Geliat Konsumsi Bertumpu pada Masyarakat Kelas Menengah
Masyarakat berpenghasilan menengah dinilai menjadi tumpuan geliat pemulihan ekonomi. Di sisi lain, salah satu faktor yang memengaruhi masih rendahnya konsumsi rumah tangga adalah konsumsi kelas atas yang masih terbatas.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Pengunjung memilih buah-buahan yang ditawarkan dengan potongan harga di pasar swalayan di kawasan Karang Tengah, Kota Tangerang, Banten, Selasa (26/4/2022). Peningkatan belanja masyarakat pada periode Ramadhan dan Idul Fitri diyakini bakal menjadi pendorong kinerja industri manufaktur, terutama sektor ritel dan konsumsi.
JAKARTA, KOMPAS — Geliat konsumsi nasional masih bertumpu pada masyarakat berpenghasilan menengah. Agar konsumsi dapat tumbuh optimal, daya beli masyarakat berpenghasilan rendah perlu dijaga dan belanja masyarakat berpenghasilan atas perlu didorong.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2022 sebesar 5,01 persen secara tahunan Konsumsi rumah tangga tumbuh 4,43 persen secara tahunan dan 0,19 persen secara triwulanan. Kontribusinya terhadap produk domestik bruto sebesar 53,56 persen.
Geliat konsumsi atau belanja pada masa Ramadhan-Lebaran 2022 akan mengungkit pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2022. Hal itu terindikasi dari indeks belanja sepanjang Ramadhan 2022 yang tumbuh 31 persen menjadi 179,4, jauh di atas ambang batas indeks yang sebesar 100.
Vice President for Industry and Regional Research Office of Enonomist Group PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani, Kamis (12/5/2022), mengatakan, kenaikan indeks belanja Ramadhan 2022 terjadi di semua kelompok penghasilan. Masyarakat berpenghasilan menengah berbelanja paling tinggi, sedangkan belanja masyarakat berpenghasilan rendah dan tinggi kembali berada di atas level prapandemi.
Indeks belanja Ramadhan 2022 masyarakat berpenghasilan menengah mencapai 229,2. Adapun indeks belanja masyarakat berpenghasilan tinggi dan rendah hampir setara, masing-masing 103,1 dan 107,6. Indeks belanja masyarakat berpenghasilan tinggi merupakan yang tertinggi sepanjang pandemi, sedangkan indeks masyarakat berpenghasilan rendah merupakan yang tertinggi sejak Lebaran 2021.
”Meski tingkat belanja setiap kelas masyarakat naik, penumpu utama geliat pemulihan ekonomi adalah masyarakat berpenghasilan menengah,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta.
Meski tingkat belanja setiap kelas masyarakat naik, penumpu utama geliat pemulihan ekonomi adalah masyarakat berpenghasilan menengah.
Menurut Dendi, kelompok kelas menengah ini relatif memiliki uang karena berpenghasilan tetap. Mereka yang selama ini juga menahan belanja karena pandemi Covid-19 mulai berbelanja. Jumlah mereka juga banyak sehingga potensial menggerakkan perekonomian melalui pengeluaran atau belanja.
Ke depan, masyarakat kelas menengah masih akan menjadi pemantik pemulihan ekonomi. Akan tetapi, sama halnya dengan masyarakat kelas bawah, mereka juga menghadapi tuntutan pengeluaran biaya yang relatif besar di tengah kenaikan harga pangan dan energi, serta memasuki tahun ajaran baru 2022/2023.
”Geliat belanja kelas menengah ini perlu tetap dijaga karena mereka juga terimbas pandemi Covid-19. Di sisi lain, penciptaan lapangan kerja padat karya diperlukan untuk menambah kelas menengah sekaligus mengurangi pengangguran,” tuturnya.
Bank Dunia dalam laporannya bertajuk ”Aspiring Indonesia-Expanding the Middle Class”, Januari 2020, menyebutkan, dalam periode 15 tahun terakhir, jumlah populasi kelas menengah Indonesia naik dari 7 persen menjadi 20 persen dari total populasi atau sekitar 52 juta orang pada 2019.
Laporan Bank Dunia ”Pathways to Middle-class Jobs in Indonesia” yang dirilis pada 30 Juni 2022 juga menunjukkan, pangsa pekerja kelas menengah Indonesia yang sebesar 15,4 persen pada Agustus 2019 turun menjadi 10,2 persen pada Agustus 2020 akibat imbas pandemi Covid-19.
Dekorasi instalasi masjid menghiasi Senayan City Mal, Jakarta, dalam rangka menyemarakkan Ramadhan dan dalam rangka menyambut Lebaran, Rabu (13/4/2022). Selain menghadirkan seni instalasi yang menarik untuk spot berfoto, berbagai tawaran potongan harga diberikan untuk meningkatkan kunjungan dan belanja pengunjung.
Ekspektasi konsumen
Peneliti Center Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan berpendapat, salah satu faktor yang memengaruhi masih rendahnya konsumsi rumah tangga adalah konsumsi kelas atas yang masih terbatas. Hal itu terindikasi dari jumlah simpanan di atas Rp 5 miliar yang meningkat.
Lembaga Penjamin Simpanan mencatat, simpanan bernilai di atas Rp 5 miliar di perbankan per Maret 2022 sebesar Rp 3.905 triliun, tumbuh 2,3 persen secara bulanan dan 13,3 persen secara tahunan. Porsi simpanan tersebut sebesar 51,8 persen dari total simpanan di bank yang mencapai Rp 7.544 triliun.
Adapun simpanan di bawah Rp 100 juta tumbuh 0,6 secara bulanan dan 4,8 persen secara tahunan. Porsinya terhadap total simpanan di bank per Maret 2022 sebesar 12,7 persen.
”Hal itu menunjukkan masyarakat kelas atas belum belanja secara optimal. Mereka menunggu kondisi ekonomi benar-benar membaik dan pandemi benar-benar terkendali,” ujar Abdul.
Simpanan bernilai di atas Rp 5 miliar di perbankan per Maret 2022 mencapai Rp 3.905 triliun, tumbuh 2,3 persen secara bulanan dan 13,3 persen secara tahunan.
Bank Indonesia (BI) menunjukkan, indeks keyakinan konsumen (IKK) pada April 2022 membaik. Berdasarkan hasil Survei Konsumen BI, IKK pada April 2022 sebesar 113,1, lebih tinggi dari Maret 2022 yang sebesar 111. Hal itu didorong oleh persepsi konsumen terhadap ekonomi saat ini yang ditunjukkan oleh peningkatan indeks ekonomi saat ini (IKE) dari 93,9 pada Maret 2022 menjadi 98,9 pada April 2022, mendekati 100 atau level optimistis.
Namun, kendati masih berada pada level optimistis, indeks ekspektasi kondisi ekonomi (IEK) turun. IEK April 2022 tercatat sebesar 127,2 atau lebih rendah dari Maret 2022 yang sebesar 128,1. Melemahnya ekspektasi konsumen ini terjadi disebabkan oleh penurunan ekspektasi konsumen terhadap kondisi usaha, penghasilan, dan ketersediaan lapangan kerja ke depan.
Indeks ekspektasi konsumen terhadap perkembangan kegiatan usaha, misalnya, turun 0,8 poin menjadi 125. ”Penurunan ini ditengarai oleh kekhawatiran responden terhadap melemahnya daya beli masyarakat akibat dampak kenaikan harga beberapa komoditas, seperti minyak goreng dan bahan bakar minyak, serta pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11 persen,” kata Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono melalui siaran pers di Jakarta.