita, dan penurunan kemiskinan, tetapi yang lebih krusial, pemerataan bagi semua kelompok masyarakat.
Ketimpangan ekonomi memburuk sejak era reformasi, sementara di era Presiden Jokowi belum mengalami perbaikan secara signifikan meski mampu menahan ketimpangan ekonomi yang tecermin dari angka gini ratio dalam kisaran 0,380-0,414.
Angka gini ratio (rasio gini) itu berkisar 0-1. Semakin angka rasio gini mendekati 0, maka besarnya pengeluaran (konsumsi) antarkelompok masyarakat semakin merata. Sebaliknya, semakin angka rasio gini mendekati 1, berarti besarnya pengeluaran antar-kelompok masyarakat semakin timpang.
Sementara itu, pada Maret 2021, rasio gini penduduk Indonesia sebesar 0,384. Sejatinya angka ini relatif kecil, sebab masih di bawah 0,5, dan berjarak jauh dari 1. Namun, jika dibandingkan rasio gini di era reformasi, angka rasio gini itu hanya beranjak turun sangat kecil. Dengan demikian, tidak berlebihan jika dikatakan, rasio gini di masa Presiden Jokowi menurun, tetapi tidak mengalami perbaikan ketimpangan ekonomi.
Baca juga: Refleksi Ekonomi 2021
Non-pengeluaran
Uraian dalam paragraf terakhir memang terasa nyeleneh. Sebab, pemerintah hanya menggunakan ukuran ketimpangan rasio gini dengan basis data pengeluaran. Padahal ukuran ketimpangan tidak hanya berbasis data pengeluaran, tetapi ada sejumlah basis data lain, seperti pendapatan, kekayaan, kesempatan berproduksi, dan akses layanan publik. Oleh karena itu, sangat diperlukan mencermati ketimpangan ekonomi dari basis data selain pengeluaran.
Ukuran ketimpangan tidak hanya berbasis data pengeluaran, tetapi ada sejumlah basis data lain.
Pertama, ketimpangan pendapatan, misalnya dari sisi kepemilikan kapital, kelompok pemilik modal sangat menikmati laju pertambahan pendapatan dari imbal hasil investasi (dividen, bunga) yang terus membesar. Sementara, masyarakat lapis bawah bukan pemilik modal, seperti buruh pabrik, buruh tani, petani/nelayan, dan pekerja informal, pertambahan pendapatannya cenderung stagnan.
Selain itu, bisa juga dilihat dari sisi pendapatan kotor (omzet) skala usaha. Kelompok usaha mikro/ultra-mikro memiliki omzet rerata di bawah atau sama dengan Rp 300 juta. Sedangkan kelompok usaha besar memiliki omzet rerata di atas Rp 50 miliar.
Kedua, ketimpangan kekayaan (aset). Dari sisi kekayaan, misalnya, ketimpangan antar-kelompok skala usaha terlihat gap yang sangat jauh. Kelompok usaha besar yang berjumlah 5.550 unit usaha atau 0,01 persen total unit usaha memiliki aset rerata senilai di atas Rp 10 miliar. Sementara kelompok skala usaha mikro/ultra-mikro yang berjumlah 63.350.222 unit usaha (98,68 persen) memiliki total kekayaan rerata sebesar di bawah atau sama dengan Rp 50 juta.
Kondisi itu sejalan dengan temuan lembaga riset asing, Credit Suisse (2020), yang mengamati distribusi kekayaan menurut kelompok penduduk dewasa Indonesia, hasilnya kelompok 10 persen terbawah memiliki kekayaan minus 0,1 persen atau populasinya sekitar 18 juta penduduk dewasa.
Baca juga: Kemiskinan dan Ketimpangan
Pertanyaanya, mengapa kekayaan bisa minus? Jawabannya bisa dianalogikan dengan contoh: sebuah keluarga memiliki 2 motor butut, 2 HP jadul, 1 TV kuno, 1 unit rumah tipe 21, tetapi keluarga ini memiliki kredit (utang) melebihi asetnya itu. Sementara kelompok 10 persen penduduk dewasa teratas memiliki kekayaan 61,8 persen.
Credit Suisse juga melaporkan rerata kekayaan penduduk dewasa Indonesia pada 2018 senilai 15.217 dollar AS. Kemudian pada 2019 meningkat menjadi senilai 17.304 dollar AS dan 2020 (17.693 dollar AS). Namun, terdapat 121,53 juta atau 67,2 persen penduduk dewasa dengan kekayaan kurang dari 10.000 dollar AS.
Sementara itu, 172.000 penduduk dewasa memiliki kekayaan senilai lebih dari 1 juta dollar AS sehingga Credit Suisse menemukan rasio gini kekayaan penduduk Indonesia sebesar 77,7 persen, angka ini lebih tinggi (timpang) dari rasio gini rerata dunia.
Ketiga, ketimpangan kesempatan berproduksi. Ketimpangan ini bisa diukur menggunakan salah satunya rasio gini penguasaan lahan antarkelompok masyarakat. Indeks ini menunjukkan 1 persen penduduk menguasai 59 persen lahan/tanah. Adapun 99 persen penduduk harus berbagi dengan 41 persen luas tanah. Imbasnya, golongan masyarakat lapis bawah memiliki kesempatan berproduksi yang sangat terbatas.
Misalnya di sektor pertanian, dalam lima tahun terakhir, kepemilikan lahan petani semakin sempit, yakni dari rerata 0,4 hektar (2015) menjadi 0,25 hektar (2020), sehingga kapasitas produksi pertaniannya ikut menurun.
Ketimpangan akses berproduksi bisa juga dilihat dari volume ekspor antar-kelompok skala usaha. Usaha besar mampu mengekspor 85,63 persen dari total ekspor komoditas Indonesia, sementara usaha mikro hanya bisa mengekspor 1,22 persen sehingga terjadi ketimpangan laba usaha yang sangat melebar antara usaha besar dan usaha mikro.
Baca juga: Ekonomi Kreatif dan Pasar Berjejaring Sosial
Keempat, ketimpangan akses layanan publik. Di sektor kesehatan, misalnya, meskipun ada peningkatan kualitas fasilitas kesehatan (faskes), kelompok masyarakat berpendapatan rendah kurang bisa mengakses layanan dengan faskes terbaik. Hal ini tecermin dari semakin besarnya jumlah peserta kelas III BPJS lantaran terjadi fenomena migrasi turun kelas, yang jumlahnya mencapai 4,6 juta peserta BPJS.
Demikian juga dengan ketimpangan akses layanan perbankan, di sektor UMKM, misalnya komposisi kredit usaha mikro sebesar 25 persen, usaha kecil (32 persen), dan usaha menengah (43 persen). Selain itu, perkembangan kredit mikro sejak Maret 2020 terus menurun secara signifikan, yakni dari 280.000 unit usaha mikro (Maret 2020) yang terlayani perbankan menjadi 256.777 unit usaha mikro (Juli 2020).
Pemerataan
Keberhasilan pembangunan tidak hanya soal pertumbuhan ekonomi, peningkatan produk domestik bruto (PDB), peningkatan pendapatan per kapita, dan penurunan kemiskinan, tetapi juga yang lebih krusial adalah pemerataan bagi semua kelompok masyarakat meskipun tidak harus sama rata (gini ratio = 0), tetapi setidaknya tidak terlalu melebar (di atas 0,4).
Oleh karena itu, bagi pemerintah diperlukan affirmative action yang lebih kuat, yakni mentransformasikan dari dunia usaha yang berbentuk piramida, menjadi belah ketupat. Selama ini pengusaha besar (0,01 persen) yang berada di puncak, menengah (0,09 persen), kecil (1,22 persen), dan usaha mikro/ultra mikro (98,68 persen) berada paling bawah. Diubah menjadi usaha besar (2 persen), menengah dan kecil (95 persen), serta mikro/ultra-mikro (3 persen) berada di bagian paling bawah.
Baca juga: Covid 19, Ketimpangan, Kemiskinan, dan Pengangguran di Pedesaan
Dengan tranformasi tersebut diharapkan kesejahtaraan rakyat meningkat secara merata, yang diikuti dengan pendapatan, kekayaan, dan daya beli masyarakat turut meningkat. Dengan demikian tidak mustahil, pada 2036 Indonesia mampu keluar dari middle income trap, dan menjadi salah satu negara dengan PDB per kapita terbesar di dunia. Alhasil, yang terpenting ekonomi berkeadilan sosial mewujud di Tanah Air.
Oleh karena itu, diperlukan kebijakan (political will) pemerintah yang berpihak pada dunia usaha/masyarakat lapisan bawah, dengan membantu dan mendampingi dalam hal permodalan, marketing, proses produksi, dan manajemen. Selain itu, ketimpangan ekonomi tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat yang tergolong mampu (aghniya) untuk membantu yang lemah dengan mendayagunakan dana zakat, infak, shodaqoh, dan wakaf (Ziswaf) secara lebih produktif.
Imron Rosyadi, Peneliti Pada Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI) FEB UMS, Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta