Buruh Kala Pandemi, ”Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Pula”
Setelah menghadapi pukulan ekonomi akibat Covid-19 yang menggerus sumber nafkah dan kelayakan hidup, kini buruh berhadapan dengan regulasi yang mereduksi hak dan perlindungannya atas nama investasi.
Nasib buruh kian terombang-ambing di tengah pandemi. Setelah menghadapi pukulan ekonomi akibat Covid-19 yang menggerus sumber nafkah dan kelayakan hidup, kini buruh berhadapan dengan regulasi yang mereduksi hak dan perlindungannya atas nama investasi. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Wakil Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Jumisih masih mengingat efek dari pengesahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, beberapa tahun silam. Saat itu, UU Ketenagakerjaan untuk pertama kalinya memperkenalkan sistem kerja kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu/PKWT) dan alih daya (outsourcing).
Setelah UU itu berlaku, Jumisih menuturkan, perusahaan beramai-ramai membuat sistem kerja kontrak dan alih daya. ”Pada 2003-2005, saya melihat bagaimana perusahaan berlomba-lomba dengan berbagai cara dan alasan untuk membuat sistem kerja kontrak dan alih daya. Main tutup dan buka perusahaan baru demi mengubah sistem kerja tetap menjadi kerja kontrak,” katanya saat dihubungi, Selasa (6/10/2020).
Kompas juga mencatat ketidakjelasan nasib status pekerja kontrak pasca-berlakunya UU Ketenagakerjaan yang melegalkan sistem kerja kontrak dan alih daya. Tulisan itu menggambarkan, banyak buruh tetap yang telah lama bekerja dan memiliki upah layak diberhentikan atau diubah statusnya menjadi tenaga kerja kontrak dengan upah yang lebih rendah.
Sekarang, di tengah pandemi, ketentuan yang beberapa tahun silam itu merugikan pekerja, diperburuk lewat RUU Cipta Kerja. Pasalnya, pemerintah dan DPR kini membuat sumir ketentuan terkait masa kerja pekerja kontrak.
Sebagai perbandingan, UU Ketenagakerjaan sebelumnya mengatur, pekerja hanya boleh dikontrak paling lama tiga tahun (dua tahun dengan perpanjangan satu tahun). Kini, batasan waktu itu tidak diatur dalam RUU Cipta Kerja. Pasal 59 UU Ketenagakerjaan yang diadopsi dalam RUU hanya mengatur, batas waktu penyelesaian pekerja kontrak diatur ”dalam waktu yang tidak terlalu lama”.
”Ini menyebabkan pengusaha dapat leluasa menafsirkan frasa ’tidak terlalu lama’ yang berakibat pada semakin minimnya kepastian kerja bagi buruh,” kata Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar.
Ketentuan mengenai pekerja kontrak dan alih daya, sebagaimana ketentuan lainnya yang alot, dilempar ke PP karena tarik-menarik kepentingan dalam pembahasan bersama pemerintah.
Detail berikutnya mengenai batasan jenis dan sifat pekerjaan serta jangka waktu perjanjian kerja diserahkan ke pemerintah untuk diatur dalam rancangan peraturan pemerintah (PP). Sementara, selama ini, penyusunan rancangan PP dibahas secara sepihak dan tertutup oleh kementerian/lembaga teknis, berbeda dengan RUU yang dibahas bersama DPR dan bisa dikawal oleh masyarakat.
Tarik-menarik
Menurut anggota Panja RUU Cipta Kerja DPR, Hendrawan Supratikno, ketentuan mengenai pekerja kontrak dan alih daya, sebagaimana ketentuan lainnya yang alot, dilempar ke PP karena tarik-menarik kepentingan dalam pembahasan bersama pemerintah.
Staf Ahli Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Elen Setiadi beralasan, durasi kerja kontrak tidak perlu diatur lagi, berhubung aspek keamanan dan perlindungan bekerja untuk buruh kontrak akan diatur lewat pemberian kompensasi terhadap pekerja yang kontraknya selesai.
Hal ini ditentang anggota panja Obon Tabrani. Sebab, kepastian kerja dinilai lebih penting untuk buruh dibandingkan pemberian kompensasi tanpa batasan masa kontrak yang jelas. Keputusan akhirnya, DPR menyerahkan pengaturan mengenai pekerja kontrak itu ke pemerintah.
Baca juga: Hak dan Perlindungan Buruh Tercederai
Jumisih mengatakan, ”cek kosong” lewat PP itu memberi ketidakpastian kerja bagi buruh. Apalagi, intensi awal pemerintah sudah jelas sebagaimana tergambar dalam draf awal RUU dan argumentasi saat pembahasan, yakni meniadakan batas waktu buruh kontrak.
”Bisa dibayangkan bagaimana nasib pekerja akibat RUU Cipta Kerja kali ini. Semakin banyak buruh terancam terus-menerus menjadi buruh kontrak atau outsourcing tanpa batas. Padahal, harapan untuk kepastian kerja itu adalah harapan mereka untuk hidup dan menafkahi keluarga,” kata Jumisih.
Bisa dibayangkan bagaimana nasib pekerja akibat RUU Cipta Kerja kali ini. Semakin banyak buruh terancam terus-menerus menjadi buruh kontrak atau outsourcing tanpa batas.
Baca juga: Buruh Sidoarjo Turun ke Jalan, Tolak UU Cipta Kerja
Berlakunya RUU Cipta Kerja di tengah pandemi menambah beban untuk buruh. Covid-19 yang sudah berlangsung lebih dari enam bulan menyisakan dan menambah deretan kasus perburuhan di Indonesia. Menurut Jumisih, sejak awal pandemi, ada kecenderungan perusahaan menjadikan Covid-19 sebagai alasan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) atau mengurangi hak pekerja.
Beberapa perusahaan sudah mengalami kesulitan keuangan, tetapi ada pula perusahaan yang ditengarai masih mampu. Di sisi lain, pemerintah daerah dan pusat yang seharusnya menjadi pengawas ketenagakerjaan pun tidak tegas menindaklanjuti kasus-kasus perburuhan selama Covid-19.
Saat ini, pekerja kontrak menjadi salah satu kelompok yang paling terpukul dampak pandemi. Mereka menjadi yang paling duluan diberhentikan dibandingkan pekerja tetap. Sebab, pekerja tetap terikat dengan ketentuan hak pesangon yang dinilai pengusaha terlalu berat. Sementara, pekerja kontrak tidak.
PHK dan pesangon
Selain nasib pekerja kontrak dan alih daya, RUU Cipta Kerja juga memuat ketentuan lain yang dapat memudahkan PHK.
Baca juga: Keberpihakan RUU Cipta Kerja Dipertanyakan
Sejauh ini, di tengah pandemi, kelompok pengusaha berpandangan, PHK menjadi opsi paling terakhir yang ditempuh. Sebab, opsi itu mengharuskan perusahaan membayarkan pesangon dalam jumlah besar, tergantung lama masa kerja. Perusahaan yang mengalami kesulitan arus kas pun lebih memilih untuk mengurangi gaji pekerja atau merumahkan karyawan tanpa upah (unpaid leave).
Oleh karena itu, mengacu pada data Kementerian Ketenagakerjaan, Agustus 2020, dari 3,59 juta orang pekerja yang kehilangan sumber nafkah akibat pandemi, jumlah pekerja formal yang dirumahkan jauh lebih banyak daripada pekerja yang di-PHK. Pekerja yang dirumahkan adalah 1,13 juta orang, sementara yang di-PHK hanya 383.645 orang.
Kini, dengan RUU Cipta Kerja, PHK semakin dipermudah. Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur keharusan pengusaha memberikan surat peringatan sebanyak tiga kali sebelum mem-PHK pekerja dihapus dalam RUU Cipta Kerja. Ke depan, pengusaha dapat lebih leluasa memecat karyawan tanpa peringatan.
Syarat dan alasan perusahaan melakukan PHK terhadap pekerja pun lebih mengambang dibandingkan UU Ketenagakerjaan. Dalam UU Ketenagakerjaan, alasan dan skenario perusahaan melakukan PHK beserta syarat dan kompensasinya ditentukan secara detail dalam Pasal 161-169. Namun, di RUU Cipta Kerja, aturan detail itu dihapus.
Menurut Jumisih, ketentuan mengenai alasan, syarat, dan mekanisme PHK untuk beberapa skenario kerja itu seharusnya diatur dengan mendetail di UU, bukan dihapus. Beberapa di antaranya, pasal yang mengatur tentang kompensasi dan mekanisme untuk PHK dalam rangka penggabungan, peleburan, atau efisiensi perusahaan, dihapus.
Demikian juga ketentuan dalam rangka PHK karena perusahaan mengalami kerugian, tidak ada lagi kewajiban perusahaan membuktikan lewat laporan keuangan dua tahun terakhir sebagaimana diatur dalam Pasal 164 Ayat (2) di UU Ketenagakerjaan. Buruh yang di-PHK karena sakit berkepanjangan pun berpotensi tidak mendapat hak dua kali pesangon karena ketentuan itu dihapus di RUU Cipta Kerja.
”Kalau seperti ini, semakin tidak ada kepastian kerja untuk buruh. PHK-nya dipermudah, ditambah tidak ada kejelasan jaminan kompensasi serta mekanisme PHK,” kata Jumisih.
Baca juga: RUU Cipta Kerja Bukan Solusi
Sementara itu, jumlah maksimal pesangon buruh saat di-PHK ikut berkurang jika dibandingkan dengan UU sebelumnya. Pengaturan Pasal 156 yang mengatur perhitungan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja ”paling sedikit” maksimal 19 kali upah diubah menjadi ”paling banyak” maksimal 19 kali upah.
Rezim RUU Cipta Kerja juga tidak mengenal uang penggantian hak untuk pekerja yang resign atau berhenti kerja.Pasal 162 yang mengatur hak pekerja untuk memperoleh uang penggantian hak ketika mengundurkan diri dihapus.
Baca juga: Pesangon Dibayar Patungan, Kas Negara Diragukan
Upah minimum
Daya beli buruh saat pandemi pun bisa terancam menurun dengan adanya pengaturan baru mengenai formula upah minimum. Dalam Pasal 89 UU Ketenagakerjaan, komponen upah minimum diatur terdiri dari upah minimum provinsi (UMP) atau kabupaten/kota (UMK) dan upah minimum berdasarkan sektor pada provinsi atua kabupaten/kota (UMSP/UMSK).
Upah minimum ditetapkan oleh gubernur dengan mempertimbangkan rekomendasi Dewan Pengupahan. Besaran upah minimum itu diarahkan ke pencapaian kebutuhan hidup yang layak. Namun, aturan ini dihapus dalam RUU Cipta Kerja.
Dalam Pasal 88A-88E RUU Cipta Kerja, gubernur tidak harus menetapkan UMK, hanya UMP. Pasal 88C mengatur, gubernur ”dapat menetapkan UMK dengan syarat tertentu”. Syaratnya adalah mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi di daerah tersebut.
Timboel Siregar mengatakan, UMK yang tidak wajib itu berpotensi menurunkan upah minimum untuk pekerja di beberapa daerah. Sebab, di beberapa daerah, ada kabupaten/kota yang upah minimumnya lebih besar daripada UMP. Sebagai contoh, UMP Jawa Barat hanya Rp 1,8 juta. Namun, UMK Karawang mencapai Rp 4,5 juta dan UMK Bekasi sebesar Rp 4,4 juta.
Melindungi buruh
Di tengah resistensi itu, pemerintah tetap mengklaim RUU Cipta Kerja tetap menguntungkan buruh. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, semangat yang dibangun adalah memperluas penyediaan lapangan kerja dan meningkatkan perlindungan bagi buruh, khususnya perlindungan untuk buruh yang di-PHK lewat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Dalam JKP, buruh akan mendapat perlindungan pesangon enam kali upah yang dibayarkan oleh pemerintah. Sumber pembiayaan JKP berasal dari modal awal pemerintah, rekomposisi iuran program jaminan sosial, dan dana operasional BP Jamsostek. Adapun dana operasional BP Jamsostek berasal dari iuran pekerja dan imbal hasil investasi yang dikelola BP Jamsostek.
”Terlalu prematur kalau kita tergesa-gesa menyimpulkan RUU Cipta Kerja akan rentan terhadap PHK pekerja,” kata Ida.
Terlalu prematur kalau kita tergesa-gesa menyimpulkan RUU Cipta Kerja akan rentan terhadap PHK pekerja.
Baca juga: Modal Awal Jaminan Kehilangan Pekerjaan Ditentukan Minimal Rp 6 Triliun
Ida mengatakan, RUU Cipta Kerja tetap memberi ruang bagi serikat pekerja untuk memperjuangkan kepentingan buruh yang terkena PHK. RUU Cipta Kerja juga masih mempertahankan aturan ”upah proses” bagi pekerja yang mengalami PHK sehingga buruh yang sedang bersengketa di pengadilan hubungan industrial tetap menerima upah.
Terkait hak dan perlindungan pekerja kontrak, Ida mengatakan, pemerintah akan tetap mengatur syarat dan perlindungan hak bagi pekerja kontrak. ”RUU ini juga mengatur perlindungan tambahan berupa kompensasi kepada pekerja ketika kontraknya berakhir,” kata Ida. Namun, semua aturan itu baru akan diatur di rancangan PP.
”Pemerintah akan segera menyusun peraturan pelaksana dalam bentuk PP dan lainnya untuk meyakinkan buruh bahwa amanat perlindungan buruh dapat dijalankan,” ujarnya.