Menghentikan perkawinan anak harus sampai ke akar persoalan, yaitu pemahaman tafsir agama, adat, dan masalah struktural seperti kemiskinan. Pemerintah perlu bekerja lebih keras lagi menghentikan perkawinan anak.
Perkawinan anak tidak hanya berdampak negatif bagi anak dan keluarga, tetapi juga pada negara. Angka anak putus sekolah serta anak tengkes berisiko meningkat sehingga menghambat kemajuan bangsa.
Kampanye menolak perkawinan anak dilakukan dengan banyak cara. Kalangan remaja di Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara, memakai teater dan lenong sebagai sarana menekan pernikahan anak.
Promosi Aisha Weddings dengan menganjurkan perkawinan anak, selain melanggar hukum, juga kontraproduktif dengan upaya pemerintah dalam melindungi dan mencegah anak menjadi korban kekerasan dan eksploitasi.
Kepolisian diminta mengusut tuntas penyebaran informasi dalam bentuk pamflet ataupun secara daring yang meresahkan masyarakat. Pamflet itu berisi ajakan untuk menikah pada usia 12-21 tahun dan tidak lebih.
Perkawinan anak di Indonesia yang terus meningkat meski di masa pandemi harus menjadi alarm bagi semua pihak. Untuk bersama-sama mencegah dan menghentikannya, maka semua harus bergerak.
Pandemi Covid-19 memicu lonjakan kasus perkawinan usia anak di Provinsi Lampung.
Kemiskinan akibat pandemi Covid-19 membuat anak perempuan dihadapkan pada posisi untuk menikah dini guna mengatasi problem keuangan keluarga.
Perempuan di desa memiliki berbagai kekuatan dan potensi, tetapi berbagai ancaman kekerasan terus membayangi perempuan dan anak perempuan. Program pemerintah untuk perlindungan perempuan harus terus digencarkan.
Diperkirakan sejumlah 3.000 anak perempuan usia 10-14 tahun sudah melahirkan pada 2015. Kondisi ini bisa memperberat upaya pembangunan ekonomi maupun pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).