Kenapa Indonesia suka mengubah kebijakan UM? Jawaban lugasnya karena kurangnya kapasitas perencanaan Kementerian Ketenagakerjaan membuat sistem pengupahan yang sederhana dengan kepatuhan dan cakupan yang lebih luas.
Oleh
REKSON SILABAN
·5 menit baca
Dalam konsep internasional, upah minimum adalah salah satu bentuk perlindungan yang diberikan negara kepada pekerja sebagai jaring pengaman sosial agar upah pekerja tidak jatuh ke mekanisme pasar bebas.
Mengapa negara campur tangan? Karena ada sekelompok pekerja yang diasumsikan tidak bisa melindungi dirinya, seperti pekerja berpendidikan rendah, tanpa keahlian, pekerja kontrak, masa kerja di bawah satu tahun. Dengan demikian, seharusnya tidak boleh ada pekerja yang dibayar di bawah upah minimum (UM) karena konsep perlindungan negara menjadi tidak relevan. Sayangnya, konsep UM di Indonesia diimplementasikan dengan cara yang rumit sehingga dalam perjalanannya terjadi banyak masalah, sulit dipatuhi, dan rawan penyimpangan.
Dalam banyak praktik internasional, UM umumnya dibuat dengan dua konsep sederhana, cukup dengan UM provinsi atau UM sektoral. Tapi, Indonesia memperkenalkan tiga bentuk: ada UM provinsi, UM kabupaten/kota, dan UM sektoral dengan besaran upah yang berbeda. Setelah itu, UM diberi peluang tidak dijalankan dengan adanya mekanisme penundaan UM, sekalipun dengan persyaratan yang sarat disertai bukti.
Namun, praktik penundaan ini menciptakan ambiguitas terkait kepastian sistem. Akibat kerumitan inilah, terjadi banyak komplikasi yang kemudian memicu aksi demo buruh, perkara hukum perburuhan, dan praktik korupsi.
Dengan demikian, seharusnya tidak boleh ada pekerja yang dibayar di bawah upah minimum (UM) karena konsep perlindungan negara menjadi tidak relevan.
Keberpihakan yang bias
Keberpihakan pemerintah yang tinggi ke pekerja formal berakibat fatal. Tiga konsep UM tadi sulit dilakukan dalam kondisi riil ketenagakerjaan kita yang menghadapi dualisme pasar kerja.
Marilah kita lihat fakta berikut, sesuai data BPS Februari 2020, jumlah penduduk yang bekerja 131,03 juta orang. Sebanyak 74,04 juta orang (56,50 persen) bekerja pada kegiatan informal dan hampir 70 persen hanya tamatan SLTP.
Data Sensus Ekonomi 2016 menyebutkan ada 26,7 juta badan usaha pemberi kerja, tetapi hanya 447.000 (2 persen) badan usaha skala menengah dan besar dengan 16,6 juta pekerja.
Kebijakan pemerintah biasanya selalu fokus mengatur kelompok 2 persen ini, kemungkinan karena pada skala usaha inilah pemerintah mendapat pajak yang besar. Namun, ada 26,2 juta usaha kecil dan mikro dengan 53,7 juta pekerja yang kurang mendapat perhatian, tetapi dipaksa harus mengikuti aturan UM yang seyogianya hanya relevan mengatur kelompok 2 persen badan usaha.
Bagaimana mungkin kedua kelompok ini diharuskan membayar kewajiban yang sama, sementara kemampuan berbeda? Bagaimana mengharapkan ada kepatuhan pembayaran UM yang sama antara pemilik hotel melati dan hotel bintang lima. Atau, kepatuhan usaha warung dengan restoran mewah, warung kelontong dengan toko Indomaret?
Ini juga dilema yang dihadapi pengawas ketenagakerjaan, bagaimana melakukan penegakan hukum kepada pelaku usaha kecil, mikro ini. Sebab, hampir 99 persen kelompok usaha ini tidak mampu membayar kewajiban UM ditambah dengan kewajiban iuran jaminan sosial Jamsostek dan kesehatan. Apabila dilakukan pendekatan law enforcement, jutaan pelaku usaha kecil dan mikro terancam dipidanakan.
Maka, pertanyaan yang mendasar adalah siapakah yang sesungguhnya menikmati kebijakan UM ini? Jawabannya adalah kelompok pekerja pada usaha menengah dan besar. Namun, tidak semuanya! Sebab, penelitian Bank Pembangunan Asia menyebutkan, tingkat kepatuhan pembayaran UM hanya terjadi pada 47,2 persen perusahaan.
Maka, pertanyaan yang mendasar adalah siapakah yang sesungguhnya menikmati kebijakan UM ini?
Kepatuhan tertinggi ada pada sektor garmen dan tekstil. Itu pun akibat advokasi dari serikat buruh yang kebetulan eksistensinya tinggi di sektor ini. Konvensi ILO Nomor 131 tentang Fixing Minimum Wages menyatakan, penetapan upah minimum harus memenuhi empat syarat: cakupannya harus luas; didasarkan pada perundingan tripartit, mempertimbangkan kebutuhan keluarga dan faktor ekonomi, dan yang terakhir merekomendasikan agar perumusannya keep it as simple as possible.
Formula upah berkeadilan
Formula penetapan UM Indonesia selalu berubah sesuai kebutuhan bisnis jangka pendek. Pada masa Orde Baru, UM ditetapkan dengan konsep upah minimum regional (UMR), dengan dasar komponen kebutuhan hidup buruh.
Setelah Reformasi 1998, diubah lagi dengan menambah komponen dan ada tambahan UM kabupaten/kota dan upah minimum sektoral melalui UU No 13 Tahun 2003. Tahun 2015, rumusan UM kembali diubah dengan PP No 78 Tahun 2015 (mengganti PP No 8 Tahun 1981), dan terakhir diubah tahun 2020 dengan UU Cipta Kerja.
Kenapa Indonesia suka mengubah kebijakan UM? Jawaban lugasnya karena kurangnya kapasitas perencanaan Kementerian Ketenagakerjaan membuat sistem pengupahan yang sederhana, dengan kepatuhan dan cakupan yang lebih luas. Ini juga bertalian dengan keberadaan menteri tenaga kerja yang selama ini tidak dianggap penting karena penunjukannya bukan karena keahlian, melainkan jatah untuk partai pendukung. Pola ini harus segera dihentikan karena masalah ketenagakerjaan akan semakin rumit di masa selanjutnya.
Sebenarnya, kalau mau disederhanakan, sistem upah yang cocok untuk Indonesia bisa dibuat dengan dua model, yaitu upah minimum provinsi (UMP) dan upah hidup layak (UHL). Karena UM hanya untuk pekerja lajang dengan masa kerja di bawah satu tahun, UMP seharusnya hanya berlaku untuk badan usaha skala kecil dan mikro.
Kenapa UMP bukan UM kabupaten/kota? Sebab, di setiap provinsi sudah ada Dewan Pengupahan Tripartit, sedangkan di kabupaten dan kota di Indonesia belum semua memiliki Dewan Pengupahan Tripartit. Untuk perusahaan skala menengah dan besar, pengupahan tidak lagi dengan UM, tetapi dengan UHL yang besarannya harus di atas UMP.
Pola ini harus segera dihentikan karena masalah ketenagakerjaan akan semakin rumit di masa selanjutnya.
Mekanisme penetapan UHL tidak lagi melalui Dewan Pengupahan Tripartit, tetapi melalui perundingan bipartit di setiap perusahaan. Oleh karena itu, besaran UHL yang diterima pekerja akan sesuai dengan tingkat produktivitas perusahaan masing-masing.
Upah dasar pekerja hotel bintang lima pasti akan lebih tinggi dengan pekerja hotel bintang melati. Perundingan upah model ini akan lebih adil dan menjamin keharmonisan hubungan industrial.
Filosofi dasar UM dibuat sebagai alat negara melindungi pekerja rentan (non-standard employment) agar terhindar dari eksploitasi. Negara tidak perlu hadir mengurusi upah minimum pekerja profesional di kelompok usaha menengah dan besar. Aturan yang mereka perlukan bukan lagi UM, melainkan ada soal lainnya, seperti diskriminasi kerja, peningkatan produktivitas, kemudahan berbisnis, dan pajak.
Sekarang marilah berbenah serius agar kita tidak jatuh dalam adagium lama, gagal karena perkembangan kompleksitas sering mengalahkan kita akibat kemampuan beradaptasi yang lamban.
Rekson Silaban, Direktur Indonesia Labor Institute