Buruh Bersiap Gugat Formil UU Cipta Kerja
Dalam penelusuran ”Kompas”, ada sejumlah perubahan substansi yang muncul dalam rentang 5-12 Oktober 2020 setelah RUU disetujui di Rapat Paripurna DPR. Substansi draf berubah-ubah lewat tiga versi draf RUU Cipta Kerja.
JAKARTA, KOMPAS — Klaim Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah bahwa tidak ada perubahan substansi dalam draf final Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang dikirimkan ke Presiden Joko Widodo tidak sesuai kenyataan. Kesahihan RUU Cipta Kerja dipertanyakan dari segi formil. Sejumlah elemen buruh pun menyiapkan gugatan uji formil.
Sebelumnya, dalam konferensi pers di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (13/10/2020), Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin memastikan tidak ada perubahan substansi dalam draf final RUU Cipta Kerja setebal 812 halaman. Menurut politisi Partai Golkar itu, upaya mengubah substansi RUU yang telah disetujui untuk disahkan dalam rapat paripurna merupakan tindak pidana.
”Saya jamin sesuai dengan sumpah jabatan saya dan rekan-rekan, tentu kami tidak berani dan tidak akan memasukkan selundupan pasal. Itu sumpah jabatan kami. Merupakan tindak pidana apabila ada selundupan pasal,” kata Azis, didampingi Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas (Kompas, 14/10/2020).
Namun, dalam penelusuran Kompas, ada sejumlah perubahan substansi yang muncul dalam rentang waktu 5-12 Oktober 2020 setelah RUU itu disetujui dalam Rapat Paripurna DPR. Dalam sepekan, substansi draf berubah-ubah lewat tiga versi draf RUU Cipta Kerja.
Versi pertama, setebal 905 halaman, diterima dari Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Achmad Baidowi dan Willy Aditya pada 5 Oktober 2020. Versi kedua, setebal 1.035 halaman, diterima dari Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar pada 12 Oktober 2020.
Versi ketiga, setebal 812 halaman, diterima dari Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar pada 12 Oktober 2020. Versi ketiga ini yang diserahkan ke Menteri Sekretaris Negara Pratikno pada Rabu (14/10/2020).
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal, Rabu, mengatakan, pihaknya berencana mengajukan gugatan uji formil ke Mahkamah Konstitusi. Menurut dia, RUU Cipta Kerja sudah cacat formil, sejak proses pembuatan draf yang minim partisipasi publik hingga proses pengesahan yang diduga mengacu pada ”kertas kosong” karena tidak adanya kepastian draf resmi, sampai sepekan setelah RUU disetujui untuk disahkan.
Saat ini, pihaknya sedang menunggu RUU tersebut diteken Presiden dan dinomori sebelum mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Baca juga : Hak dan Perlindungan Buruh Tercederai
”Bahkan, substansi draf RUU berubah-ubah, dari versi 905 halaman menjadi 1.035 halaman dan terakhir 812 halaman. Untuk itu, kami akan mengajukan uji formil ke MK akibat proses pembuatan RUU yang cacat formil ini, selain juga mengajukan gugatan uji materi,” katanya saat dihubungi di Jakarta.
Gugatan uji formil juga akan disiapkan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI). Presiden KSBSI Elly Rosita Silaban mengatakan, pihaknya bersama tim hukum sedang mengkaji perbedaan substansi antara draf RUU yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR dan RUU final yang diserahkan ke Presiden.
Menurut rencana, sebelum mengajukan uji materi, pihaknya akan menggugat secara formil terlebih dahulu. ”Sebab, kalau terburu-buru mengajukan uji materi, berarti sama saja mengakui kesahihan draf RUU itu. Padahal, proses formilnya saja sudah cacat,” kata Elly.
Tetap merugikan
Berdasarkan catatan Kompas, mengacu pada draf versi 905 halaman yang didapat sebelum rapat paripurna, dengan draf 812 halaman yang dikirimkan ke Presiden, setidaknya ada sembilan perubahan substansi di kluster ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja.
Kesembilan poin perubahan itu adalah pengenaan denda bagi pengusaha yang terlambat membayar upah dan bagi buruh yang melakukan pelanggaran yang disengaja; ketentuan tambahan bahwa istirahat/cuti panjang akan diatur dalam peraturan pemerintah; serta penegasan bahwa Dewan Pengupahan memberikan pertimbangan ke pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan upah.
Selain itu, ada ketentuan tambahan yang mengatur lebih detail tentang alasan PHK; perubahan ketentuan pembayaran pesangon; penghapusan sanksi untuk buruh yang mogok kerja; penegasan bahwa iuran Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JPK) akan dibayarkan pemerintah pusat; penegasan bahwa JKP akan diberikan paling banyak enam bulan; serta perubahan variabel syarat penetapan UMK dari ”pertumbuhan ekonomi dan inflasi” menjadi ”pertumbuhan ekonomi atau inflasi”.
Baca juga : Mencemaskan Masa Depan Petani
Wakil Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Jumisih mengatakan, meski dalam draf terbaru itu ada perbaikan terkait beberapa aspek, seperti ketentuan pesangon dan munculnya sejumlah syarat PHK, hal itu tidak mengubah substansi RUU yang secara umum tetap mereduksi hak dan perlindungan buruh.
Misalnya, Pasal 59 yang menghapus batasan tegas masa kontrak pekerja perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT); penghapusan Pasal 65 yang meniadakan batasan tegas jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan; penetapan upah berdasarkan satuan waktu lewat Pasal 88B; penetapan upah minimum kabupaten/kota yang diatur bersyarat dan penghapusan upah minimum sektoral dalam Pasal 89.
Ketentuan yang ditengarai memudahkan proses pemutusan hubungan kerja juga masih diatur dalam draf terbaru. Misalnya, penghapusan Pasal 158 dan Pasal 159 yang meniadakan pembuktian serta hak buruh untuk membela diri dan menggugat pengusaha jika tidak diterima di-PHK atas alasan kesalahan berat.
Perubahan syarat PHK dalam draf RUU yang final pun tetap meniadakan kepastian mengenai detail komponen pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak, yang berhak diterima buruh saat di-PHK dengan alasan tertentu.
Ini bertentangan dengan hasil keputusan rapat panja RUU pada 27 September dan 3 Oktober 2020. Saat itu, DPR dan pemerintah telah menyepakati bahwa ketentuan syarat PHK akan mengakomodasi secara utuh ketentuan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan putusan MK.
Bukan hanya kluster ketenagakerjaan yang menjadi masalah, melainkan juga kluster-kluster lain yang merugikan rakyat secara keseluruhan.
Jumisih menambahkan, bukan hanya kluster ketenagakerjaan yang menjadi masalah, melainkan juga kluster-kluster lain yang merugikan rakyat secara keseluruhan. ”Tetap saja, posisi kita dirugikan sebagai rakyat. Kok, membahas UU dianggap enteng seperti ini, padahal itu mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara kita,” katanya.
Draf 905 halaman
Badan Legislasi DPR membantah ada perubahan substansi. Anggota Baleg DPR dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, dokumen resmi RUU Cipta Kerja bukan draf setebal 905 halaman, melainkan 812 halaman. Dokumen resmi itu sesuai dengan keputusan panitia kerja (panja) dan tak ada perubahan substansi selama sepekan setelah disetujui untuk disahkan dalam rapat paripurna.
”Tidak ada satu pun di luar hasil keputusan panja (panitia kerja). Saya sudah lihat perbandingannya. Jadi, dokumen yang resmi adalah dokumen yang 812 halaman,” ujar Taufik.
Supratman Andi Agtas juga membantah ada perubahan substansi. Merujuk pada perubahan syarat-syarat PHK antara draf 905 halaman dan draf 812 halaman, ia menyebut hal itu bukan perubahan substansi.
Baca juga : Dengarkan Suara Rakyat
”Itu hanya mencantumkan lagi soal syarat-syarat PHK merujuk pada UU existing sebagaimana disepakati panja. Sebelumnya, itu disimplifikasi. Oleh karena itu, poin-poinnya dijabarkan lagi sesuai kesepakatan panja. Saya harus meluruskan itu, kalau tidak saya keliru,” katanya.
Bantahan serupa disampaikan pemerintah. Menurut Kepala Bagian Hukum dan Kerja Sama Luar Negeri Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Agatha Widianawati, DPR dan pemerintah hanya merapikan substansi sesuai dengan kesepakatan dalam rapat-rapat panja RUU Cipta Kerja sebelumnya.
Ia mengatakan, dalam proses perbaikan draf, pihaknya tidak mengacu pada draf 905 halaman. ”Yang menjadi pegangan kami adalah hasil kesepakatan di panja. Itu yang dituangkan dalam RUU,” kata Agatha.
Namun, jikapun hanya membandingkan di antara dua draf yang diakui DPR dan pemerintah, yakni 1.035 halaman versus 812 halaman, perubahan yang memengaruhi substansi tetap ditemukan. Sebagai contoh, Pasal 88 Huruf C Ayat (4) yang mengatur mengenai syarat penetapan UMK. Meski hanya mengganti kata ”dan” menjadi ”atau”, substansi dan implikasinya menjadi berbeda.
Perubahan juga terlihat pada penambahan bab mengenai kebijakan fiskal nasional yang berkaitan dengan retribusi dan pajak. Bab ini memberi kewenangan kepada pemerintah untuk mengintervensi kebijakan pajak dan retribusi yang ditetapkan pemerintah daerah. Bab ini ada di draf versi 905 halaman (5 Oktober 2020), menghilang di draf versi 1.035 halaman (12 Oktober 2020), dan kembali muncul di draf versi 812 halaman (12 Oktober 2020).
Baca juga : Waspada ”Penumpang Gelap” RUU Cipta Kerja
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Bambang Purwanto, mengatakan, saat rapat paripurna, fraksinya mengacu pada draf RUU Cipta Kerja setebal 905 halaman, yang diterima dari Sekretariat Baleg sekitar tiga jam sebelum rapat paripurna dimulai.
”Sesuai penjelasan Sekjen DPR, dasar pertama (untuk rapat paripurna) adalah draf 905 halaman. Karena spasi dan lain-lain, menjadi 1.035 halaman. Beberapa jam kemudian, berubah lagi menjadi 812 halaman,” ujar Bambang.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar menyebut, draf setebal 905 halaman menjadi basis saat RUU Cipta Kerja dibawa ke rapat paripurna (Kompas, 13/10/2020).
Tidak sah
Pengajar Ilmu Perundang-undangan Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono, mengatakan, perubahan substansi setelah RUU disetujui untuk disahkan, apa pun alasannya, tidak dapat dibenarkan. ”Sebenarnya terang benderang, pembahasan substansi berhenti saat DPR dan pemerintah menyetujui. Tidak boleh ada lagi perubahan substansi, baik itu pasal, ayat, maupun bagian, bahkan lampiran. Itu prinsip pokok legislasi kita,” katanya.
Jika masih terjadi perubahan substansi, menurut Bayu, itu bukan hanya merupakan tindak pidana, tetapi dapat mengakibatkan RUU yang disetujui cacat secara formil. Permohonan dapat diajukan ke MK untuk menguji formil pembentukannya. Jika MK menilai ada pelanggaran prosedur, MK dapat mengabulkan uji formil dan menyatakan seluruh UU batal demi hukum.
Perubahan substansi setelah RUU disetujui untuk disahkan, apa pun alasannya, tidak dapat dibenarkan.
”Ini harus menjadi pelajaran bersama. Asas kehati-hatian dalam pembentukan UU harus dipegang teguh. Ketika UU disusun tergesa-gesa atau buru-buru disahkan, besar kemungkinan terjadi kekeliruan atau ketidakcermatan, yang baru disadari kemudian. Jika itu disadari belakangan, tentu perubahan substansi tidak bisa lagi dilakukan, apa pun alasannya,” ujarnya.
Senada, mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengatakan, RUU Cipta Kerja seharusnya sudah final dan tidak boleh diubah saat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR. Dalam rapat paripurna pun, seharusnya anggota DPR sudah memiliki naskah resmi karena RUU sebagai subyek hukum yang disahkan harus konkret dan riil. Tanpa adanya naskah resmi yang final, secara formil, sangat mungkin RUU dinilai tidak sah.
Oleh karena itu, menurut dia, pengujian formil di MK perlu dilakukan untuk menggugat dugaan kuat perubahan substansi itu. Uji formil sangat penting karena menyangkut kualitas Indonesia sebagai negara hukum dan demokrasi. ”Jangan ditanyakan ke DPR, karena pasti akan berkilah. Jalan terbaik memang masyarakat melakukan uji formil ke MK,” ucapnya. (SYA/BOW)