Penundaan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 juga diperlukan untuk mengevaluasi dan menata ulang program Jaminan Kehilangan Pekerjaan sebagai pengganti Jaminan Hari Tua, agar lebih inklusif dan mudah diakses pekerja.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta menunda penerapan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua. Penundaan diperlukan untuk menata program Jaminan Kehilangan Pekerjaan agar lebih inklusif dan efektif melindungi pekerja.
Permintaan penundaan itu disampaikan perwakilan serikat pekerja saat menemui Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah di tengah unjuk rasa penolakan ketentuan baru program Jaminan Hari Tua (JHT) di Jakarta, Rabu (16/2/2022).
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban mengatakan, momentum dikeluarkannya Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tidak tepat karena saat ini buruh sedang menghadapi tekanan bertubi- tubi dari dampak ganda pandemi, digitalisasi, dan berkurangnya hak-hak mereka yang timbul dari Undang-Undang Cipta Kerja.
”Waktu peraturan ini keluar, buruh kaget. Momennya tidak tepat dan masih kurang konsultasi. Saya kira, kalau ruang diskusi dibuka, kami bisa ikut memberi masukan dan masalah bisa diminimalisasi,” kata Elly.
Penangguhan aturan itu diperlukan untuk mengevaluasi program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebagai pengganti JHT agar lebih inklusif dan mudah diakses. Saat ini, cakupan JKP hanya terbatas pada pekerja formal tetap dengan masa iur tertentu dan yang dikenai pemutusan hubungan kerja (PHK). Pekerja yang mengundurkan diri, pekerja kontrak yang habis masa kontrak, dan pekerja informal tidak bisa mengakses manfaat JKP.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Federasi Serikat Buruh Niaga, Informatika, Keuangan, Perbankan, dan Aneka Industri Carlos Rajagukguk menambahkan, aturan pencairan manfaat JKP pada praktiknya sulit dilakukan. Sebab, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan mengharuskan pekerja mengajukan klaim manfaat JKP tiga bulan sejak dikenai PHK. Jika melewati tenggat, haknya bakal hilang.
”Pasalnya, perselisihan hubungan industrial terkait PHK biasanya memakan waktu lama. Baik sejak proses dialog bipartit, mediasi, apalagi jika mencapai pengadilan hubungan industrial. Tidak mungkin bisa mengejar waktu tiga bulan,” ujar Carlos.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan mengharuskan pekerja mengajukan klaim manfaat JKP tiga bulan sejak dikenai PHK. Jika melewati tenggat, haknya bakal hilang.
Momentum yang kurang tepat itu juga disoroti pengusaha. Meski sepakat dengan penataan sistem jaminan sosial dan mengembalikan lagi fungsi JHT, Ketua Umum Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI) Greg Chen meminta agar pemerintah tidak terbiasa mengeluarkan regulasi secara mendadak. Itu membuat pengusaha dan pekerja sulit merespons situasi dan menyiapkan langkah cadangan.
”Jangan buru-buru dalam tiga bulan diberlakukan. Lebih bijak jika ditargetkan waktunya, misalnya regulasi akan efektif Januari tahun baru (2023). Jadi, perusahaan dan pekerja punya waktu untuk siapkan anggaran, siapkan komunikasi, dan prosedur standar,” kata Greg.
Terutama, imbuh Greg, untuk pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang masih berusia muda dan kontraknya hanya sekitar 12-24 bulan. “Mereka ini harus menunggu sampai 20 tahun (untuk mencairkan JHT). Itu membuat pekerja resah, termasuk akhirnya perusahaan. Sebab, pekerja datang bilang ke perusahaan, ini ada regulasi baru, kalau saya mau cairkan (JHT), saya berarti harus break contract dong? Sementara kontraknya masih satu tahun lagi, ini kan susah,” kata Greg.
Memastikan efektif
Sementara itu, seusai mendampingi Menaker menerima massa buruh, Sekretaris Jenderal Kemenaker Anwar Sanusi mengatakan, pertemuan audiensi dengan buruh berlangsung kondusif. Dalam kesempatan itu, Menaker juga sempat menyampaikan banyak hal terkait tujuan, maksud, dan substansi Permenaker No 2/2022.
”Memang ada masukan dan aspirasi dari buruh terkait aturan itu. Ibu Menteri menyimak dan menyampaikan bahwa aspirasi tersebut diserap dan akan dikaji,” ujarnya.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemenaker Indah Anggoro Putri menambahkan, Permenaker No 2/2022 tidak tiba-tiba dikeluarkan. Aturan itu sudah melewati pembahasan dan sosialisasi ke beberapa pihak.
Menurut dia, yang dilakukan pemerintah saat ini justru untuk meluruskan kembali Permenaker No 19/2015 yang tidak konstitusional karena bertentangan dengan UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. “Kita sekarang, kan, sudah punya JKP. Jadi ini momentum yang pas untuk menata kembali seluruh jaminan sosial, di setiap siklus bekerja, dengan segala risiko yang dihadapi,” kata Putri.
Pemerintah bersama BP Jamsostek, menurut Direktur Jaminan Sosial Kemenaker Retno Pratiwi, harus memastikan JKP berjalan efektif untuk menjamin pekerja yang kehilangan pekerjaan. Hal itu termasuk mendorong kepatuhan pengusaha mendaftarkan pekerjanya ke program jaminan sosial ketenagakerjaan.
“Sebab, untuk pekerja mendapat manfaat JKP, tergantung pada kepatuhan pengusaha. Maka, kita harus bersama-sama, pengusaha juga harus patuh. Jangan sampai pekerja tidak dapat haknya karena pemberi kerja tidak patuh,” ujar Retno.
Ia meminta pekerja untuk aktif mengecek akun BP Jamsostek dan mengecek status kepesertaan. Pemerintah melalui pengawas ketenagakerjaan juga akan memastikan para pekerja telah terdaftar di JKP. “Bagi peserta yang nantinya tidak bisa mengakses manfaat JKP, masih ada kehadiran negara lewat Kartu Prakerja, juga program-program pelatihan kerja lainnya,” kata dia.