Buruh Sidoarjo Turun ke Jalan, Tolak UU Cipta Kerja
Ratusan buruh dari beberapa perusahaan di Kabupaten Sidoarjo turun ke jalan guna menolak Undang-Undang Cipta Kerja. Selain menurunkan kesejahteraan, UU itu juga membuat para buruh terjebak pada sistem kontrak.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI/AGNES SWETTA PANDIA
·5 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Ratusan buruh dari beberapa perusahaan di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, turun ke jalan, menyuarakan aspirasi mereka menolak Undang-Undang Cipta Kerja. UU yang baru disahkan itu tidak hanya menurunkan kesejahteraan pekerja, tetapi juga membuat mereka terjebak pada sistem kontrak selamanya.
Buruh yang berasal dari beberapa serikat pekerja yang ada di Sidoarjo ini berkumpul sejak pagi di kawasan Perumahan Puri Surya Jaya, Kecamatan Gedangan. Titik kumpul itu lokasinya strategis karena dekat dengan banyak pabrik dan kawasan pergudangan sehingga mudah dijangkau oleh para buruh yang menjadi peserta unju krasa.
Sekitar pukul 11.00, massa buruh bergerak menuju ke gedung DPRD Sidoarjo. Pergerakan massa pekerja ini menempuh jarak sejauh 8 kilometer ke arah Alun-alun Sidoarjo. Iring-iringan kendaraan pengunjuk rasa memanjang sejauh 500 meter. Mayoritas menggunakan sepeda motor meski ada juga yang berjalan kaki di barisan paling depan.
Pergerakan massa pekerja ini menyebabkan kemacetan panjang di Jalan Raya Surabaya-Sidoarjo. Ekor kemacetannya memanjang sampai di Bundaran Aloha. Puluhan anggota polisi dari Polresta Sidoarjo dikerahkan untuk mengawal peserta unjuk rasa dan mengurai kemacetan di jalan raya.
Koordinator Lapangan Aksi Buruh Sidoarjo dari Federai Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Choirul Anam mengatakan, sikap pekerja terhadap UU Cipta Kerja ialah menolak seluruhnya. Alasannya, UU ini tidak hanya berdampak buruk kepada kluster pekerja, tetapi juga berdampak negatif pada upaya penyelamatan lingkungan hidup.
Terkait substansi tentang tenaga kerja itu sendiri, banyak aturan yang merugikan pekerja. Banyak aturan yang diciptakan dalam UU tersebut telah mereduksi hak kaum buruh. Salah satunya ketentuan tentang pesangon bagi buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Sebelumnya, pesangon ditetapkan maksimal 32 kali upah pekerja.
”Namun, dalam undang-undang yang baru ini, pesangon berkurang menjadi 25 kali upah pekerja. Perusahaan membayar 16 kali upah pekerja. Negara menanggung 9 kali upah pekerja dengan skema JKP,” ujar Choirul Anam.
Upah sektoral dihapus
Ketentuan lain yang juga mendapat sorotan dari pekerja ialah dihapuskannya upah sektoral. Kebijakan ini dinilai sebagai langkah mundur di sektor ketenagakerjaan. Provinsi Jatim telah lama memberlakukan kebijakan upah minimun sektoral kabupaten/kota (UMSK) yang nilainya di atas upah minimum kabupaten.
Upah sektoral ini diterapkan pada sektor unggulan yang berpedoman pada klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia melalui penelitian dan pembahasan. Selanjutnya disampaikan kepada asosiasi perusahaan dan serikat pekerja atau buruh di sektor yang bersangkutan untuk dirundingkan. Sidoarjo termasuk daerah yang menerapkan UMSK.
Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Jatim Achmad Fauzi mengatakan, ketentuan lain yang meresahkan ialah diperbolehkannya perusahaan menerapkan sistem alih daya yang membuka peluang pekerja dikontrak dalam jangka waktu lama. Dengan status karyawan tidak tetap, pekerja akan kesulitan mendapatkan hak-haknya.
Ratusan pekerja di Sidoarjo dalam aksinya itu meminta para wakil rakyat yang duduk di DPRD Sidoarjo dan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo menandatangani kesepakatan yang isinya meminta mereka mendukung penolakan terhadap UU Cipta Kerja. Para wakil rakyat dan pemda juga diminta menyampaikan aspirasi pekerja kepada pemerintah pusat dan wakil rakyat yang ada di tingkat pusat.
Fauzi menambahkan, unjuk rasa menolak UU Cipta kerja akan dilakukan setiap hari selama tiga hari. Dua hari pertama, unjuk rasa dilakukan di kabupaten dan kota masing-masing dengan sasaran pemda setempat dan wakil rakyat di daerah. Baru pada tanggal 8 Oktober para buruh di seluruh daerah di Jatim akan berkumpul di Surabaya untuk menyampaikan aspirasi mereka kepada Pemerintah Provinsi Jatim dan DPRD Jatim.
”Dalam berunjuk rasa, pekerja berupaya menerapkan protokol kesehatan dengan selalu memakai masker. Selain itu, tidak ada mogok kerja karena pekerja tidak ingin kegiatan produksi terganggu,” ucap Fauzi.
UU Cipta Kerja dikhawatirkan semakin memperbesar PHK secara sepihak oleh perusahaan. Saat ini terdapat banyak kasus sengketa hubungan industrial yang belum terselesaikan. Persoalan itu disebabkan karena pandemi Covid-19 yang menyebabkan ekonomi lesu.
Data Disnaker Sidoarjo menyebutkan, jumlah pekerja yang terkena rasionalisasi selama pandemi lebih dari 12.000 orang. jumlah riil diyakini lebih besar, bahkan bisa dua kali lipatnya. Hal itu terjadi karena jumlah pekerja yang melapor ke dinas hanya yang proses PHK-nya mengalami sengketa dengan perusahaan.
Perjuangan pekerja menyampaikan aspirasinya menolak UU Cipta Kerja membuat mereka berisiko tinggi tertular Covid-19. Pasalnya, sulit menerapkan protokol kesehatan, terutama jaga jarak aman. Mereka harus berdekatan sejak dalam perjalanan menuju kantor Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dan gedung DRPD Sidoarjo. Mayoritas menggunakan sepeda motor dan berboncengan.
Turun ke jalan untuk memprotes pengesahan UU Cipta Kerja juga dilakukan buruh di Kota Surabaya dan Gresik. Di Surabaya, sejak Selasa pagi, tak kurang dari 100 buruh sudah berkumpul di kawasan industri SIER di Rungkut. Setelah berkumpul, mereka dengan konvoi sepeda motor mendatangi pabrik satu demi satu untuk mengajak rekannya agar pada aksi mendatang ikut turun ke jalan.
Menurut Juru Bicara KSPI Jatim Nurudin Hidayat yang ditemui di kawasan industri Rungkut, memang agenda aksi kali ini menolak omnibuslaw yang dimulai hari ini di sejumlah daerah di Jatim.
Aksi penolakan ini berdasarkan kesepakatan serikat buruh dan dipusatkan di daerah setiap kabupaten/kota. ”Aksi yang akan mengerahkan banyak buruh dan mahasiswa untuk mendatangi gedung DPRD kabupaten/kota pada Kamis, 8 Oktober 2020,” katanya.
Pada Minggu (4/10/2020), Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sempat bertemu perwakilan dari Serikat Pekerja dan Serikat Buruh (SPSB) Surabaya.
Perwakilan dari SPSB itu menemui Risma untuk menyampaikan aspirasinya agar dapat diteruskan ke pemerintah pusat. Salah satu aspirasi yang mereka sampaikan itu ialah terkait UU Ketenagakerjaan yang dinilai memberatkan bagi para pekerja dan buruh.
Pada kesempatan itu, Risma menyatakan siap memfasilitasi semua aspirasi pekerja dan buruh untuk diteruskan ke pemerintah pusat.
Menanggapi keluhan perwakilan buruh, kata Koordinator SPSB Kota Surabaya, Dendy Prayitno, Risma meminta mereka untuk mendata pereka yang terkena PHK akibat Covid-19.