Revisi UU Perkawinan Belum Berdampak, Perkawinan Anak Tak Tertahan
Kasus perkawinan anak di Indonesia masih terus terjadi. Permintaan dispensasi di Pengadilan Agama juga masih tinggi.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menaikkan usia minimal perkawinan anak dari 16 tahun ke 19 tahun tidak otomatis menurunkan angka perkawinan anak di Tanah Air. Sebaliknya, perkawinan di bawah 19 tahun terus berlangsung, bahkan permintaan dispensasi di pengadilan agama juga masih tinggi.
Karena itu, selain percepat peraturan pelaksana, sosialisasi yang masif tentang revisi UU tersebut harus dilakukan pemerintah dengan melibatkan sejumlah pemangku kebijakan.
Hal ini mengemuka dalam ”Workshop Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan”, Kamis (12/3/2020), di Surabaya, Jawa Timur, yang diselenggarakan Yayasan Kesehatan Perempuan bekerja sama dengan Oxfam dan Creating Spaces.
”Jadi, sebenarnya ketika UU diperbarui dari 16 tahun menjadi 19 tahun, justru perkawinan anak bukan turun, melainkan malah naik. Justru kecenderungannya naik. Ini bisa dicek di pengadilan agama,” ujar Roy Tjiong, konsultan dan pemerhati kesehatan.
Kendati permintaan dispensasi meningkat, Roy mengungkapkan, dari sisi skala angka sebenarnya kecil. ”Yang menikah tanpa dispensasi atau menikah siri lebih banyak. Itu yang banyak sekali. Jadi, kita jangan berpuas diri dengan laporan perkawinan anak karena itu sebenarnya hanyalah puncak gunung es,” papar Roy.
Selain Roy, tampil sebagai pembicara Budi Lestari (Kepala Bidang P3A Dinas Sosial P3A Kabupaten Ponorogo) dan Dian Ika Sukmawati (Gerakan Peduli Perempuan Bojonegoro) yang memaparkan situasi dan kondisi pencegahan perkawinan anak di daerah masing-masing.
Perlu pengaturan lanjut
Kepala Bidang Lingkungan Ramah Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Thomas Rizal SP dalam sambutannya menyatakan, dari segi kebijakan, pada 2019 Indonesia telah mencapai kemajuan yang sangat berarti. Itu karena pasca-disahkannya UU No 16/2019 tentang Perubahan atas UU 1/1974 tentang Perkawinan, maka terjadi perubahan usia minimum perkawinan menjadi 19 tahun, baik laki-laki maupun perempuan.
Perubahan tersebut mengakomodasi prinsip kesetaraan jender dan juga merupakan bentuk afirmasi yang progresif.
Tidak hanya perubahan UU Perkawinan, juga lahir sejumlah instrumen atau aturan pendukung, yakni Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin dan saat ini peraturan pelaksana perma tersebut dalam proses.
”Walaupun demikian, selanjutnya masih diperlukan pengaturan lebih lanjut berupa PP tentang Pelaksanaan UU Perkawinan yang saat ini sedang disiapkan oleh Kementerian PPPA,” ujar Thomas.
Tiga tantangan
Thomas mengakui, ada sejumlah tantangan yang dihadapi dalam pencegahan perkawinan anak.
Perkawinan anak merupakan tantangan sosial yang kompleks, yang perlu diselesaikan dari berbagai segi.
”Salah satu tantangan terbesar dalam pertarungan anak adalah karena perkawinan anak sangat terkait dengan tradisi, budaya, dan masalah ekonomi,” ujarnya.
Menghadapi kondisi tersebut, menurut Thomas, sinergi bersama sejumlah pihak menjadi kunci dalam percepatan pencegahan praktik-praktik perkawinan anak.
Dibutuhkan peran serta dari empat pilar pembangunan, yaitu lembaga masyarakat, dunia usaha, serta media dalam sinergi bersama-sama mengeluarkan praktik perkawinan pada usia anak.
Pada Februari lalu, Bappenas bersama BPS, Kementerian PPPA, dan sejumlah lembaga meluncurkan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak.