Penetapan RUU TPKS sebagai RUU Usul Inisiatif DPR sebuah langkah maju, Kendati demikian, draf RUU TPKS perlu dilakukan penyempurnaan agar mengedepankan kepentingan korban kekerasan seksual.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
FERGANATA INDRA RIATMOKO
Warga melintas di depan mural berisi seruan untuk mendorong pengesahan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang dibuat di tembok Stadion Kridosono, Yogyakarta, Senin (10/1/2021). Berbagai elemen masyarakat terus menyuarakan urgensi pengesahan RUU TPKS melalui bermacam media seiring terus berulangnya kemunculan kasus kekerasan seksual, terutama terhadap perempuan dan anak-anak.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah masukan dari berbagai organisasi dan lembaga terkait proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual terus mengalir setelah RUU tersebut ditetapkan sebagai RUU Usul Inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat. Selain melibatkan partisipasi publik, DPR diharapkan mengakomodasi berbagai masukan untuk penyempurnaan draf RUU.
Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengingatkan pentingnya penyempurnaan substansi RUU TPKS, terutama ketika penyusunan Daftar Isian Masalah (DIM) RUU TPKS di tingkat pemerintah. Hal ini penting untuk memastikan pemenuhan hak korban secara komprehensif.
”Kami berharap penyempurnaan substansi RUU TPKS agar mengedepankan kepentingan korban dengan mengadopsi enam elemen kunci penghapusan kekerasan seksual,” ujar Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, bersama komisioner lainnya, Maria Ulfa Ansor dan Mariana Amiruddin, dalam keterangan pers, Rabu (19/1/2022).
Kami berharap penyempurnaan substansi RUU TPKS agar mengedepankan kepentingan korban dengan mengadopsi enam elemen kunci penghapusan kekerasan seksual.
Adapun enam elemen kunci penghapusan kekerasan seksual adalah pencegahan; TPKS; pidana dan tindakan terhadap pelaku; hukum acara khusus penanganan kasus kekerasan seksual (penyidikan, penuntutan, pemeriksaan pengadilan); hak-hak korban, saksi dan keluarga korban; serta pemantauan dan pengawasan dari lembaga nasional HAM.
Dari berbagai diskusi dan kajian, Komnas Perempuan juga memberikan masukan terkait hal-hal yang harus tetap dipertahankan dan disempurnakan dalam draf RUU TPKS, antara lain, (sistematika pidana khusus internal; judul tindak pidana kekerasan seksual; perumusan tindak pidana kekerasan seksual; pemidanaan sistem dua jalur (double track system) yaitu pidana dan rehabilitasi untuk pelaku; dan sistem pembuktian kekerasan seksual.
Selain itu, juga hak atas restitusi dan pendampingan korban; bab tentang hak korban, keluarga korban, dan saksi untuk penanganan, perlindungan dan pemulihan; pencegahan yang meliputi delapan sektor termasuk bidang teknologi informatika; keagamaan dan keluarga; peran serta masyarakat dalam pencegahan kekerasan keluarga; serta pengintegrasian hak-hak penyandang disabilitas juga perlu dipertahankan dan disempurnakan.
KOMPAS
Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai inisiatif DPR. Sebelumnya, beleid ini dibahas intensif hanya di Badan Legislasi DPR.
Kekerasan siber
Siti Aminah menambahkan, Komnas Perempuan juga mengusulkan sejumlah penyempurnaan dalam RUU TPKS, seperti penambahan jenis kekerasan siber berbasis jender terhadap perempuan, selain pelecehan seksual teknologi dan informasi seperti tindak pidana rekayasa pornografi (deepfake pornography/morphing). Selain itu, perlu dirumuskan pula hak korban atas penghapusan jejak digital atau hak untuk dilupakan (the right to be forgotten).
”Penyempurnaan juga untuk pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan pemaksaan hubungan seksual dirumuskan baik sebagai tindak pidana berdiri sendiri atau unsur dalam tindak pidana yang sudah dirumuskan atau menjadi pemberat pidana,” tambah Siti Aminah.
Komnas Perempuan juga mendorong Alat Kelengkapan DPR yang ditunjuk oleh pimpinan DPR menampung masukan para penyintas, keluarga korban, dan lembaga layanan korban kekerasan seksual dalam pembahasan. Dalam penyusunan DIM, tim pemerintah diharapkan melibatkan partisipasi penuh para penyintas, keluarga korban, dan lembaga layanan korban kekerasan seksual.
Secara terpisah, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati dalam acara Media Talk, Rabu petang menegaskan kehadiran UU TPKS sebagai payung hukum dalam penanganan kasus kekerasan seksual sudah mendesak dan lama dinantikan para korban kekerasan seksual.
Oleh karena itu, Kementerian PPPA berkomitmen mendukung dan mengawal proses legislasi dari RUU TPKS hingga menjadi UU. Bintang mengajak organisasi masyarakat sipil dan akademisi, serta berbagai pihak untuk bersama-sama menyempurnakan draf sandingan atau daftar isian masalah (DIM) dari RUU TPKS.
”Kami membuka pintu selebar-lebarnya masukan-masukan untuk membuat DIM sempurna,” ujar Bintang seraya menegaskan proses penyusunan dan perumusan substansi RUU TPKS perlu dikawal agar cakupan dan tujuan UU tersebut dapat terumuskan secara menyeluruh.
ALIF ICHWAN
Desakan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi tujuan utama untuk berdemo bagi sejumlah aktivis perempuan. Sejumlah aktivis perempuan menggelar aksi demo di di kawasan hari bebas kendaraan bermotor bundaran HI, Jakarta, Minggu (25/8/2019), pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Lindungi anak korban
Dukungan terhadap RUU TPKS juga disampaikan Indonesia Joining Forces (IJF), aliansi enam organisasi hak anak bersama-sama Aliansi PKTA, dan Jaringan AKSI. ”Pengesahan RUU ini menjadi milestone yang penting, tapi perjuangan untuk menghapus kekerasan seksual ini masih panjang,” ujar Ketua Eksekutif Komite IJF Dini Widiastuti, Rabu petang.
Ahmad Sofian, pengajar tetap Program Sarjana Ilmu Hukum Universitas Bina Nusantara, juga menyampaikan beberapa catatan bagi RUU TPKS dari segi hukum. Misalnya, perumusan RUU TPKS dinilai masih belum mampu memberikan perlindungan bagi anak korban kekerasan seksual karena perumusannya masih mencampurkan norma untuk orang dewasa dan anak-anak.
”Ketika menyusun pasal RUU TPKS, harus ada pemisahan antara hukum untuk anak-anak dan dewasa yang bisa dilakukan dengan pemilahan ayat,” paparnya.
Selain itu, terkait dengan alat bukti, anak-anak juga harus bisa diberi kekhususan dan tidak mengacu pada Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau pasal pembuktian RUU TPKS. Alasannya, anak-anak sering tidak bisa menyatakan, merasakan, melihat, dan menceritakan pelaku kekerasan seksual. Akibatnya, dalam sejumlah kasus, sering kali keterangan anak tidak bisa menjadi alat bukti.
”Dengan adanya pemilahan, proses hukum kekerasan seksual terhadap anak bisa naik ke proses pengadilan,” kata Sofian.
Margaretha Hanita, Tenaga Ahli Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) DKI Jakarta, menegaskan, ada enam tantangan perlindungan korban dan pelaku kekerasan seksual anak yang masih belum diakomodasi di dalam RUU TPKS. Sebagai contoh dalam Pasal 26 RUU TPKS, kewajiban melapor hanya diberikan kepada tenaga kesehatan. Padahal, harusnya keluarga, tenaga pendidik, masyarakat juga memiliki kewajiban yang sama.
”Selain itu, beberapa poin lain yang perlu diperhatikan adalah belum adanya poin aborsi dan pencegahan kehamilan bagi korban pemerkosaan dan terbatasnya rumah aman dinas sosial bagi korban. Dan yang paling penting, anak korban kekerasan seksual tidak mendapatkan rehabilitasi secara paripurna sehingga akhirnya menjadi pelaku kekerasan seksual. Hal-hal ini tentunya perlu menjadi pertimbangan juga,” tambah Margaretha.