Nasib Buruh dalam Hitungan Hari
Setelah pembahasan kluster ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja diputuskan ditunda, akhir April lalu, kluster itu dibahas di saat-saat akhir. Saat RUU telah disetujui disahkan, sejumlah pasal ditengarai masih diutak-atik.
Setelah pembahasan kluster ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja diputuskan ditunda, akhir April lalu, kluster itu tiba-tiba dibahas di saat-saat akhir. Pembahasan pun hanya makan waktu tiga hari. Ketika RUU telah disetujui disahkan, sejumlah pasal dalam kluster ditengarai masih diutak-atik.
Sejak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja mulai dibahas DPR dan pemerintah pada 24 April lalu hingga disetujui disahkan dalam Rapat Paripurna DPR, 5 Oktober lalu, kluster ketenagakerjaan baru mulai dibahas pada Jumat (25/9/2020). Waktu pembahasan pada Jumat itu disampaikan Wakil Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Nasdem Willy Aditya.
Pembahasan diawali dengan pertemuan pimpinan DPR, yakni Wakil Ketua DPR dari Fraksi Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah beserta tim, sejumlah pimpinan Badan Legislasi (Baleg) DPR, dan para Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) di Baleg DPR. Pertemuan berlangsung tertutup di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta.
Rapat secara khusus membahas kluster ketenagakerjaan. Saat itu, dari 11 kluster yang ada di RUU Cipta Kerja, tinggal tersisa kluster ketenagakerjaan yang belum dibahas. Kluster yang sejak RUU mulai dibahas DPR dan pemerintah pada 24 April lalu itu diputuskan ditunda pembahasannya oleh Presiden Joko Widodo karena ditolak kalangan buruh. Penundaan untuk memberikan kesempatan pendalaman atas substansi pasal-pasal dan untuk mendapatkan masukan dari pemangku kepentingan.
”Kami panggil Bu Ida ke ruangan Pak Dasco, dengan dihadiri oleh semua pimpinan dan Kapoksi Baleg. Pertemuan itu difasilitasi Pak Dasco. Semua pihak di DPR sepakat agar kita keluarkan saja kluster ini dari pembahasan. Namun, pemerintah tidak mau,” ujar Willy Aditya, menceritakan pembicaraan dalam rapat.
Adanya kesepakatan DPR dengan kelompok buruh yang terjadi pada pertemuan 20 Agustus 2020 itu menjadi dasar DPR meminta kluster ketenagakerjaan dikeluarkan dari RUU.
Pertemuan DPR dengan buruh itu terjadi di Hotel Mulia, Jakarta, dan pertemuan menyepakati hal-hal yang menyangkut nasib buruh di RUU Cipta Kerja sebisa mungkin kembali ke UU yang ada, yakni UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Terkecuali untuk aturan baru, seperti pekerja berbasis aplikasi digital yang di UU Ketenagakerjaan belum diatur, dapat diatur di RUU Cipta Kerja.
Adapun pihak pemerintah ingin kluster tersebut tetap dibahas, dengan dalih agar pemerintah mempunyai kesempatan menjelaskan materi-materi di dalamnya secara komprehensif. Selain itu, menurut Sekjen Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi, pemerintah berpandangan kluster itu tetap perlu ada untuk menyikapi perkembangan seputar pasar ketenagakerjaan global.
Perdebatan pun alot hingga akhirnya menurut anggota panja dari Fraksi PDI-P, Hendrawan Supratikno, semua pihak yang hadir dalam rapat menyepakati kluster ketenagakerjaan tetap dibahas.
”Kami sepakat membahas asal tidak mengubah norma sejumlah pasal sesuai putusan Mahkamah Konstitusi tentang UU Ketenagakerjaan. Untuk isu lain, masih terbuka didiskusikan,” ujar Hendrawan.
Setelah rapat itu, pembahasan kluster ketenagakerjaan langsung digelar pada malam harinya. Namun, itu pun awalnya tak berjalan dengan mulus. Pro dan kontra atas kluster kembali muncul.
Dari sembilan fraksi di DPR, tujuh fraksi menolak kluster ketenagakerjaan. Hanya dua fraksi yang mendukung pembahasan, yakni Partai Golkar dan Partai Kebangkitan Bangsa.
Baca juga: Rapat Utak-atik Draf Saat Gedung Parlemen Tengah ”Lockdown”
Anggota Panja RUU Cipta Kerja DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Obon Tabroni, di dalam rapat mengatakan, terlalu banyak aturan yang dialihkan ke peraturan pemerintah (PP). Pengaturan pengupahan, alih daya, dan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) semua diatur ke dalam PP. ”Ini terlalu banyak aturan yang masuk ke dalam PP,” katanya.
Fraksi lainnya yang keras menolak ialah Nasdem. Anggota panja dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, fraksinya ingin perubahan terhadap UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan sebaiknya dilakukan dengan merevisi UU Ketenagakerjaan, bukan dengan cara dimasukkan ke dalam RUU Cipta Kerja. Hal ini agar ruang pembahasan bisa lebih komprehensif.
Rapat pun mentah lagi. Lobi-lobi di sela-sela pembahasan kembali dilakukan.
Menurut Anwar, setelah pemerintah memaparkan lebih lengkap tentang urgensi kluster ketenagakerjaan pada Sabtu (26/9), Panja RUU Cipta Kerja DPR dapat memahaminya.
”Kami paparkan alasan urgensi kluster ini, terutama dengan melihat tantangan kekinian, disertai data yang reliable (dapat diandalkan),” katanya.
Selanjutnya, pembahasan berlanjut dan dapat dituntaskan pada Minggu (27/9). Panja DPR dan pemerintah bekerja dari pagi hingga larut malam hanya untuk menuntaskan pembahasan.
Dengan tuntasnya kluster ketenagakerjaan, tuntas sudah kerja pembahasan RUU. RUU disetujui disahkan menjadi UU di tingkat satu antara Baleg DPR dan pemerintah pada Sabtu (3/10) malam. Lalu, berselang dua hari, persisnya Senin (5/10) sore, RUU tersebut disetujui untuk disahkan di tingkat dua dalam Rapat Paripurna DPR. Hal ini setelah mayoritas fraksi, minus Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, menyetujui pengesahan.
Target pemerintah agar RUU tuntas disahkan pada awal Oktober tercapai. Begitu pula keinginan mayoritas fraksi di DPR agar RUU bisa dituntaskan sebelum mereka memasuki masa reses yang juga jatuh di awal Oktober.
Tuntutan buruh
Satu jam sebelum pengesahan di paripurna, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal dan Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea sempat bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta.
Keduanya datang memenuhi undangan Presiden untuk memberikan masukan terkait sejumlah materi dalam RUU Cipta Kerja yang dianggap merugikan buruh. Hal itu, di antaranya, pemberlakuan upah minimum kabupaten/kota (UMK) bersyarat serta penghapusan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK), dan pengurangan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan upah.
Akan tetapi, pada kenyatannya, RUU Cipta Kerja tetap disetujui disahkan. Sejumlah masukan buruh diabaikan, terbukti dengan masih dicantumkannya pasal-pasal yang dinilai merugikan buruh.
Pertemuan pentolan buruh dengan Presiden ini bukanlah yang pertama. Sepanjang 2020 ini, setidaknya sudah dua kali Andi Gani dan Said Iqbal dipanggil ke Istana. Dalam setiap pertemuan tertutup itu pun, keduanya menyampaikan masukan untuk kluster ketenagakerjaan.
Total, dari 12 tuntutan awal buruh, hanya tiga poin yang dikabulkan pemerintah dan DPR, yaitu mengembalikan waktu kerja sesuai aturan di UU Ketenagakerjaan; mengembalikan hak upah buruh saat cuti, seperti cuti haid dan melahirkan; menghapus ketentuan upah khusus sektor padat karya.
Namun, sembilan tuntutan lainnya tetap diatur di RUU, sebagian diformulasi ulang. Sebagai contoh, tuntutan buruh agar ada batasan tegas masa kontrak pekerja PKWT dan batasan jenis pekerjaan pekerja alih daya. DPR dan pemerintah memilih tidak mengatur itu di RUU dan menyerahkan untuk diatur dalam aturan turunan UU Cipta Kerja, yaitu peraturan pemerintah.
Begitu pula tuntutan buruh upah minimum sektoral provinsi (UMSP)/UMSK tidak dihilangkan. Adapun UMK yang diminta buruh agar tetap ada, kini dibuat menjadi tidak wajib dan bersyarat. Permintaan buruh agar UMK ditentukan berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi dikabulkan sebagian. UMK ditetapkan dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi atau inflasi di daerah bersangkutan.
Buruh juga menuntut adanya jaminan perlindungan sosial, seperti pensiun dan kesehatan untuk buruh kontrak dan alih daya. Namun, jaminan perlindungan itu tak diatur di RUU dan diserahkan ke PP.
Baca juga: Ting Tung! Maaf, ”Suara” Anda Kami Matikan...
Hendrawan mengatakan, sejumlah isu yang alot dan banyak tarik-menarik kepentingan diserahkan kepada pemerintah saja dalam bentuk PP. ”Hampir dalam segala hal, bukan hanya isu ketenagakerjaan; apabila memang alot tarik-menarik kepentingan, diatur di PP saja,” katanya.
Tak merugikan
Adapun Ida Fauziyah membantah anggapan bahwa RUU Cipta Kerja merugikan buruh. Menurut dia, RUU ini justru ada untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan perlindungan kerja bagi pekerja, khususnya di tengah pandemi Covid-19.
”Kita butuh peluang kerja yang luas, tetapi kita juga ingin memberi perlindungan kepada pekerja sehingga peran dan kesejahteraan pekerja meningkat dalam mendukung ekosistem investasi,” kata Ida.
Meskipun ada banyak ketentuan yang diprotes oleh buruh, Ida mengatakan, RUU Cipta Kerja memberikan sejumlah manfaat untuk pekerja. Ia mencontohkan, munculnya Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang akan memberi perlindungan bagi buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Selain mendapat uang tunai, buruh korban PHK juga akan mendapat pelatihan vokasi dan akses pasar kerja.
Pasca-pengesahan
Setelah RUU Cipta Kerja disetujui disahkan, sejumlah pasal yang menyangkut nasib buruh ditengarai kembali diutak-atik. Perubahan terjadi ketika naskah UU Cipta Kerja disunting pihak Sekretariat Jenderal DPR bersama Baleg DPR guna mencegah kekeliruan kata dan tanda baca.
Ambil contoh bunyi Pasal 156 Ayat (1). Di draf UU versi 905 halaman disebutkan, pengusaha wajib membayar pesangon bagi buruh yang terkena PHK. Namun, aturan ini berubah di draf 1.035 halaman sehingga kewajiban pengusaha membayar pesangon hanya dalam kondisi-kondisi tertentu, seperti disebutkan pada Pasal 154A. Selanjutnya, pada draf final UU Cipta Kerja berjumlah 812 halaman yang telah diserahkan DPR kepada Presiden Jokowi, Rabu (14/10), kondisi-kondisi tertentu itu dihapus sehingga pasal kembali seperti pada draf 905 halaman.
Kemudian Pasal 156 dalam draf versi 905 halaman mengatur pemberian pesangon saat terjadi PHK diberikan ”paling banyak” 19 kali upah sesuai dengan masa kerja. Pada draf 1.035 halaman, frasa ”paling banyak” dihapus. Sebagai gantinya, diberikan frasa ”dengan ketentuan”. Frasa ”dengan ketentuan” itu kemudian dipertahankan dalam draf versi 812 halaman.
Anwar Sanusi mengonfirmasi telah ada perubahan bunyi pasal setelah RUU disetujui untuk disahkan. Tim dari Kemenaker, menurut dia, dilibatkan dalam proses merapikan redaksional draf UU dengan DPR setelah RUU itu disetujui untuk disahkan.
Soal pasal pesangon, sebagai contoh, perubahan agar tidak merugikan pihak mana pun atau sebagai jalan tengah. ”Mungkin begini, jangan sampai (pemilihan kata) itu terlalu mengunci. Kalau kita membatasi paling banyak, tentu ada yang dirugikan. Kalau kita membatasi paling sedikit, juga ada yang dirugikan. Jadi, ya, sudah kita buat kalimat yang tidak usah menggunakan kata-kata itu,” ujar Anwar.
Adapun Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas membantah perubahan substansi. Saat proses penyuntingan naskah UU, Baleg hanya meluruskan sejumlah pasal agar sesuai dengan kesepakatan saat pembahasan RUU Cipta Kerja.
”Itu bukan perubahan substansi. Dalam Pasal 166-172 (draf 1.035) halaman itu dicantumkan lagi soal syarat-syarat PHK merujuk pada UU eksisting sebagaimana disepakati panja. Sebelumnya itu disimplifikasi. Oleh karena itu, poin-poinnya dijabarkan lagi sesuai kesepakatan panja. Saya harus meluruskan itu. Kalau tidak, saya keliru,” katanya.
Baca juga: Draf UU Cipta Kerja Diduga Berubah
Pelanggaran berat
Proses legislasi yang cenderung tertutup dan mengabaikan prinsip-prinsip pembentukan UU yang baik di RUU Cipta Kerja, seperti terlihat dalam kluster ketenagakerjaan, dikritisi oleh pakar hukum.
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Khairul Fahmi, menegaskan, jika sebuah RUU telah disetujui di paripurna, tidak boleh terdapat perubahan sedikit pun. ”Titik, koma, pun tidak boleh diubah kalau sudah disahkan. Sebab, dalam bahasa hukum, perubahan sedikit saja bisa berubah maknanya dan fatal akibatnya,” ujarnya.
Oleh karena itu, jika tetap terjadi perubahan, hal itu merupakan pelanggaran berat dalam proses legislasi. Pelanggaran itu bisa diadukan ke Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945.
Jika RUU Cipta Kerja belum selesai, seharusnya DPR bisa menuntaskan persoalan yang ada di pembahasan tingkat pertama. Jika masih ada perubahan setelah diparipurnakan, sebetulnya itu menandakan semua proses di awal bermasalah.