Pembelajaran Tatap Muka Perlu Manajemen Risiko yang Baik
Rencana pembelajaran tatap muka perlu mempertimbangkan kondisi masing-masing daerah, seperti angka "positivity rate" Covid-19, kesiapan sekolah, kepatuhan semua pihak terhadap protokol kesehatan, hingga vaksinasi guru.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Memahami risiko pembelajaran tatap muka yang akan dilaksanakan pada Juli 2021 menjadi penting. Pemahaman itu mesti dilengkapi dengan manajemen risiko yang baik. Hal ini melibatkan pemerintah pusat dan daerah, sekolah, guru, orangtua, hingga anak didik.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti merekomendasikan agar wilayah dengan persentase kasus positif (positivity rate) Covid-19 di atas lima persen tidak mengadakan pembelajaran tatap muka (PTM). Ini sesuai angka kasus positif ideal yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Sementara itu, wilayah yang persentase kasus positifnya nol didorong melakukan PTM, khususnya daerah yang terkendala melaksanakan pembelajaran jarak jauh.
Kami minta agar pemda hati-hati membuka sekolah. Kami tidak sarankan sama sekali untuk membuka SLB (sekolah luar biasa), PAUD, maupun SD sampai positivity rate di bawah lima persen.(Retno Listyarti)
“Kami minta agar pemda hati-hati membuka sekolah. Kami tidak sarankan sama sekali untuk membuka SLB (sekolah luar biasa), PAUD, maupun SD sampai positivity rate di bawah lima persen,” ucap Retno pada diskusi daring, Senin (7/6/2021).
Masyarakat diminta mengacu pada positivity rate masing-masing daerah. Namun, tidak semua data terbuka buat publik. Kebaruan data pun masih kerap jadi kendala. Hal ini menyulitkan publik, khususnya orangtua, untuk memberi izin anaknya ikut PTM.
Koordinator relawan KawalCovid19 Elina Ciptadi mengatakan, publik dapat mengacu ke data kematian akibat Covid-19 di daerahnya. Persentase kematian di atas satu persen dinilai tinggi sehingga PTM berisiko.
“Kematian di atas tiga persen itu sudah luar biasa tinggi. Ada daerah-daerah di Indonesia yang angkanya di atas itu, namun masih termasuk zona kuning. Ini karena ada data yang tidak sinkron. Jadi, jangan andalkan zona warna karena bisa memberi rasa aman semu,” kata Elina.
Menurut Direktur Sekolah Menengah Pertama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Mulyatsyah, keputusan PTM merupakan tindak lanjut dari Surat Keputusan Bersama Empat Menteri (SKB). SKB yang ditandatangani Mendikbud Ristek, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri itu mewajibkan sekolah memberi opsi PTM.
Kemendikbud Ristek kemudian mengeluarkan panduan penyelenggaraan pembelajaran di masa pandemi. Panduan itu bisa disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah.
Di sisi lain, sekolah wajib mengisi daftar periksa dari Kemendikbud Ristek sebelum melakukan PTM. Pembagian jam belajar, pembatasan jumlah murid, hingga protokol kesehatan di sekolah perlu disiapkan. Adapun orangtua bertugas membangun kesadaran anak untuk patuh protokol kesehatan dan memberi izin mengikuti PTM.
“PTM tetap mengutamakan kesehatan dan keselamatan semua pihak. Ini butuh keterlibatan orangtua, guru, pemda, hingga pemerintah pusat,” kata Mulyatsyah.
Untuk memperkecil risiko Covid-19, vaksinasi untuk guru akan didorong. Hingga kini jumlah pendidik dan tenaga kependidikan yang sudah divaksinasi baru 28 persen. Ini setara 1,5 juta dari total 5,6 juta pendidik dan tenaga kependidikan.
“Vaksinasi masih berproses. Kami harap target guru divaksinasi selesai dalam lima bulan,” kata Mulyatsyah.
Di sisi lain, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) tidak merekomendasikan daerah melakukan PTM hanya dengan pertimbangan vaksinasi guru. Ini karena kekebalan kelompok belum terbentuk, khususnya di sekolah karena siswa belum divaksinasi.
Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo mendorong pemda melibatkan ahli penyakit menular dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) untuk mempertimbangkan PTM. Ia juga mendorong dinas pendidikan dan kesehatan setempat membuat nota kesepahaman untuk mendampingi sekolah saat PTM.
“Hati-hati jika mau selenggarakan PTM. Ini sangat tergantung pada persiapannya, baik persiapan fisik, psikis, dan administrasi. Anak, keluarga, satuan pendidikan, serta infrastruktur perlu disiapkan,” katanya.
Sebagai pembanding, pemerintah Singapura dinilai mampu melakukan manajemen risiko Covid-19 di lingkup pendidikan dengan baik. Guru Sekolah Indonesia di Singapura, Hari Prasetyo, mengatakan, sekolah di Singapura tidak ditutup total saat masa circuit breaker atau PSBB.
Sekolah terbuka hanya untuk melayani kelompok kecil siswa atau kelompok rentan, seperti yang kondisi rumahnya tidak memadai untuk belajar. Tercatat ada 4.000 siswa ke sekolah saat PSBB di 2020. Pembelajaran berlaku dengan protokol kesehatan.
Singapura berencana memperbanyak penerima vaksin. Sebanyak 50.000 guru dan staf sekolah telah divaksinasi. Kini vaksinasi anak usia 12-15 tahun sedang berjalan. Targetnya ada lebih dari 400.000 siswa.
“PTM di Singapura dilakukan dengan berbagai pencegahan dan manajemen risiko. Koordinasi antarinstansi dan pemangku kepentingan baik. Di sini pun ada penegakkan hukum di sini (terhadap pelanggar protokol kesehatan),” kata Hari.