Formula Baru Upah Minimum Dianggap Bawa Ketidakpastian
Regulasi baru tentang pengupahan mengatur bahwa kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan menjadi dasar penetapan upah minimum. Namun, kalangan buruh menilai, formula baru justru berpotensi memunculkan ketidakpastian.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengubah formula penetapan upah minimum. Nilai upah tidak lagi memperhitungkan survei kebutuhan hidup layak, tetapi kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. Namun, rumusan baru ini dianggap berpotensi mendorong ketidakpastian dalam penetapan upah minimum pekerja.
Formula baru ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan sebagai peraturan turunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Peraturan yang merevisi PP No 78/2015 tentang Pengupahan itu mengatur, upah minimum ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan, tidak lagi berdasarkan komponen kebutuhan hidup layak (KHL).
Kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan yang dimaksud meliputi indikator paritas daya beli (purchasing power parity), tingkat penyerapan tenaga kerja, serta median upah. Ketiga indikator ini dipakai untuk menetapkan standar upah minimum bagi wilayah yang belum memiliki upah minimum kabupaten/kota.
Sementara itu, untuk menyesuaikan nilai upah minimum provinsi ataupun kabupaten/kota setiap tahun, indikator yang digunakan adalah rentang nilai tertentu di antara batas atas dan batas bawah upah minimum wilayah bersangkutan.
Batas atas dan batas bawah upah itu dihitung dengan menggunakan variabel rata-rata konsumsi per kapita, rata-rata banyaknya anggota rumah tangga, dan rata-rata banyaknya anggota yang bekerja pada setiap rumah tangga di wilayah bersangkutan.
Besaran nilai upah minimum didapat dengan menyandingkan rentang nilai batas atas dan batas bawah itu dengan variabel upah minimum tahun berjalan yang berlaku dengan variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi daerah bersangkutan. Data yang dipakai semuanya bersumber dari Badan Pusat Statistik.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar, Selasa (2/3/2021), mengatakan, secara filosofis, upah minimum seharusnya adalah jaring pengaman yang ditentukan pemerintah untuk menjamin pekerja dan keluarganya dapat hidup layak.
”Upah minimum seharusnya melihat juga kondisi paling riil untuk pekerja hidup dengan layak. Tidak ada kaitannya dengan tingkat penyerapan tenaga kerja, paritas daya beli, dan median upah,” kata Timboel.
Menurut dia, penggunaan berbagai indikator makroekonomi yang baru itu tidak relevan karena tidak menggambarkan kebutuhan riil biaya konsumsi masyarakat pekerja di lapangan. Meski survei KHL selama ini juga memiliki kekurangan dan perlu dibenahi, itu bisa menggambarkan kebutuhan konsumsi pekerja.
Penggunaan sejumlah indikator baru itu justru memosisikan penentuan upah dalam bingkai mekanisme pasar, berdasarkan hukum permintaan dan penawaran. Hal itu dinilai merupakan bentuk liberalisasi upah minimum dan pelepasan tanggung jawab negara untuk menyejahterakan kaum buruh.
Formula baru itu, menurut dia, bisa memunculkan ketidakpastian dalam penentuan upah. Apalagi jika data variabel itu tidak disediakan secara terbuka dan aktual. Variabel seperti rata-rata konsumsi per kapita dan jumlah anggota keluarga yang bekerja di suatu rumah tangga, misalnya, akan memengaruhi penyesuaian upah minimum.
”Semakin banyak yang menganggur, itu akan memengaruhi besaran upah minimum, yang bisa menjadi lebih rendah dan membuat daya beli pekerja justru semakin menurun dan mengancam kesejahteraan pekerja dan keluarganya,” katanya.
Direktur Pengupahan Kementerian Ketenagakerjaan Dinar Titus Jogaswitani mengatakan, komponen KHL tidak lagi diperhitungkan dalam penentuan upah minimum karena dinilai sudah tidak relevan. Pertama, komponen KHL menggunakan pendekatan kelompok komoditas yang tidak tepat diterapkan di seluruh daerah di Indonesia karena kebutuhan pekerja di tiap daerah yang berbeda-beda.
”Sebaiknya perhitungan upah minimum menggunakan data empiris yang sesuai dengan kondisi tiap daerah itu. Makanya, kami memilih tidak menggunakan KHL lagi, tetapi data makroekonomi yang dikeluarkan BPS,” kata Titus.
Data makroekonomi yang dimaksud adalah rasio paritas daya beli, serapan tenaga kerja, serta median upah di daerah bersangkutan. ”Semakin tinggi median upah, tingkat serapan tenaga kerja, dan daya beli masyarakat di suatu daerah, semakin tinggi juga upah pekerjanya,” ujarnya.
Kedua, Titus mengatakan, metode survei KHL sulit dipertanggungjawabkan karena pelaksanaannya yang tidak independen. Dewan Pengupahan Nasional terdiri dari perwakilan serikat pekerja dan asosiasi pengusaha yang menyelenggarakan survei sesuai metodologi dan hasil masing-masing.
Akhirnya, penentuan nilai upah minimum tidak lagi berdasarkan data, tetapi kesepakatan politis di belakang.
“Ketika bertemu, nilai KHL-nya tidak bulat lagi. Pekerja misalnya bilang, kenapa angkanya hanya Rp 2 juta? Kami tidak mungkin hidup hanya dari Rp 2 juta. Lalu pengusaha bilang, kenapa tinggi sekali Rp 2 juta? Akhirnya kesepakatan baru diambil di belakang sehingga metodologinya tidak bisa dipertanggungjawabkan,” tutur Titus.