UU Cipta Kerja dan Pilihan Tersedia
Pemerintah memiliki pekerjaan rumah besar untuk mewujudkan berbagai aturan operasional UU Cipta Kerja. Semoga aturan turunannya akan menunjukkan sisi kemanusiaan daripada hanya kebutuhan ”business friendlly”.
Kaum buruh terenyak dengan disahkannya UU Cipta Kerja Kluster Ketenagakerjaan, yang ditengarai akan menambah susah hidup buruh. Bulan lalu baru saja mereka terkagum atas kebijakan proburuh Presiden yang memberikan bantuan subsidi upah via BPJS Ketenagakerjaan terhadap 15 juta pekerja, bantuan prakerja, bantuan untuk UMKM. Bahkan, beberapa pengamat internasional memuji tekad Indonesia terus menjalani rute sebagai negara kesejahteraan di tengah pandemi global.
Kelompok yang paling kecewa adalah serikat buruh yang sejak awal berniat baik ikut berunding memberi masukan ke pemerintah dan DPR, karena ada serikat buruh lain yang sejak awal menolak dan tidak mau berunding. Selama 10 hari mereka berunding merumuskan kertas kerja sebagai sandingan atas tujuh pasal paling krusial dalam RUU. Ternyata, bayangan akan terjadi proses demokrasi deliberatif (musyawarah dan mufakat) berakhir dengan demokrasi prosedural, di mana musyawarah hanya terjadi di gedung DPR, sementara masukan tim buruh ini tidak satu pun diakomodasi.
Kalau saja setengah dari tuntutan itu dikabulkan, mungkin reaksinya akan beda.
Kalau saja setengah dari tuntutan itu dikabulkan, mungkin reaksinya akan beda. Kali ini opini buruh jadi seragam, sudah diumumkan akan ada perlawanan, baik melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi maupun aksi demo buruh yang bergabung dengan elemen masyarakat lain.
Dari kantor serikat buruh dunia (ITUC), Sekretaris Jenderal Sharon Burrow menulis ketidaksetujuan mereka atas terbitnya UU Cipta Kerja karena bisa mengancam komitmen Indonesia memenuhi target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), potensi perusakan lingkungan yang lebih besar, dan penurunan kesejahteraan buruh.
Baca juga: RUU Cipta Kerja, Ekonomi dan Kesejahteraan
Mereka menyerukan agar perundingan dengan serikat buruh dikedepankan dalam setiap perubahan regulasi ketenagakerjaan. Pemerintah dalam penjelasannya menyebutkan UU Cipta Kerja akan mendorong investasi baru, memangkas birokrasi dan potensi korupsi, melindungi UKM, yang selanjutnya akan menolong pekerja yang saat ini menganggur sebanyak tujuh juta orang, ditambah angkatan kerja baru 2,9 juta dan enam juta korban PHK akibat Covid-19.
Kedaulatan rakyat vs pasar
Dalam banyak peristiwa, lahirnya UU ketenagakerjaan baru di berbagai negara umumnya tak menyenangkan kaum buruh, karena kompetisi bisnis yang ketat telah memaksa pemerintah melakukan berbagai restrukturisasi agar tetap kompetitif untuk investor. Dunia yang kita tempati saat ini tak lagi sama dengan dunia lama, kenyamanan lama sebagian akan tergerus akibat desakan kompetisi pasar. Masalahnya, tak semua orang bisa siap menerima kenyataan baru yang merugikan dan tidak semua pemerintah punya waktu memberikan penjelasan bagus. Semua fokus mengejar target untuk perbaikan indeks dan indikator global.
Inilah sebabnya negara berkembang seperti Indonesia menghadapi dilema besar menghadapi globalisasi. Dalam konstruksi tatanan global, negara berkembang diposisikan harus menerima aturan-aturan atau kesepakatan global sekalipun kadang bertentangan dengan komitmen nasionalnya. Dengan semakin dalamnya ketergantungan terhadap globalisasi, negara-negara itu diharuskan melakukan penyesuaian domestik terhadap hukum, pasar, regulasi global untuk bisa menikmati manfaat globalisasi.
Inilah sebabnya negara berkembang seperti Indonesia menghadapi dilema besar menghadapi globalisasi.
Jadi, aturan standar permainannya adalah: buka perbatasan, buka pasar, hapus proteksi, tambah kemudahan ke investor asing, turunkan ”ongkos buruh”. Lihatlah indikator tahunan Forum Ekonomi Dunia (WEF), tidak ada indikator yang secara langsung berkaitan dengan kesejahteraan buruh. Adapun 12 pilar indikator WEF meliputi institusi, infrastruktur, lingkungan ekonomi makro, kesehatan dan pendidikan dasar, pendidikan yang lebih tinggi dan pelatihan, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar kerja, pembangunan pasar keuangan, ketersediaan teknologi, besar pasar, kecanggihan bisnis, dan inovasi (The Global Competitiveness Report, WEF).
Untuk negara berkembang, hampir keseluruhan indikator ini buruk, tetapi sebaliknya tersedia di negara maju, sehingga skor negara maju—khususnya yang tergabung dalam OECD—selalu tinggi. Sementara investor akan selalu lebih memilih berinvestasi di negara yang memiliki tingkat kompetisi tinggi (skor tinggi). Investor yang tersisa pergi ke negara berkembang, tetapi hanya investasi yang berurusan dengan eksploitasi sumber daya alam, negara dengan upah murah, negara dengan aturan lingkungan buruk dan pajak rendah.
Baca juga: “Omnibus Law” dan Kekhawatiran Buruh
Inilah yang disebut Dani Rodrik (2011) sebagai ”the fundamental political trilemma of the world economy”. Rodrik menyebutkan, dalam integrasi ekonomi global, negara tidak bisa secara simultan memajukan demokrasi dan memajukan kepentingan nasional. Jika ingin mendapat keuntungan globalisasi yang lebih besar, negara harus menyerahkan sebagian kedaulatan negara dan demokrasinya diatur globalisasi.
Jadi, pilihan yang tersedia apakah memperkuat demokrasi dengan risiko tidak mendapat manfaat penuh globalisasi atau memperdalam keterlibatan pada globalisasi dengan mengikuti aturan demokrasi yang sering tak sejalan dengan semangat konstitusi negara. Inilah yang disebut paradoks globalisasi. Demokrasi memiliki hak melindungi kepentingan rakyatnya, dan ketika hak ini berbenturan dengan kebutuhan globalisasi, negara seperti Indonesia menghadapi dilema antara mengikuti keinginan globalisasi atau memenuhi mandat demokrasi.
Jika ingin mendapat keuntungan globalisasi yang lebih besar, negara harus menyerahkan sebagian kedaulatan negara dan demokrasinya diatur globalisasi.
Peluang yang tersisa
Sekarang marilah kita melihat peluang yang masih tersisa untuk buruh setelah disahkannya UU ini. Perlawanan buruh melalui gugatan ke MK akan menjadi satu opsi untuk mengakomodasi tujuh tuntutan buruh. Semoga nanti akan ada putusan MK yang membuat buruh mendapat keadilan. Selain itu, sebenarnya masih ada beberapa peluang dengan merujuk tujuh tuntutan buruh.
Tuntutan pertama, hilangnya upah minimum sektoral. Ini masih bisa diperjuangkan saat penyusunan skala upah di tingkat perusahaan sebagaimana diamanatkan dalam UU ini. Atau diatur saat penyusunan perjanjian kerja bersama (PKB). Buruh yang bekerja di sektor yang maju (leading sectors) akan mendapat tambahan remunerasi sesuai keuntungan yang dicapai perusahaan. Memang hasilnya tak persis sama, tetapi setidaknya ada celah yang bisa dimanfaatkan.
Baca juga: “Omnibus Law”, Antara Buruh dan Produktivitas
Tuntutan kedua, menurunnya jumlah pesangon dari 32 menjadi 25 kali. Sebenarnya kalau pesangon ini benar dilaksanakan, ini lebih baik ketimbang aturan lama dalam UU No 13/2003. Walau disebut pesangon 32 kali gaji, hanya segelintir orang yang pernah menerimanya, bahkan banyak yang tak mendapatkannya.
Pemberian pesangon umumnya berakhir dengan kesepakatan akibat hampir seluruh perusahaan dalam pembukuannya tak mencadangkan dana pesangon yang kelak diberikan kepada pekerja yang ter-PHK. Serikat buruh perlu meminta agar dalam peraturan pemerintah atau peraturan menteri ketenagakerjaan ada aturan pencadangan pesangon di semua perusahaan.
Tuntutan ketiga, masalah pekerja kontrak yang berkepanjangan. Menghindari hal ini, serikat buruh perlu memastikan agar dalam pengaturan turunannya, perusahaan dilarang melakukan kontrak kerja di kegiatan core business dengan sanksi yang konkret.
Serikat buruh perlu meminta agar dalam peraturan pemerintah atau peraturan menteri ketenagakerjaan ada aturan pencadangan pesangon di semua perusahaan.
Tuntutan keempat, pekerja alih daya (outsourcing) bisa ke semua jenis kegiatan. Dalam UU No 13/2003, ini memang dibatasi pada pekerjaan yang tak bersentuhan langsung dengan kegiatan produksi. Ketentuan ini bisa dicegah dalam PKB atau dalam peraturan turunan lain. Atau pengaturannya dikembalikan sesuai keputusan MK.
Tuntutan kelima, penggunaan tenaga kerja asing (TKA) tanpa izin. Dalam UU Cipta Kerja jelas sudah dibatasi. TKA hanya untuk keadaan darurat, tujuan vokasi, pekerja start up, kunjungan bisnis. Agar tak terjadi penyimpangan, Kemenaker dalam aturan turunannya perlu mensyaratkan adanya konsultasi dengan serikat pekerja dalam penggunaan TKA apabila melebihi jumlah tertentu atau masa kerja melebihi tiga bulan.
Tuntutan keenam, Omnibus Law UU Cipta Kerja memungkinkan pembayaran upah satuan waktu yang bisa jadi dasar pembayaran upah per jam. Ketentuan ini tak terlalu mengkhawatirkan karena sifatnya hanya untuk pekerjaan khusus. Masih ada ruang mengendalikannya di aturan turunan. Upah dengan satuan waktu adalah hal biasa di banyak negara, untuk menampung pekerjaan spesifik, seperti pekerja di restoran, pameran, pemandu wisata, dan interpreter bahasa. Upah mereka biasanya lebih tinggi dari upah minimum.
Tuntutan ketujuh, UU Cipta Kerja membolehkan perusahaan mem-PHK karyawan dengan alasan efisiensi atau buruh mangkir. Padahal, MK telah memutuskan efisiensi hanya bisa dilakukan jika perusahaan tutup permanen. Untuk ini, harus diperjuangkan agar keputusan MK itulah yang harus diberlakukan.
Untuk ini, harus diperjuangkan agar keputusan MK itulah yang harus diberlakukan.
Mengenai kekhawatiran pekerja berpotensi kehilangan jaminan sosial dan jaminan pensiun karena bisa dikontrak seumur hidup, ancaman ini tidak sepenuhnya nyata, karena ada UU No 24/2011 tentang BPJS yang sudah jelas mengatur semua pemberi kerja harus mendaftarkan karyawannya ke BPJS dilengkapi dengan aturan sanksi.
Penguatan jaminan sosial
Penambahan program jaminan sosial berupa Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dengan manfaat berupa pelatihan dan sertifikasi, uang tunai, serta fasilitasi penempatan sangat bermanfaat bagi pekerja/buruh yang kehilangan pekerjaan. JKP ini istilah lain dari un-employment scheme sebagai salah satu unsur dari sembilan pokok perlindungan dasar jaminan sosial yang selama ini belum diimplementasikan Indonesia, sesuai amanat Konvensi ILO Nomor 102.
Model dan besaran kontribusi iuran bisa disesuaikan dengan praktik di negara lain. Ada yang hanya dikontribusi oleh pemerintah, tetapi umumnya dikontribusi oleh tiga pihak (pemerintah, pengusaha, pekerja). Dalam UU baru ini ada juga tambahan manfaat buat buruh yang disebut ”penghargaan lainnya”. Ini patut diapresiasi dan bisa dimanfaatkan untuk menambal hilangnya manfaat dari aturan sebelumnya.
Salah satu skenario penting untuk menghadapi berbagai ketidakpastian ekonomi adalah dengan memperkuat peran jaminan sosial. Sudah dibuktikan jaminan sosial yang kuat akan jadi alat stabilisator otomatis saat negara menghadapi krisis ekonomi.
Indonesia harus segera membereskan inkonsistensi kebijakan jaminan sosial, memperluas cakupan kepesertaan yang masih rendah, dan menghentikan praktik pengemplangan pembayaran iuran. Sejalan dengan itu, serikat buruh harus mendesak pemerintah mengimplementasikan perlindungan sosial bagi pekerja rentan dengan skema penerima bantuan iuran (PBI) sesuai perintah UU BPJS.
Kombinasi program JPK dan PBI pekerja rentan, bisa memberikan perlindungan tambahan pada pekerja kontrak atau alih daya yang membesar setelah lahirnya UU Cipta Kerja. Dalam Pasal 185 tentang Ketentuan Penutup disebutkan, ”Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden wajib ditetapkan paling lama tiga bulan.” Itu berarti tiga bulan ke depan akan jadi pekerjaan rumah besar buat pemerintah untuk mewujudkan berbagai aturan operasional UU ini. Semoga aturan turunannya akan menunjukkan sisi kemanusiaannya ketimbang hanya untuk kebutuhan ”business friendly”.
Rekson Silaban, Analis Indonesia Labor Institute.