Pemerintah dan pengusaha optimistis investasi akan menyerap tenaga kerja. Sementara organisasi pekerja meminta jaminan itu secara konkret, yaitu melalui cetak biru serapan tenaga kerja.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anomali peningkatan investasi yang tidak berbanding lurus dengan penyerapan tenaga kerja harus dijawab dengan rencana dan strategi konkret serta peningkatan pengawasan untuk menjamin kesejahteraan pekerja. Membenahi regulasi lewat Undang-Undang Cipta Kerja saja tidak cukup untuk memenuhi janji pemerintah menyerap lebih banyak tenaga kerja dan menyejahterakan pekerja. Perlu ada cetak biru serapan tenaga kerja dan pembenahan dari sisi implementasi.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan, sejak 2015, realisasi investasi yang masuk ke Indonesia selalu meningkat. Pada 2015, realisasi investasi Indonesia Rp 545,4 triliun. Kemudian pada 2018 dan 2019 realisasinya masing-masing sebesar Rp 721,3 triliun dan Rp 809,6 triliun.
Namun, peningkatan investasi itu tak berbanding lurus dengan penyerapan tenaga kerja. Pada 2015, jumlah serapan tenaga kerja dari realisasi investasi sebanyak 1,44 juta orang. Pada 2018, jumlah serapan turun menjadi 959.500 orang dan pada 2019 meningkat sedikit menjadi 1,03 juta orang.
BKPM juga menyebutkan, pada 2010, penyerapan per Rp 1 triliun dapat mencapai 5.014 tenaga kerja. Pada 2019, penyerapan per Rp 1 triliun hanya mencapai 1.600 orang.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar, Kamis (15/10/2020), mengatakan, anomali itu harus bisa dijawab pemerintah jika ingin meyakinkan publik bahwa UU Cipta Kerja akan menciptakan lapangan kerja berkualitas lewat peningkatan investasi. Untuk merealisasikan janji itu, pemerintah perlu membuat cetak biru (blueprint) rencana strategis setelah berlakunya UU Cipta Kerja.
”Jangan sampai UU ini sudah berlaku nanti, karpet merah investasi sudah diberikan, tetapi penyerapan tenaga kerja tetap rendah. Sekarang persoalannya, bagaimana pemerintah menjabarkan strateginya secara konkret, bukan sekadar data proyeksi saja, melainkan apa yang akan dilakukan ke depan,” ujarnya.
Sebelumnya, pada Rabu, 7 Oktober 2020, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, UU Cipta Kerja hadir untuk 2,92 juta anak muda yang baru mencari kerja dan 6 juta pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) di tengah pandemi Covid-19.
Timboel menegaskan, hal terpenting bukan sekadar meningkatkan investasi dan jumlah lapangan kerja, melainkan juga kualitas penyerapannya. Salah satu aspek penting adalah pengawasan ketenagakerjaan untuk menjamin perlindungan dan kesejahteraan pekerja terpenuhi oleh pengusaha.
Pembenahan dari segi implementasi ini yang seharusnya dibenahi pemerintah sebelum membuat regulasi ketenagakerjaan lebih lentur. Persoalannya, regulasi yang seharusnya memberi perlindungan kepada pekerja selama ini sering tidak dijalankan.
Survei Angkatan Kerja Nasional 2019 mencatat, mayoritas pekerja Indonesia menerima upah di bawah standar minimum. Di Jakarta saja, ada 51 persen pekerja yang menerima upah di bawah UMP. Di daerah Surabaya dan sekitarnya, proporsi ini mencapai sekitar 60 persen.
”Jika UU Cipta Kerja diterapkan, tetapi tanpa ada penguatan pengawasan, justru akan muncul masalah baru. Yang disayangkan, upaya penguatan ini tidak tampak dalam draf RUU,” katanya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani mengatakan, saat ini ada peluang investasi masuk akibat realokasi sejumlah pabrik dari China. Mayoritas perusahaan itu bergerak di sektor padat karya, seperti sepatu dan alas kaki, garmen, elektronik, serta otomotif.
Oleh karena itu, anomali peningkatan investasi yang tidak berbanding lurus dengan penyerapan tenaga kerja seharusnya bisa tercapai dengan regulasi ketenagakerjaan yang lebih fleksibel. Selama ini aturan yang terlalu ketat serta biaya buruh yang mahal membuat investor dari sektor padat karya enggan datang menanamkan modal.
”Selama ini kita tidak jelas mau ke mana. Anomali itu justru menunjukkan selama ini investasi kita tidak efisien. Perlu ada blueprint rencana dengan mengambil peluang realokasi investasi yang ada saat pandemi ini,” katanya.
Hariyadi membenarkan, persoalan selama ini bukan semata-mata regulasi, melainkan juga di tingkat implementasi. Regulasi terkait perlindungan dan kesejahteraan pekerja sebenarnya sudah positif. Namun, persoalannya ada pada implementasi. ”Itu letaknya di pengawasan, bukan regulasi. Regulasinya sudah sangat baik,” ujarnya.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P Roeslani meyakini regulasi ketenagakerjaan yang lebih lentur ini bisa menarik investasi dari sektor manufaktur. Belakangan, persentase industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) terus mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan perlu ada yang diperbaiki.
”Memang RUU Cipta Kerja tidak menjawab seluruh persoalan, tetapi setidaknya sebagian besar persoalan,” ujarnya.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, investasi yang saat ini mengantre untuk masuk ke Indonesia mayoritas berasal dari sektor padat karya. Umumnya mereka berasal dari perusahaan asal Jepang, Korea Selatan, dan China, yang merealokasi pabriknya dari China.
Tujuan regulasi ketenagakerjaan dibenahi dalam RUU Cipta Kerja, ujarnya, adalah untuk menarik para investor dari sektor padat karya itu. Seiring dengan itu, pemerintah juga akan menggenjot pembangunan kawasan ekonomi khusus (KEK).
”Dari 15 KEK yang kita bangun saja, ada potensi penyerapan 1,2 juta tenaga kerja. Proyeksinya, dengan UU ini, iklim investasi semakin kondusif dan perluasan kesempatan kerja semakin berkualitas,” katanya.
Dari 15 KEK yang kita bangun saja, ada potensi penyerapan 1,2 juta tenaga kerja. Proyeksinya, dengan UU ini, iklim investasi semakin kondusif dan perluasan kesempatan kerja semakin berkualitas.
Investasi padat karya, lanjut Ida, disasar untuk memperluas lapangan kerja serta dengan mempertimbangkan tingkat pendidikan dan kompetensi mayoritas tenaga kerja Indonesia yang relatif berketerampilan rendah. ”Itu yang kita butuhkan untuk sekarang ini karena tidak mensyaratkan skill terlalu tinggi seperti investasi padat modal,” katanya.
Terkait adanya kekhawatiran UU Cipta Kerja akan mendorong kemudahan pemutusan hubungan kerja (PHK), Rosan menjamin PHK tidak akan terjadi. Terlebih, di tengah situasi pandemi seperti ini ketika banyak sektor usaha terpuruk.
”PHK adalah hal terakhir yang harus dilakukan. PHK itu tidak mudah karena ada konsekuensi pesangon yang selama ini hitungannya tinggi. Kalaupun sekarang hitungannya berkurang, tetap akan berdampak pada pengusaha, apalagi kondisi masih seperti ini. Tentu kami akan bertahan dulu,” katanya.
PHK itu tidak mudah karena ada konsekuensi pesangon yang selama ini hitungannya tinggi. Kalaupun sekarang hitungannya berkurang, tetap akan berdampak pada pengusaha, apalagi kondisi masih seperti ini. Tentu kami akan bertahan dulu.
Hariyadi menambahkan, pengusaha tahu konsekuensi dan keruwetan yang harus dihadapi sebelum mem-PHK karyawannya. Gelombang PHK tidak akan serta-merta terjadi, kecuali terpaksa dilakukan karena keuangan perusahaan begitu terdampak oleh pandemi.
”Pengusaha sangat berhati-hati. Justru sebisa mungkin, kalau mempekerjakan karyawan, kami ingin yang berjangka panjang. Kalaupun harus mem-PHK, akan mengikuti aturan,” ujarnya.