DPR Diminta Tetap Masukkan Lima Bentuk Kekerasan Seksual
Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual akan mengatur berbagai bentuk kekerasan seksual yang selama ini belum diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perjalanan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual terus dikawal masyarakat sipil. Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah diminta memasukkan kembali lima bentuk kekerasan seksual, yakni pemerkosaan, pemaksaan aborsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan perkawinan, dan perbudakan seksual, dalam rancangan undang-undang tersebut.
Kelima bentuk kekerasan seksual tersebut dinilai penting masuk dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang akan dibahas Dewan Perwakilan Rakyat. Sebab, kelima bentuk kekerasan seksual itu belum sepenuhnya diatur dalam aturan perundang-undangan yang ada.
”Jika hanya melihat dari kesamaan nama delik saja lantas menyimpulkan bahwa bentuk kekerasan seksual tersebut sudah diatur, maka ini bentuk simplifikasi yang berdampak diskriminatif terhadap korban,” ujar Ratna Batara Munti, Koordinator Advokasi Kebijakan Nasional-Asosiasi LBH APIK Indonesia, pada diskusi RUU TPKS versi DPR dan Pemerintah Kluster ”Pengaturan Tindak Pidana Kekerasan Seksual”, Senin (14/3/2022).
Diskusi yang digelar Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual dan Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) itu menghadirkan Topo Santoso, dosen pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Ratna menyebutkan, dalam RUU TPKS yang disahkan sebagai RUU Inisiatif DPR pada Januari 2022, tidak termuat lima bentuk kekerasan seksual yang sebelumnya ada dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. DPR menilai kelima bentuk tersebut telah diatur dalam aturan perundang-undangan dan rancangan aturan undang-undang yang lain.
”Kami melihat dari alasan DPR mengeluarkan lima bentuk kekerasan seksual tersebut sama sekali tidak relevan karena hanya melihat judulnya dan alasan sudah diatur di UU lain. Padahal, unsur-unsurnya tidak menjangkau kelima bentuk kekerasan tersebut,” kata Ratna.
Misalnya, pemerkosaan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih terbatas penggunaan ancaman kekerasan.
Terkait beberapa pandangan masyarakat sipil, Topo Santoso menilai yang terpenting adalah substansi yang berupa uraian atau rumusan delik yang dimasukkan dalam RUU TPKS, tanpa harus menyebutkan nama.
Ia mencontohkan, kekerasan seksual yang dilakukan dengan cara-cara seperti penyalahgunaan kekuasaan, tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan atau cara-cara lain di luar penggunaan ancaman dan/atau kekerasan, atau kondisi lainnya yang sudah dirumuskan di RKUHP, semestinya bisa dimasukkan ke dalam RUU TPKS walau tanpa disebut nama/ kualifikasi deliknya, seperti pemerkosaan atau pemaksaan hubungan seksual.
”Jika tetap dengan nama atau kualifikasi delik ’pemerkosaan’ hal ini bisa membingungkan nantinya dalam praktik. Sebab, ada pemerkosaan dalam RUU TPKS dan ada pemerkosaan dalam RKUHP,” paparnya.
Karena itulah, Topo menyarankan sebaiknya dipilih apakah pemerkosaan ada dalam RUU TPKS atau dalam RKUHP. Sebab, jika nama atau kualifikasinya sama, tetapi rumusan atau uraian delik berbeda, hal itu akan membingungkan.
Alasan DPR mengeluarkan lima bentuk kekerasan seksual tersebut sama sekali tidak relevan karena hanya melihat judulnya dan alasan sudah diatur di UU lain. Padahal, unsur-unsurnya tidak menjangkau kelima bentuk kekerasan tersebut.
Soal pandangan masyarakat sipil terkait korban pemaksaan aborsi, yang memberikan persetujuan karena pelaku memanfaatkan kondisi kerentanan perempuan, persetujuan karena adanya tekanan psikis dari pasangan atau keluarga, atau dengan cara penyalahgunaan kekuasaan, tipuan atau rangkaian kebohongan, dan sebagainya, Topo menyatakan sependapat tentang perlunya pengaturan hal ini.
”Tidak bolehnya ada kekosongan dalam pengaturan yang akan menimbulkan korban-korban berikutnya. Tapi, pendekatannya sama dengan perumusan terkait dengan pemerkosaan,” ujarnya.
Topo berharap pembahasan RUU TPKS fokus pada sejumlah hal penting, seperti melindungi korban, mencegah korban baru, menghilangkan diskriminasi atas korban, atau menghilangkan loopholes (kekosongan) dalam kekerasan seksual.