Perkawinan anak memicu berbagai persoalan kesehatan, terutama pada anak perempuan dan keturunannya. Namun, perkawinan anak terus terjadi, bahkan di masa pandemi.
Oleh
Tim Kompas
·5 menit baca
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA
LA (jilbab hitam, kiri) yang baru berusia 17 tahun ditemani ibunya NR (48) menidurkan anaknya AAC (8 bulan) di ayunan dari kain yang digantung pada berugak (saung) di tempat tinggal mereka di salah satu desa di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Jumat (16/4/2021) lalu. Dalam usianya saat ini, LA sudah tiga kali menikah dan dua kali bercerai. Pernikahan pertamanya saat ia berusia 14 tahun. Kasus perkawinan anak seperti LA, merupakan salah satu persoalan utama di Nusa Tenggara Barat.
JAKARTA, KOMPAS – Perkawinan anak bisa menghambat tumbuh kembang anak, terutama berisiko pada kesehatan reproduksi anak perempuan. Kehamilan pada seorang anak perempuan menimbulkan risiko tidak hanya pada anak tersebut, tapi juga terhadap keturunannya, bahkan sampai generasi berikutnya.
Dalam jangka panjang, tingginya kejadian perkawinan anak dapat mengancam kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Sebab, jumlah anak yang lahir dari ibu yang berusia anak, sangat berkaitan dengan tingginya angka stunting atau tengkes di Indonesia.
“Dampak dari kehamilan pada usia dini ini bisa sampai ke cucunya. Sebab, anak berusia 15 tahun masih belum dewasa, sehingga kualitas sel telurnya masih jelek. Artinya, anak yang nanti dilahirkan kurang berkualitas dan ini akan berlanjut sampai generasi berikutnya yang akan menjadi cucunya kelak. Dampaknya sangat panjang,” ujar Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo, Senin (19/4/2021).
Karena itu, perkawinan pada anak jangan hanya dimaknai sebatas pada pernikahan, melainkan juga pada hubungan seksual pertama kali yang dilakukan oleh anak. Sebab, dari hasil Survei Dasar Kesehatan Indonesia tahun 2017, sebanyak 59 persen remaja perempuan dan 74 persen remaja laki-laki di Indonesia melakukan hubungan seksual pertama kali pada usia 15-19 tahun.
Dampak dari kehamilan pada usia dini ini bisa sampai ke cucunya. Sebab, anak berusia 15 tahun belum dewasa, sehingga mutu sel telur masih jelek. Artinya, anak yang nanti dilahirkan kurang berkualitas.
“ Secara substansial yang harus lebih kita khawatirkan yaitu semakin rendahnya usia anak yang melakukan hubungan seks pertama kali. Dan bukti kerugian dari kondisi ini sudah di depan mata yakni tingginya kasus kanker mulut rahim yang pada hari ini nomor dua terbanyak setelah kanker payudara,” katanya.
Dalam jangka panjang, anak yang harus mengandung juga berisiko mengalami hentinya pertumbuhan tulang. Selain tidak bisa mencapai tinggi badan yang optimal, perempuan yang hamil pada usia anak juga tidak bisa mencapai puncak pemadatan tulang (peak bone mass) yang bisa menyebabkan terjadinya osteoporosis. “Ini terjadi karena kebutuhan nutrisi yang seharusnya diperlukan untuk mendukung pertumbuhan tersebut diambil oleh anak yang dikandungnya,” kata Hasto.
Perkawinan anak juga menimbulkan dampak psikologis. Selain kesejahteraan hidup yang lebih rendah, perempuan korban perkawinan anak juga rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga tinggi. Data menunjukkan 50 persen perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun lebih berisiko mengalami KDRT. Selain itu, tingkat depresi, kecemasan, serta memiliki pikiran untuk bunuh diri juga lebih tinggi.
Kompas/Heru Sri Kumoro
Mural berisi pesan untuk menghindari perkawinan usia dini serta lebih mengejar prestasi dan berkarya di Jalan Bekasi Timur Raya, Jakarta Utara, Kamis (20/2/2020).
"Perkawinan anak berdampak besar bagi anak maupun orangtua yang masih berumur anak," kata psikolog anak dan keluarga di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Anna Surti Ariani di Jakarta, Senin (19/4/2021).
Setelah lahir, proses tumbuh kembang anak juga berisiko terganggu karena ibu dan ayahnya tidak memiliki keterampilan yang cukup untuk bertindak sebagai orangtua. "Gizi, stimulus, hingga kebutuhan emosional anak rentan tidak tercukupi hingga perkembangan psikologis dan kecerdasan anak menjadi tidak optimal," katanya.
Turunkan AKI
Eugenius Phyowai Ganap dari Departemen Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, menegaskan kesehatan reproduksi menjadi penting untuk menjamin kesehatan perempuan dalam usia reproduksi sehingga mampu melahirkan anak yang sehat dan berkualitas, serta menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI).
Hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 menunjukkan AKI Indonesia masih tinggi yakni 305 per 100.000 kelahiran hidup. Untuk menurunkan AKI, dikenalkan konsep keluarga berencana terkait kehamilan dan melahirkan dengan mencegah “4 terlalu”, yakni tidak terlalu muda, tidak terlalu tua, tidak terlalu sering, dan tidak terlalu banyak.
Rentang usia untuk reproduksi sehat untuk hamil dan melahirkan adalah usia 20-35 tahun. Pada saat itu, orang secara fisik dan psikologis sudah matang. Sebaliknya, perempuan berusia kurang dari 20 tahun, secara fisik maupun psikologis belum matang. Organ reproduksi belum siap untuk hamil dan menyusui.
“Ada bagian pada serviks (leher rahim) yang belum menutup sempurna, yakni squamocolumnar junction. Bagian ini tidak boleh terpapar dari luar. Jika terkena penetrasi, akan meningkatkan risiko kanker serviks saat yang bersangkutan berusia lebih dari 35 tahun,” kata Phyowai.
Ketidaksiapan fisik berisiko meningkatkan masalah dalam kehamilan, misalnya terjadinya preeklampsia atau hipertensi dalam kehamilan. Selain itu juga perdarahan saat melahirkan. “Perdarahan, preeklampsia dan infeksi merupakan tiga besar penyebab angka kematian ibu,” ujar Phyowai.
Ketika terjadi perkawinan usia dini, anak atau remaja sering kali belum memiliki pengetahuan cukup terkait kesehatan. Saat hamil, yang bersangkutan belum tahu cara menjaga kesehatan kandungan, misalnya gizi yang optimal untuk perkembangan janin, juga suplemen yang diperlukan, sehingga mereka mengalami anemia dan kurang gizi.
Karena itu, pendidikan kesehatan reproduksi bisa dimulai dari pengenalan konsep secara sederhana di tingkat sekolah dasar mengenai organ tubuh, perbedaan laki-laki dan perempuan, orang lain tidak boleh memegang organ tubuh tertentu. Pengenalan lebih lanjut diberikan di tingkat sekolah yang lebih tinggi mengenai anatomi dan fungsi tubuh.
“Dengan demikian anak dan remaja memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk menjaga kesehatan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta kesadaran untuk tidak menikah muda,” Phyowai.
Untuk mencegah masalah kesehatan, kematian ibu dan bayi, serta pertumbuhan anak yang kurang sehat, diperlukan edukasi pada perempuan yang menikah muda untuk menjaga kesehatan organ reproduksi, mengurangi risiko masalah kehamilan dan kelahiran, juga makan makanan bergizi.
Assistant Representative UNFPA (Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa) Melania Hidayat dalam seminar daring pada 9 Maret 2021, mengatakan, mutu layanan kesehatan reproduksi belum optimal sehingga memicu tingginya Angka Kematian Ibu (AKI).
“Perempuan berhak mendapat akses layanan kesehatan reproduksi sebagai bagian hak asasi manusia. Perempuan berhak merencanakan kehamilan. Itu belum disadari masyarakat. Padahal, ketika seseorang tahu risiko kesehatan saat hamil ataupun menikah di usia dini, dirinya menyadari pentingnya hamil di usia tepat,” tuturnya. (ATIKA WALUJANI MOEDJIONO/DEONISIA ARLINTA/M ZAID WAHYUDI/SONYA HELLEN SINOMBOR)