Hadapi Restriksi dan Wabah, Pemerintah Jaga Stok Domestik
Pemerintah menggulirkan kebijakan DMO dengan insentif ekspor, percepatan impor daging beku, dan subsidi harga kedelai impor guna menjaga stok pangan domestik. Di sisi lain, risiko stagflasi dinilai perlu diwaspadai.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melakukan berbagai cara untuk menjaga stok pangan domestik menyusul maraknya restriksi pangan serta penyakit mulut dan kuku. Sejumlah langkah yang digulirkan antara lain kombinasi kebijakan kewajiban memasok kebutuhan pasar domestik atau DMO dengan insentif ekspor, percepatan impor, dan subsidi bahan pangan.
Guna menjaga stok dan harga minyak goreng di dalam negeri, pemerintah telah menggulirkan kebijakan DMO minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan sejumlah produk turunannya sebesar 20 persen. Bersamaan dengan langkah itu, pemerintah memberikan insentif kepada eksportir komoditas-komoditas tersebut.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan, Selasa (7/6/2022), mengatakan, pemerintah tengah mengoptimalkan pendistribusian minyak goreng curah hasil DMO ke daerah-daerah pelosok di luar Jawa. Agar langkah itu berjalan baik, pemerintah memberikan insentif kepada eksportir yang memasok minyak goreng dan bahan bakunya ke daerah-daerah tersebut.
Kemendag telah membuat Matriks Regionalisasi Pendistribusian Minyak Goteng Curah. Ada 12 daerah pendistribusian yang ditentukan indeks pengali realisasi DMO dengan ekspor, yaitu Bengkulu dengan indeks 1,1, Bangka Belitung (1,1), Kepulauan Riau (1,25), Papua (1,35), Papua Barat (1,35), Maluku (1,35) Maluku Utara (1,35), Nusa Tenggara Timur (1,35), Sulawesi Tengah (1,15), Sulawesi Tenggara (1,15), Gorontalo (1,15), dan Kalimantan Utara (1,35).
Oke mencontohkan, indeks regionalisasi pendistribusian ke Papua 1,35. Artinya, setiap eksportir yang mendistribusikan hasil DMO ke Papua sebanyak 1.000 liter berhak mendapatkan tambahan ekspor CPO dan sejumlah produk turunannya sebanyak 350 liter.
”Ini merupakan insentif bagi eksportir sebagai ganti biaya distribusi ke daerah-daerah pelosok yang biasanya lebih tinggi. Langkah itu juga guna memastikan ketersediaan minyak goreng curah seharga Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kilogram di sejumlah daerah di luar Jawa,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta.
Ini merupakan insentif bagi eksportir tersebut sebagai ganti biaya distribusi ke daerah-daerah pelosok yang biasanya lebih tinggi. Langkah itu juga guna memastikan ketersediaan minyak goreng curah seharga Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kg di sejumlah daerah di luar Jawa.
Berdasarkan Laporan Perkembangan Harga, Inflasi, dan Stok Indikatif Kebutuhan Pokok Kemendag per 6 Juni 2022, pemerintah juga berencana mempercepat impor daging kerbau dan sapi beku dari sejumlah negara yang bebas penyakit mulut dan kuku (PMK). Hal itu guna menjaga stabiltas stok dan harga daging sapi menjelang Idul Adha di tengah berkembangnya PMK di Tanah Air.
Kementerian Pertanian telah menetapkan empat kabupaten di Jawa Timur (Mojokerto, Gresik, Sidoarjo, dan Lamongan) dan satu kabupaten di Aceh (Aceh Tamiang) sebagai daerah wabah PMK. Per 31 Mei 2022, total kasus PMK yang terkonformasi mencapai 29.998 ekor.
Pemerintah juga melanjutkan program Bantuan Penggantian Selisih Harga Pembelian Kedelai di tingkat produsen tahu dan tempe Rp 1.000 per kg. Per 31 Mei 2022, Perum Bulog yang ditugasi menjalankan program itu telah menyalurkan 28.728,45 ton kedelai ke produsen tahu dan tempe.
Pemerintah juga berencana memperluas lahan kedelai di dalam negeri. Salah satunya adalah dengan menggulirkan pembiayaan perluasan lahan kedelai dengan skema pembayaran pascapanen dan subsidi bunga kredit usaha rakyat (KUR) sebesar 3 persen hingga Desember 2022.
Adapun untuk mengantisipasi kenaikan harga gandum atau tepung terigu di dalam negeri, pemerintah akan memantau pergerakan harga gandum. Koordinasi dengan Asosiasi Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) dan pemerintah daerah akan terus dilakukan.
Sejumlah lembaga dunia terus mengingatkan beberapa negara untuk membangun strategi ketahanan pangan guna meredam imbas kenaikan harga pangan. Kenaikan harga tersebut dapat memicu terjadinya stagflasi atau kondisi ekonomi yang tidak bertumbuh yang dibarengi dengan inflasi.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyebutkan, kendati sejumlah harga pangan mulai turun, risiko kenaikan harga masih tetap ada. Pada 3 Juni 2022, FAO merilis, Indeks Harga Pangan FAO (FFPI) pada Mei 2022 sebesar 157,4, turun tipis 0,6 persen secara bulanan dan naik 22,8 persen secara tahunan. FFPI sempat berada di level tertinggi dalam sejarah pada Maret 2022, yakni 159,7, dan mulai turun pada April 2022 menjadi 158,3.
Sepanjang Mei 2022, harga minyak nabati, susu, dan mulai turun. Namun, harga serealia dan daging justru naik. Harga gandum internasional naik 5,6 persen secara bulanan dan 56,2 persen secara tahunan, masih 11 persen di bawah rekor harga tertinggi pada Maret 2008.
Kenaikan harga gandum itu terjadi lantaran larangan ekspor gandum India dan penurunan produksi di Ukraina akibat perang. Selang tak lama, India juga mengumumkan pembatasan ekspor 10 juta ton gula per 1 Juni 2022.
"Pembatasan ekspor menciptakan ketidakpastian pasar dan meningkatkan volatilitas harga. Penurunan harga minyak nabati (pada Mei 2022) menunjukkan betapa pentingnya penghapusan larangan ekspor guna memperlancar arus ekspor global,” kata Kepala Ekonom FAO Máximo Torero Cullen melalui siaran pers.
Pembatasan ekspor menciptakan ketidakpastian pasar dan meningkatkan volatilitas harga.
Dalam The Financial Expreess, Kepala Perwakilan Dana Moneter Internasonal (IMF) India, Nepal, dan Bhutan, Luis Breuer mengatakan, dalam beberapa pekan terakhir, risiko stagflasi telah meningkat secara signifikan di sejumlah negara maju dan tingkat pertumbuhan diperkirakan akan melambat. Bank sentral Amerika Serikat dan Uni Eropa telah menaikkan suku bunga untuk mengatasi kenaikan inflasi.
Inflasi itu terjadi disebabkan oleh lonjakan harga komoditas dan gangguan pasokan akibat konflik Rusia-Ukraina. Ekonomi global diperkirakan tumbuh stabil sebesar 3,6 persen.
”Kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat akan menaikkan biaya pinjaman yang akan berdampak pada tingkat pertumbuhan. Kenaikan suku bunga itu juga akan menyedot modal dari seluruh dunia karena imbal hasil yang tinggi,” ujarnya.