Pada saat yang sama, Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan pemerintah dan DPR meniadakan komponen kebutuhan hidup layak dalam perhitungan upah minimum, menghapus upah minimum sektoral, serta mengatur perhitungan upah berdasarkan satuan waktu tanpa merinci batasan jenis pekerjaan yang bisa dibayar per jam.
Situasi itu menuai pro dan kontra. Pengupahan dinilai bukan faktor penentu yang akan menarik perhatian investor untuk membuka usaha di Indonesia. Upah murah dan minimnya perlindungan hak pekerja justru berpotensi menurunkan produktivitas dan mengganggu iklim investasi.
Peneliti Institufe for Development on Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus, Minggu (1/11/2020), mengatakan, memang ada pandangan dari investor asing yang menilai aturan pengupahan di Indonesia terlalu ketat dan mahal. Namun, kebijakan upah murah bukan faktor penentu daya tarik investor untuk datang menanamkan modal.
Investor lebih membutuhkan kepastian regulasi serta birokrasi yang efisien dibandingkan buruh yang bisa diupah murah tetapi tanpa jaminan produktivitas. ”Faktor upah buruh memang diperhatikan, tetapi yang lebih penting bagi industri itu adalah kepastian regulasi, birokrasi efisien, serta kualitas dan kapasitas sumber daya manusia (SDM) untuk memenuhi produktivitas usaha,” kata Heri saat dihubungi.
Baca juga: Tak Semua Daerah Ikuti Edaran Menteri Ketenagakerjaan
Survei World Economic Forum (WEF) pada 2017-2018 menempatkan korupsi, birokrasi pemerintahan yang inefisien, akses pembiayaan, infrastruktur yang tidak memadai, dan instabilitas kebijakan sebagai faktor utama penghambat investasi di Indonesia. Faktor ketenagakerjaan, seperti etika kerja yang buruk, kapasitas SDM yang minim, serta regulasi yang restriktif, bukan faktor utama yang menghalau investor.
Peneliti Ketenagakerjaan dari Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Triyono mengatakan, relaksasi aturan upah minimum belum tentu akan menarik investasi masuk. Alih-alih menekan upah pekerja, pemerintah seharusnya memperhatikan faktor lain yang lebih memengaruhi iklim investasi, yakni kapasitas dan kualitas SDM yang masih minim.
”Upah semurah apa pun jika kapasitas SDM kita tidak memenuhi kebutuhan pasar, tidak akan menarik investor. Dari tahun ke tahun kita hanya bicara upah, padahal kita menghadapi tantangan yang lebih besar, yaitu kemajuan teknologi dan bagaimana SDM kita bisa menjawab itu,” katanya.
Ia meyakini, jika peningkatan kapasitas pekerja diiringi dengan pemenuhan hak dan perlindungan, seperti upah layak, produktivitas pun akan ikut naik. Sebaliknya, upah rendah dan minimnya perlindungan justru akan menurunkan produktivitas.
”Ketika pekerja merasa terlindungi, baik dari segi upah maupun terutama dari sisi perlindungan jaminan sosial, secara tidak langsung itu akan meningkatkan motivasi mereka untuk semakin produktif,” ujar Triyono.
Baca juga: Standar Upah Tidak Berubah
Tumbal
Ketua Departemen Buruh Perempuan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Dian Septi mengatakan, produktivitas buruh dituntut tinggi, tetapi di sisi lain kondisi kerja dan tingkat kesejahteraan buruh masih jauh dari memadai. Masih banyak ditemukan pekerja yang dibayar dengan upah di bawah standar minimum, dengan jam kerja yang tinggi dan minim perlindungan sosial.
Data Survei Angkatan Kerja Nasional 2019 (Sakernas 2019) oleh Kemenaker menunjukkan, mayoritas pekerja di Indonesia menerima upah di bawah standar minimum. Di DKI Jakarta, pada 2019, ada 51 persen pekerja yang menerima upah di bawah upah minimum provinsi. Di Surabaya dan sekitarnya, proporsi yang tidak digaji sesuai dengan standar minimum ini bahkan mencapai sekitar 60 persen pekerja.
Selain upah, perlindungan dan jaminan sosial untuk pekerja juga kerap tidak dipenuhi. BP Jamsostek mencatat, per Juli 2020, tenaga kerja yang memiliki jaminan perlindungan sosial baru 53 persen atau 49,7 juta orang dari total 92,4 juta tenaga kerja yang seharusnya menjadi peserta BP Jamsostek.
”Pemerintah jangan terus menjadikan kami tumbal investasi. Kalau takut investor pergi, jangan korupsi, perkuat pemberantasan korupsi, bukan justru melemahkannya. Jangan sedikit-sedikit yang disalahkan kaum pekerja,” katanya.
Peneliti Kajian Perempuan Mahardika Vivi Widyawati mencontohkan, selama pandemi, produktivitas buruh tidak berhenti. Dalam kajian yang ia lakukan terhadap buruh perempuan di industri garmen, dengan upah yang sangat murah karena dipangkas, beban kerja buruh justru bertambah.
Baca juga: Jalan Tengah Polemik Upah
Itu karena perusahaan masih memasang target tinggi saat pandemi, meskipun jumlah pekerja berkurang karena PHK dan upah dipangkas. ”Berkaca dari kasus di industri garmen, buruh pada dasarnya tidak pernah berhenti produksi. Pekerjaan yang dilakukan justru tidak setimpal dengan upah dan perlakuan yang didapat,” kata Vivi.
Hanya panduan
Sejauh ini, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, 30 provinsi mengikuti arahan Menaker. Namun, ada empat provinsi yang tetap menaikkan UMP 2021, yaitu Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Sementara DKI Jakarta, upah minimum dinaikkan bersyarat, yakni untuk kegiatan usaha yang tidak terdampak Covid-19. Untuk usaha yang terdampak, tidak perlu menaikkan upah.
Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, 30 provinsi mengikuti arahan Menaker. Namun, ada empat provinsi yang tetap menaikkan UMP 2021, yaitu Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan.
Saat dihubungi, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, SE diterbitkan sebagai panduan atau pedoman bagi kepala daerah untuk mengatasi kondisi di daerahnya masing-masing. Keputusan penetapan UMP memang merupakan ranah pemerintah provinsi.
Jika ada daerah yang tidak mengikuti SE Menaker dalam penetapan upah minimum, hal itu diyakini sudah didasarkan pada pertimbangan dan kajian mendalam. ”Apabila ada daerah yang tidak berpedoman pada SE, itu tentu sudah berdasarkan kajian mendalam mengenai dampak Covid-19 terhadap perlindungan pekerja dan kelangsungan usaha di daerah bersangkutan,” katanya.