”Daur Ulang” Hasil ”Booming” Komoditas Guna Jaga Tren Pertumbuhan
Dampak positif dan negatif ”booming” komoditas bisa dilihat dari sisi korporasi, rumah tangga, dan fiskal negara. Dari sisi korporasi dan rumah tangga, korporasi lebih diuntungkan ketimbang rumah tangga.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
KOMPAS/IWAN SETYAWAN
Proses produksi minyak goreng di pabrik pengolah minyak sawit milik PT Smart di Kawasan Industri Marunda Center, Bekasi, Jawa Barat, beberapa waktu. Pabrik ini mengolah minyak sawit menjadi beragam produk turunan, seperti minyak goreng, margarin, dan mentega, dengan kapasitas produksi 1.800 ton minyak sawit per hari. Produk yang dihasilkan selain dipasarkan di dalam negeri, juga untuk ekspor ke sejumlah negara di Timur Tengah dan Eropa.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan korporasi diharapkan ”mendaur ulang” hasil booming komoditas untuk menjaga tren pertumbuhan ekonomi di tengah potensi kenaikan inflasi. Pendapatan dari kenaikan sektor komoditas itu dapat dialokasikan ke sektor-sektor lain atau diinvestasikan kembali untuk mengembangkan usaha.
Kepala Ekonom Citibank Indonesia Helmi Arman, Rabu (8/6/2022), mengatakan, Indonesia merupakan negara eksportir sekaligus importir bersih komoditas pangan dan energi. Tidak mengherankan jika kenaikan harga batubara, minyak mentah, dan minyak kelapa sawit mentah dapat memberikan ”durian runtuh” (windfall) sekaligus memunculkan tambahan pengeluaran akibat kenaikan harga pangan dan energi di dalam negeri.
”Dampak positif dan negatifnya bisa dilihat dari sisi korporasi, rumah tangga, dan fiskal negara. Dari sisi korporasi dan rumah tangga, korporasi lebih diuntungkan ketimbang rumah tangga,” ujarnya dalam Diskusi Pembangunan Indonesia bertajuk ”Tinjauan Komoditas Indonesia: Prospek dan Tantangan” yang digelar Bank Pembangunan Asia (ADB) secara virtual.
Berdasarkan perkiraan Citi Research, booming komoditas membuat korporasi besar mendapatkan aliran kas masuk sebesar 1,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka itu didapat dari pendapatan atas ekspor sebesar 1,4 persen PDB dan pembelian konsumen atau rumah tangga 0,1 persen PDB. Pendapatan korporasi tersebut dapat menambah PDB nasional sebesar 0,5 persen.
Sementara aliran kas rumah tangga justru minus 0,4 persen dari PDB. Angka itu berasal dari pengeluaran rumah tangga yang harus menanggung kenaikan harga pangan dan energi (minus 0,6 persen dari PDB), rumah tangga petani sawit (0,1 persen PDB), dan bantuan sosial (0,1 persen PDB). Kondisi itu dapat mengurangi PDB sebesar 0,2 persen.
Dampak positif dan negatifnya bisa dilihat dari sisi korporasi, rumah tangga, dan fiskal negara. Dari sisi korporasi dan rumah tangga, korporasi lebih diuntungkan ketimbang rumah tangga.
Perkiraan itu mengasumsikan kenaikan pertamax (RON 92) sebesar 38 persen dan 10 persen dari konsumen pertamax beralih ke pertalite. Asumsi lainnya adalah tidak ada kenaikan harga pertalite dan elpiji 3 kg serta penghapusan premium dengan mengalihkannya ke pertalite.
Menurut Helmi, korporasi besar dapat memanfaatkan keuntungan dari ”durian runtuh” ini untuk menjaga tren pertumbuhan ekonomi. Keuntungan itu dapat digunakan untuk meningkatkan investasi ke sejumlah sektor lain yang mulai tumbuh, seperti yang sudah dilakukan beberapa korporasi.
Dari sisi fiskal, booming komoditas telah menambah kas negara. Namun, tambahan dana itu digunakan untuk berbagai pembiayaan, termasuk pengendalian pandemi Covid-19, subsidi energi, dan perlindungan sosial.
”Pandemi memang sudah relatif terkendali sehingga pemerintah dapat memangkas anggaran pengendaliannya kendati tidak menutup kemungkinan munculnya varian (virus korona) baru. Di sisi lain, pemerintah harus menggunakan APBN 2022 untuk meredam kenaikan inflasi dan menjaga daya beli,” katanya.
Badut Angry Birds berjalan gontai menunggu belas kasihan pengguna jalan di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Rabu (8/7/2020). Hasil kajian sejumlah lembaga memproyeksikan ledakan pengangguran. Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, misalnya, memproyeksikan jumlah penganggur secara nasional bertambah 4,25 juta menurut skenario ringan, 6,68 juta orang (skenario sedang), dan 9,35 juta orang (skenario berat).
Defisit APBN pada 2022, lanjut Helmi, berpotensi melebar di bawah 4,5 persen PDB. Meskipun demikian, pada 2023, defisitnya akan semakin terjaga di kisaran 3 persen seiring dengan penurunan harga komoditas.
ADB memperkirakan perekenomian Indonesia tumbuh 5 persen pada 2022 dan 5,2 persen pada 2023. Tingkat inflasi di Indonesia yang pada 2021 sebesar 1,6 persen diperkirakan naik menjadi 3,6 persen pada 2022. Kemudian pada 2023, tingkat inflasi diperkirakan turun menjadi 3 persen.
Fiskal dan pangan
Dalam rapat kerja dengan Komite IV Dewan Perwakilan Daerah, Selasa (7/6/2021), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, belanja negara pada tahun ini diperkirakan meningkat dari Rp 2.714,2 triliun menjadi Rp 3.106,4 triliun. Peningkatan itu terjadi lantaran ada tambahan subsidi energi, kompensasi bahan bakar minyak dan listrik, serta bantuan sosial.
”Ini merupakan konsekuensi pemerintah jika ingin menjaga daya beli dan menahan kenaikan harga di dalam negeri akibat lonjakan harga pangan dan energi global,” ujarnya.
Ini merupakan konsekuensi pemerintah jika ingin menjaga daya beli dan menahan kenaikan harga di dalam negeri akibat lonjakan harga pangan dan energi global.
Pemerintah menargetkan defisit APBN pada 2022 sebesar Rp 840,2 triliun atau 4,5 persen PDB. Pada 2023, defisit itu ditargetkan turun menjadi 3 persen dari PDB. Selain itu, pemerintah berkomitmen untuk menjaga stabilitas stok dan harga pangan agar daya beli masyarakat tidak tergerus.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Kasan Muhri menuturkan, pemerintah terus mendorong ekspor CPO dan sejumlah produk turunannya di tengah kenaikan harga komoditas. Di sisi lain, pemerintah tetap menjamin ketersediaan minyak goreng beserta bahan bakunya di dalam negeri.
Oleh karena itu, kebijakan kewajiban memasok CPO dan sejumlah produk turunannya untuk kebutuhan dalam negeri (DMO) telah diterapkan. Eksportir yang patuh terhadap kebijakan itu akan mendapatkan insentif ekspor. Minyak goreng curah hasil DMO itu akan digulirkan ke masyarakat seharga Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kg.
”Akan ada 10.000 titik pendistribusian yang juga melibatkan sekitar 30.000 pengecer,” ujarnya dalam Forum Merdeka Barat 9 bertema ”Atur Ulang Tata Kelola Industri Sawit” yang digelar secara virtual, Rabu.
Dalam kesempatan yang sama, Asisten Deputi Pengembangan dan Pembaruan Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM Bagus Rachman mengatakan, pemerintah akan memperkuat kelembagaan petani sawit swadaya. Koperasi-koperasi akan dibentuk dan akan diintegrasikan dengan sejumlah pabrik pengolahan sawit.
”Koperasi tersebut akan berperan sebagai aggregator atau pengumpul tanda buah segar (TBS) kelapa sawit petani. Korporasi petani sawit ini penting untuk menjaga harga TBS petani sawadaya,” katanya.