Bersama Mengawal RUU TPKS
Korban kekerasan seksual terus berjatuhan. DPR dan pemerintah harus segera melanjutkan pembahasan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual agar secepatnya bisa disahkan menjadi UU.
JAKARTA, KOMPAS — Sepekan setelah Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau RUU TPKS ditetapkan sebagai RUU Inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat, pada Selasa (25/1/2022) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengundang sejumlah organisasi masyarakat sipil untuk menghimpun masukan dan catatan kritis terkait RUU ini.
Belajar dari kegagalan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang kandas di ujung periode DPR 2014-2019, sangat penting bagi pemerintah menggandeng organisasi masyarakat sipil untuk bersama-sama mengawal sejak awal proses legislasi RUU TPKS di DPR.
Meskipun DPR menyetujui RUU TPKS menjadi RUU Inisiatif DPR, tidak berarti kemudian proses pembahasan hingga pengesahan RUU TPKS akan berjalan mulus. Untuk sampai pada tahap penetapan sebagai RUU Inisiatif DPR pun, jalan berliku harus dilalui. Bahkan, beberapa kali sempat tertunda.
Belum lagi jika bicara tentang isi RUU TPKS. Organisasi masyarakat sipil, termasuk kalangan akademisi, lembaga keumatan, dan organisasi lainnya memberikan catatan kritis terhadap RUU TPKS karena menemukan sejumlah hal yang belum diakomodasi. Untuk itulah, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) membuka ruang partisipasi publik dengan menggandeng organisasi masyarakat sipil sejak awal proses RUU TPKS.
Baca Juga: Percepat Pembahasan RUU TPKS
Pada pertemuan yang dipandu Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Ratna Susianawati itu, hadir perwakilan Jaringan Masyarakat Sipil, Koalisi Perempuan Indonesia, Forum Pengada Layanan (FPL) bagi perempuan korban kekerasan, Jaringan Pembela RUU TPKS, Asosiasi Pusat Studi Wanita/Gender dan Anak Indonesia (ASWGI), Koalisi Nasional Disabilitas untuk Penghapusan Kekerasan Seksual terhadap RUU TPKS, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), CEDAW Working Group Indonesia, dan organisasi lainnya.
”Kami mengapresiasi langkah awal Kementerian PPPA yang melakukan dialog dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil. Peran pemerintah penting, terutama Kementerian PPPA, sebagai leading sector dalam pembahasan RUU TPKS ini,” ujar Ninik Rahayu, Koordinator Advokasi RUU TPKS, Maju Perempuan Indonesia (MPI).
Peran Kementerian PPPA dinilai sangat penting karena dari hasil diskusi sejumlah organisasi masyarakat sipil masih banyak hal dalam materi draf RUU TPKS yang dihasilkan di Badan Legislasi (Baleg) DPR yang perlu mendapat perhatian khusus. Catatan kritis meliputi konsideran, hukum materiil, hukum acara, hak korban, pemulihan korban, sistem pelayanan terpadu, hingga partisipasi masyarakat, sistem pengawasan, serta hal khusus untuk penyandang disabilitas dan anak.
Menteri PPPA Bintang Darmawati memastikan masukan tersebut akan menjadi bahan diskusi mendalam dalam proses penyempurnaan RUU TPKS.
Ratna Batara Munti dari Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual berharap Kementerian PPPA, terutama tim panitia kerja (Panja) RUU TPKS dari pemerintah, terus melibatkan masyarakat sipil dalam proses pembahasan RUU TPKS. Selain itu, Veni Siregar, Koordinator Seknas FPL, meminta pemerintah agar tetap mengajak media dalam mengawal proses RUU TPKS melalui publikasi kepada masyarakat.
Masukan bagi pemerintah
Yenny Rosa Damayanti, Ketua Perkumpulan Jiwa Sehat, berharap pemerintah hendaknya memastikan semua penyandang disabilitas diakui sebagai subyek hukum dalam UU TPKS. ”Penyandang disabilitas, terutama perempuan, itu lima sampai sepuluh kali lebih rentan terhadap kasus-kasus kekerasan seksual karena banyak hal dan undang-undang yang ada sekarang ini tidak cukup melindungi perempuan dengan disabilitas,” tutur Yenny.
Di samping itu, demi mewujudkan dan memastikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum terkait kekerasan seksual, aksesibilitas dan akomodasi yang layak juga harus masuk sebagai bab tersendiri dalam RUU TPKS.
Baca Juga: Sempurnakan Draf RUU TPKS
Damaira Pakpahan dariYayasan Perlindungan Insani Indonesia, yang bekerja untuk perlindungan para pembela hak asasi manusia (HAM), meminta Kementerian PPPA memastikan ada pasal dalam RUU TPKS yang mengatur perlindungan bagi para pendamping korban/penyintas yang adalah para perempuan pembela HAM. ”Jangan sampai kita diperkarakan pidana ataupun perdata. Maka, perlu diatur keamanan kita dalam kerja-kerja pendampingan dan advokasi korban,” ujarDamaira.
Sri Nurherwati, Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan Perempuan periode 2015-2019, mengingatkan, betapa penting mengakui keberadaan layanan berbasis masyarakat. ”Setidaknya unit layanan terpadu daerah juga mencakup layanan berbasis masyarakat. Sebab, faktaselama ini pendampingan korban kekerasan seksual lebih banyak dilakukan lembaga layanan berbasis masyarakat,” ujar Nurherwati.
Ernawati dari Suluh Perempuan berharap masukan organisasi masyarakat sipil dapat diterima menjadi bahan rujukan daftar invetarisasi masalah (DIM) pemerintah.Harapan yang sama juga disampaikan Vivi George dari Suara Parangpuang Sulawesi Utara yang menegaskan UU TPKS sudah mendesak. ”Indonesia berada dalam darurat kekerasan seksual, kasus kekerasan seksual terus meningkat, para korban mengalami trauma yang berkepanjangan,” kata Vivi.
Bintang Darmawati memastikan, masukan tersebut akan menjadi bahan diskusi mendalam dalam proses penyempurnaan RUU TPKS. Ia mengajak para aktivis, akademisi, pemimpin lembaga keumatan, serta semua pihak agar bersama-sama memperjuangkan RUU TPKS hingga menjadi UU yang bisa melindungi perempuan dan anak-anak di Tanah Air.
”Kami sangat terbuka mendengar masukan dalam penguatan RUU TPKS tentunya dari draf pemerintah,” kata Bintang yang saat berdialog sedang berkunjung ke Manado.
Bintang ke Manado untuk berziarah ke makam CT (10), warga Desa Senduk, Kabupaten Minahasa, yang merupakan korban kekerasan seksual yang meninggal pada Senin (24/1). CT meninggal di RSUP Kandou Malalayang, Manado, setelah menjalani perawatan intensif pascakekerasan seksual yang dialaminya pada Desember 2021.
Mengingat urgensi RUU TPKS, perwakilan organisasi masyarakat sipil meminta Kementerian PPPA segera mendorong keluarnya Surat Presiden (Surpres) pembahasan RUU TPKS di DPR agar pembahasan RUU TPKS bisa dipercepat.
Hingga awal pekan ini, langkah-langkah menuju pembahasan RUU TPKS di DPR belum terlihat.
Belum berlanjutnya proses legislasi RUU TPKS tersebut, menurut Wakil Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Nasdem Willy Aditya, Senin (24/1), kemungkinan karena Biro Pimpinan Kesekretariatan Jenderal DPR belum menandatangani hasil Rapat Paripurna DPR dan mengirimkannya ke pemerintah atau pemerintah yang memang belum tuntas merumuskan DIM RUU TPKS sehingga belum diserahkan ke DPR.
Sesuai tahapan legislasi, setelah RUU TPKS ditetapkan menjadi RUU inisiatif DPR, seharusnya pimpinan DPR segera mengirimkan surat pengantar ke Presiden Joko Widodo. Dalam surat itu, DPR meminta surpres beserta lampiran DIM sebagai bahan pembahasan RUU TPKS bersama pemerintah.
Oleh karena itu, mari kawal proses RUU TPKS agar prosesnya segera mengalami kemajuan dan tahapan pembahasan bisa segera dimulai.