Penolakan pekerja atas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja tidak digubris. Legislatif dan pemerintah, Senin (5/10/2020), mengesahkan RUU itu menjadi undang-undang di tengah maraknya penolakan buruh.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penolakan pekerja atas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja tidak digubris. Legislatif dan pemerintah, Senin (5/10/2020), mengesahkan RUU itu menjadi undang-undang di tengah demonstrasi dan penolakan yang disuarakan sejumlah kalangan.
Ketua Persaudaraan Pekerja Anggota Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPA PPMI) PT TATO Dacovision Sandi Wahyudi Putra menilai masih banyak pasal dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang perlu direvisi. Jika tidak, hak-hak para pekerja akan terancam.
”Pada dasarnya kami berharap RUU Cipta Kerja tidak perlu disahkan. Namun, jika terpaksa harus disahkan, revisi dulu pasal-pasalnya yang bermasalah,” katanya saat ditemui di Jakarta, Senin (5/10/2020).
Dikebutnya pembahasan RUU Cipta Kerja di Badan Legislasi DPR sebelumnya memicu reaksi dari sejumlah aliansi buruh, tidak terkecuali Sandi dan rekan-rekan. Menurut dia, aliansi buruh di seluruh Indonesia sepakat untuk mengawal RUU Cipta Kerja di Jakarta secara bergantian pada 5-8 Oktober 2020.
”Kami anggap saat ini sudah masuk babak final sehingga akan kami kawal. Satu-satunya jalan yang bisa dilakukan hanya menggelar aksi walaupun pandemi Covid-19 masih berlangsung,” ujarnya.
Salah satu yang ingin diperjuangkan Sandi dan kawan-kawan adalah mengenai pesangon pekerja. Sebab, dengan aturan saat ini, pekerja masih bisa mendapatkan pesangon hingga 18 kali upah bulanan jika di-PHK. Ia menilai, dengan adanya RUU Cipta Kerja, skema itu akan berubah.
”Dengan adanya RUU Cipta Kerja, pesangon yang didapatkan pekerja bisa berkurang hingga enam kali upah,” katanya.
Pada dasarnya kami berharap RUU Cipta Kerja tidak perlu disahkan. Namun, jika terpaksa harus disahkan, revisi dulu pasal-pasalnya yang bermasalah.
Ia juga mendesak agar hak-hak cuti khusus bagi para pekerja tidak dihilangkan. ”Ke depan, cuti menikah atau orangtua meninggal jadi tidak ada lagi. Otomatis pekerja akan mengorbankan cuti tahunan,” katanya.
Sandi juga berharap RUU Cipta Kerja bisa memberikan kepastian status kerja para karyawan. Ia ingin karyawan tidak lagi terjebak sebagai pekerja alih daya (outsourcing) saja karena terbukti status sebagai pekerja alih daya tidak mampu memberikan jaminan apa pun.
”Di tempat kami, karyawan kontrak mungkin sudah didepak semuanya. Saat ini hanya tersisa karyawan tetap,” ungkapnya.
Timbulkan kecemasan
Bambang (39), pramubakti di salah satu perusahaan perbankan di Jakarta Selatan, mengaku waswas dengan dikebutnya pembahasan RUU Cipta Kerja. Meski tidak memahami pasal-pasalnya secara mendetail, karyawan alih daya ini khawatir dengan status kerjanya yang tak kunjung mendapatkan kepastian.
”Yang saya tahu, karyawan outsourcing seperti saya ini jadi tidak terikat dengan perusahaan. Bisa diputus hubungan sewaktu-waktu,” ujarnya.
Kendati sudah menjadi karyawan alih daya selama 16 tahun, Bambang kini tak kunjung mendapat kejelasan. Selama ini kontrak Bambang selalu diperpanjang setiap satu tahun sekali.
”Padahal, saat awal-awal kerja dulu status saya karyawan tetap, tetapi setelah itu turun menjadi karyawan outsourcing,” ujarnya.
Harapan Bambang sebenarnya tidak muluk-muluk. Ia hanya ingin segera diangkat menjadi karyawan tetap. Dengan begitu, ia bisa memiliki kesempatan untuk mendapatkan pesangon.
Upah minimum
UU Cipta Kerja dikhawatirkan membuat pendapatan buruh tergerus karena dihapusnya upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK). Pandemi Covid-19 memperparah penghasilan yang diterima karena lembur ditiadakan.
Buruh perusahaan elektronik, Leni (41), menyoroti patokan upah apabila UMSK ditiadakan. Jika patokannya upah minimum provinsi (UMP), dia yang digaji dengan standar UMSK Kabupaten Bogor akan mengalami penurunan gaji. Ini karena UMP Jawa Barat hanya Rp 1,8 juta, sementara pendapatannya saat ini lebih kurang Rp 4,5 juta.
”Itu, kan, jauh banget. Dengan pendapatan itu (Rp 4,5 juta) saja, hidup kami sudah pas-pasan,” ujar karyawan tetap yang sudah bekerja 21 tahun ini.
Buruh perusahaan otomotif di Jakarta, Herry Hermawan (40), tidak lagi menerima lembur selama pandemi Covid-19. Dalam situasi normal, besaran uang lembur bisa separuh pendapatan atau sebesar Rp 3 juta.
Buruh perusahaan elektronik, Leni (41), menyoroti patokan upah apabila UMSK ditiadakan. Jika patokannya upah minimum provinsi (UMP), dia yang digaji dengan standar UMSK Kabupaten Bogor akan mengalami penurunan gaji. Ini karena UMP Jawa Barat hanya Rp 1,8 juta, sementara pendapatannya saat ini lebih kurang Rp 4,5 juta.
Menurut dia, pandemi Covid-19 juga membuat buruh berisiko terkena pemutusan hubungan kerja atau PHK. RUU Cipta Kerja, lanjut Herry, mengurangi jumlah pesangon dari maksimal 32 kali upah menjadi 25 kali upah.
Padahal, pesangon adalah harapan terakhir buruh saat tak bekerja. Dari pesangon, mereka akan menata hidup setelah tak lagi memiliki penghasilan tetap.
Selain itu, dia melanjutkan, RUU Cipta Kerja membuat pekerja alih daya merasa cemas. Mereka bisa dikontrak seumur hidup karena aturan kerja yang fleksibel.
Sebagai pengurus Federasi Serikat Pekerja Aneka Sektor Indonesia (FSPASI), Herry sudah mendapat laporan terkaitnya banyaknya pekerja alih daya yang tak diperpanjang kontraknya. Ada pula perusahaan yang melakukan PHK terhadap karyawan.
”RUU Cipta Kerja ini bermasalah karena tak memberikan kepastian kerja, kepastian upah, dan jaminan sosial yang laik untuk karyawan,” ujarnya.