Di Balik Urgensi Pendidikan Seksualitas
Mengarungi perubahan biologis tubuh diikuti dengan emosional tak mudah. Karena itu, anak dan remaja perlu mengakses pendidikan kesehatan reproduksi dan senantiasa berkomunikasi dengan guru ataupun orangtua.

Siswa berkumpul di sekolah untuk mengikuti kerja bakti membersihkan lingkungan sekolah dan kelas di SD Yayasan Penddikan Kristen Inam Jandurau, Distrik Kebar Timur, Tambrauw, Papua Barat, Sabtu (17/4/2021). Selain untuk menjaga kebersihan lingkungan sekolah yang berada di kawasan Lembah Kebar, kegiatan tersebut untuk mempersiapkan ruang kelas yang akan digunakan para siswa kelas VI mengikuti ujian sekolah.
Serial terkenal Sex Education di Netflix mendapat banyak pujian di dunia. Serial yang kini memasuki musim ketiga menggabungkan komedi remaja yang jujur serta penawaran gambaran utuh tentang siswa sekolah menengah menghadapi seksualitas dan dinamika persetujuan (consent).
Pada musim pertama, serial ini berpusat pada pengalaman Otis, remaja laki-laki berusia 16 tahun, dan ibunya, Jean, seorang terapis seks. Otis tumbuh di rumah yang berpura-pura positif terhadap seksualitas meskipun sebenarnya dia tidak nyaman membicarakan tentang seksualitas.
Apalagi hal itu dikaitkan dengan dirinya sendiri. Cerita dalam Sex Education kemudian membawa penonton menyaksikan bagaimana Otis mulai menawarkan nasihat kepada teman populer yang merasa tidak aman tentang ukuran penisnya. Nasihat itu terbukti manjur. Hingga akhirnya, bersama dengan Maeve, teman perempuannya, Otis membuka layanan konsultasi seksualitas, bersifat bisnis, dan diperuntukkan kepada teman-teman di sekolah.
The Guardian melalui artikel Sex Education: In Praise of The Raunchy Yet Heartfelt Netflix Comedy (2019) menilai, serial itu berhasil menggambarkan kaum muda yang berjuang untuk mengendalikan hormon mereka. Juga, realitas dunia yang sering kali tidak adil bagi remaja yang masih mengalami pertumbuhan emosional.
Karakter Maeve digambarkan sebagai remaja cerdas, tanpa dukungan orangtua, hamil, dan harus menggugurkan kandungannya. Sahabat Otis, Eric, dikisahkan sebagai remaja gay, lucu, dan cerdas, meski hubungannya dengan sang ayah dibayang-bayangi homofobia.

The Guardian, dalam epilog artikel itu, menuliskan, pada akhirnya, pendidikan seksualitas menjadi kurang menarik jika hanya berkutat pada seks. Inti serial Sex Education mengajak menemukan hal terpenting, yaitu komunikasi orangtua dan remaja, sahabat, serta generasi yang lebih tua ataupun lebih muda selama perjalanan tumbuh-kembang remaja itu.
Baca juga : Kesehatan Reproduksi Dipertaruhkan
Executive Director Yayasan Plan International Indonesia Dini Widiastuti, Sabtu (17/4/2021), di Jakarta, memandang, pendidikan seksualitas, khususnya di ranah formal/satuan pendidikan, belum ada perubahan signifikan. Pendidikan seksualitas cenderung disisipkan ke mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam ataupun Biologi.
Di tingkat internasional, tahun 2009, untuk pertama kali terbit International Technical Guidance on Sexuality Education. Sejak itu, selama satu dekade terakhir, komunitas global terus mengembangkan panduan pendidikan seksualitas komprehensif untuk membantu generasi muda paham hak atas pendidikan, kesehatan reproduksi, dan kesejahteraannya sehingga bisa mencapai pemahaman masyarakat yang inklusif dan setara jender.
Namun, masih banyak satuan pendidikan beserta guru menganggap pendidikan seksualitas itu tabu. Di antara mereka masih ada ketakutan bahwa mengajarkan pendidikan seksualitas berarti mempromosikan ”seks bebas”.
Akibatnya, kata Dini, remaja mencari tahu informasi mengenai seksualitas mulai dari bertanya kepada teman sebaya, generasi lebih tua, media massa, hingga internet. Bertanya kepada orangtua juga tidak mudah. Sebab, tidak jarang orangtua bersikap tertutup. Situasinya persis seperti digambarkan melalui serial fiksi Sex Education.
”Kita harus mengakui pentingnya pendidikan seksualitas bagi anak-anak dan remaja kita. Kita harus mengakui bahwa pendidikan seksualitas itu perlu. Kita mungkin bisa berbicara panjang mengenai pernikahan usia anak, tetapi kita tidak bisa terus-terusan membohongi diri kita bahwa seks bebas (di luar pernikahan) di kalangan anak ataupun remaja itu tidak ada,” kata Dini.

Pembuatan berbagai penampang tubuh dan organ dalam manusia berbahan serat kaca di kawasan Cinangka, Sawangan, Depok, Rabu (2/11). Alat peraga replika anatomi tubuh manusia ini untuk menunjang pelajaran Biologi dan akan dibagikan ke sejumlah sekolah dari tingkat SD-SMA di Serpong, Tangerang Selatan.
Sesuai daerah
Education Officer United Nations Children’s Fund Indonesia Country Office (UNICEF Indonesia) Anissa Elok Budiyani, secara terpisah, mengatakan, pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi yang komprehensif terbukti dapat meningkatkan keterampilan remaja dalam mengambil keputusan yang lebih didasarkan informasi serta meminimalkan perilaku berisiko, termasuk mencegah pernikahan usia anak, kekerasan seksual, dan penyakit menular seksual.
Di tingkat internasional, kurikulum pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi yang direkomendasikan oleh badan-badan PBB adalah International Technical Guidance for Sexuality Education (ITGSE). Selain satuan pendidikan formal, ITGSE bisa dipakai untuk ranah informal dan nonformal.
Dari segi topik, ITGSE terdiri dari hubungan; nilai, hak, kultur, dan seksualitas; pemahaman mengenai jender; kekerasan dan menjaga keamanan; menjaga kesehatan; tubuh manusia dan perkembangannya; seksualitas dan perilaku seksual; serta seks dan kesehatan reproduksi.
Selain pengetahuan, ITGSE amat menekankan keterampilan anak dan remaja mengidentifikasi batasan-batasan consent diri, memelihara kebersihan diri, dan menjalani masa pubertas.
Baca juga : Mengapa Pernikahan di Usia Anak Ditentang?
”Diskusi mengenai ’biologis’ sebenarnya hanya satu bagian saja. Dalam modul PKH, kami juga mencantumkan materi diskusi mengenai cinta. Ini penting bagi remaja untuk mengenali cinta sehat, cinta semu, cinta yang posesif, dan sebagainya,” ujarnya.
Diskusi mengenai ’biologis’ sebenarnya hanya satu bagian saja. Dalam modul PKH, kami juga mencantumkan materi diskusi mengenai cinta. Ini penting bagi remaja untuk mengenali cinta sehat, cinta semu, cinta yang posesif, dan sebagainya. (Anissa Elok Budiyani)
Senada dengan Dini, Annisa berpendapat, kurikulum yang lengkap dan bertahap sesuai usia seperti yang direkomendasikan oleh ITGSE mengharuskan guru berkompeten dari berbagai jenjang pendidikan dan bidang studi. Namun hingga kini, masyarakat masih sering menganggap tabu mendiskusikan pendidikan seksualitas dalam sistem pendidikan formal.

ITGSE merekomendasikan setiap negara untuk mengontekstualisasikan isinya, tidak diadopsi mentah-mentah. Sebab, padanan usia remaja itu juga konstruksi budaya. Misalnya, anak 13 tahun di kota dengan di desa mungkin memiliki kebutuhan berbeda.
Unicef dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bersama berbagai mitra lainnya telah memiliki modul Pendidikan Keterampilan Hidup atau PKH. Modul ini sudah dikembangkan dalam model digital untuk disampaikan kepada guru melalui wadah Guru Belajar dan Berbagi. Ada berbagai pertemuan dalam kurikulum PKH ini, yang bersentuhan dengan topik-topik pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi seperti rekomendasi ITGSE. Namun, porsinya masih terbatas.
Sisanya, modul membahas topik yang memang berkaitan dengan perkembangan anak zaman sekarang. Sebagai contoh, membentuk kepercayaan diri terhadap tubuh di tengah tren internet dan media sosial.
Baca juga : Pendidikan Kesehatan Reproduksi Cegah Kekerasan Seksual Remaja
Masa pandemi
Ketua Dewan Pengurus Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo, saat dihubungi Jumat (16/4/2021), di Jakarta, menceritakan, selama masa pandemi Covid-19, pihaknya berjumpa dengan guru-guru SMP Negeri 5 Lembang di Kabupaten Bandung Barat. Mereka bekerja sama dengan BKKBN menjelaskan mengenai kesehatan reproduksi. Ini dikarenakan mereka menangkap kecenderungan pernikahan usia anak di sekitar sekolah.
Contoh lain, SMP Negeri 2 Gondang di Sragen memasukkan kesehatan reproduksi sebagai bagian keterampilan hidup yang perlu dimiliki peserta didik. Mereka bekerja sama dengan Universitas Sebelas Maret (UNS). Selama pandemi Covid-19 berlangsung, sekolah berhasil meyakinkan seorang peserta didik untuk menunda pernikahannya.
”Di luar waktu pandemi Covid-19, kami pernah bertemu beberapa peserta didik SMP Negeri 2 Donorojo, Pacitan. Mereka diajari para guru untuk memahami bagaimana AIDS ditularkan. Ini bertujuan sebagai bagian dari pengetahuan kesehatan reproduksi mereka,” ujar Henny.
Dia sependapat bahwa pendidikan seksualitas perlu diajarkan sesuai usia ataupun perkembangan anak, sesuai rekomendasi global, seperti ITGSE. Selain guru di sekolah ataupun orangtua, anak pun belum semuanya nyaman membicarakan pendidikan seksualitas. Maka, keduanya harus dibiasakan dulu agar nyaman membahas pendidikan seksualitas.
”Anak mesti ditumbuhkan rasa percaya diri untuk membicarakan kegundahan ataupun keingintahuannya tentang perkembangan seksualitas pada orang dewasa terdekat mereka. Meyakinkan anak bahwa kelas atau rumah merupakan ruang nyaman yang harus terus diupayakan guru dan orangtua,” kata Henny.
Anak mesti ditumbuhkan rasa percaya diri untuk membicarakan kegundahan ataupun keingintahuannya tentang perkembangan seksualitas pada orang dewasa terdekat mereka. (Henny Supolo)
Pernikahan usia anak
Selain pendidikan seksualitas diyakini dapat mencegah pernikahan usia anak, apabila ada kasus terjadi, penanganan kepada anak tetap harus memperhatikan hak pendidikan mereka. Siswi hamil tetap merupakan potensi kekuatan bangsa. Memberikan kesempatan kepadanya untuk melanjutkan pendidikan di sekolah yang sama merupakan tantangan yang perlu dihadapinya.

Namun diakui, hal itu tidak mudah dijalankan siswi lantaran dia harus menghadapi proses kehamilan dan tuntutan bersekolah sekaligus. Maka, dukungan lingkungan agar siswi tersebut bisa menjalankannya dengan baik harus terpenuhi.
Baca juga : Temani Remaja Membina Hubungan
”Pemangku kebijakan pendidikan perlu tegas menyatakan sikap pernikahan usia anak. Dasar nilai yang harus dipegang adalah kemanusiaan. Setiap kehamilan peserta didik tidak boleh dijadikan alasan untuk menghentikan hak mendapatkan pendidikan seseorang,” imbuh Henny.
Sementara Dini memandang, satuan pendidikan formal harus berani. Kejadian yang biasanya terjadi, meski sudah ada pendidikan seksualitas, ketika ada kasus siswa hamil lalu menikah, sekolah langsung mengeluarkan. Alasannya, sekolah melindungi identitas dan dapat tekanan dari orangtua lain.
Sekolah asal tetap bisa mendukung hak pendidikan siswi bersangkutan. Misalnya, memfasilitasi mengakses sekolah lain ataupun satuan pendidikan kesetaraan.

Sejumlah siswa sekolah dasar berjalan kaki bersama saat pulang sekolah di Kampung Indabri Distrik Minyambouw, Pegunungan Arfak, Papua Barat, Selasa (13/3/2021). Meski saat ini Indonesia masih dilanda pandemi Covid-19, para pelajar tersebut tetap mengikuti kegiatan belajar di sekolah. Terbatasnya infrastruktur komunikasi, terutama tidak adanya jaringan internet, tidak memungkinkan untuk diselenggarakan pembelajaran jarak jauh secara daring.
Pelaksana Tugas Direktur SMA Kemdikbud Purwadi Sutanto saat dihubungi Jumat (16/4/2021) mengklaim, program pendidikan seksualitas di sekolah-sekolah sudah berjalan, di antaranya melalui mata pelajaran Biologi. Selain itu, Kemendikbud ataupun dinas pendidikan tidak jemu-jemu mengimbau agar sekolah tetap memperhatikan hak pendidikan peserta didik jika ketahuan mengalami kekerasan seksual, hamil di luar nikah, hingga menikah di usia anak.
”Kasus yang biasa terjadi, anak bersangkutan diminta orangtuanya keluar sekolah. Mungkin karena malu. Namun, kami para pemangku kebijakan pendidikan selalu mengimbau sekolah sampai satuan pendidikan kesetaraan menerima anak seperti itu. Kasus seperti itu tidak hanya terjadi selama pandemi Covid-19,” papar Purwadi.
Natalie Fiennes melalui buku Behind Closed Doors:Sex Education Transformed (2019) berpendapat, para pendukung pendidikan seksualitas di dunia memandang penting untuk memberdayakan kaum muda dengan fakta-fakta yang sesuai dengan usia mereka. Namun, upaya itu selalu ada kritik dan kekhawatiran bahwa pendidikan seksualitas merusak pikiran anak dan remaja yang polos.
Terlepas dari realitas itu, Fiennes mengingatkan bahwa pendidikan seksualitas, khususnya melalui ranah formal (sekolah), selalu erat dengan kepentingan kultural, sosial, dan bahkan politik. Misalnya, kasus HIV/AIDS, kepanikan terhadap kehamilan remaja tahun 1990-an, dan laki-laki gay.

Pemerintah Konservatif di Inggris pernah memperkenalkan Undang-Undang Pendidikan 1993, yang menyatakan bahwa semua sekolah negeri harus menyediakan semacam pendidikan seks sedemikian rupa untuk mendorong kaum muda memperhatikan moral dalam keluarga dan orangtua harus mendukung.
Terlepas ada tidaknya kepentingan kultural, sosial, dan politik, pendidikan seksualitas secara komprehensif diperlukan anak dan remaja. Mengarungi perubahan biologis tubuh diikuti dengan emosional memang tak mudah. Orangtua, guru, ataupun orang berusia lebih dewasa perlu selalu terbuka untuk berkomunikasi.