Pandemi Perburuk Situasi Perkawinan Anak
Situasi pandemi Covid-19 menambah kerentanan terhadap praktik perkawinan anak. Selain regulasi, perlu upaya masif dan kolaborasi semua pihak untuk mencegah perkawinan anak di berbagai daerah.
JAKARTA, KOMPAS – Penghapusan perkawinan anak yang disuarakan semenjak Kongres Perempuan Indonesia pertama tahun 1928 hingga kini belum terwujud. Kendati melanggar hak anak dan menghancurkan masa depan anak, praktik perkawinan anak di masyarakat belum mendapat perhatian serius.
Bahkan di masa pandemi Covid-19 pun perkawinan anak tetap berlangsung. Perkawinan anak terjadi baik melalui dispensasi kawin di Pengadilan Agama/Pengadilan Negeri, maupun di bawah tangan (nikah siri) atau nikah adat.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendapat laporan sepanjang masa pandemi (2020-2021) sejumlah anak dari keluarga miskin yang duduk di bangku sekolah menengah pertama dan atas, putus sekolah karena menikah. Selain faktor ekonomi (kemiskinan keluarga), perkawinan anak terjadi karena sejumlah faktor seperti budaya, agama, dan pengaruh pergaulan bebas.
“ Pada tahun 2020 ada 119 anak putus sekolah karena menikah. Tahun 2021 ada 33 kasus anak putus sekolah, karena menikah. Mayoritas disebabkan karena faktor ekonomi atau kemiskinan. Misalnya tak punya gawai dan kuota, akibatnya tidak sekolah lagi semasa pandemi. Karena menganggur akhirnya memilih menikah atau dinikahkan,” ujar Retno Listyarti, Anggota KPAI Bidang Pendidikan, Sabtu (17/4/2021).
Baca juga Perkawinan Anak, Potret Buram di Masa Pandemi
Persoalan perkawinan anak di Indonesia menjadi sorotan dunia. Badan Pusat Statistik, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, UNICEF, dan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia dalam laporan “Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda” yang diluncurkan tahun 2020, menyebutkan pada tahun 2018, Indonesia berada dalam daftar 10 negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia.
Dalam laporan tersebut disebutkan, satu dari 9 anak perempuan menikah di Indonesia. Perempuan berumur 20-24 tahun yang menikah sebelum berusia 18 tahun di tahun 2018 diperkirakan mencapai sekitar 1.220.900 orang.
Dari sisi angka, survei Badan Pusat Statistik menunjukkan perkawinan anak menurun, tapi trennya diperkirakan meningkat di masa pandemi, menyusul persoalan ekonomi yang dihadapi masyarakat termasuk keluarga-keluarga yang tinggal di wilayah bencana.
Data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung, sepanjang tahun 2020 jumlah permohonan dispensasi kawin yang masuk di pengadilan agama di seluruh mencapai 64.000 permohonan. Angka ini naik dibandingkan tahun 2019 sebanyak 24.865 permohonan.
Pemerintah dalam beberapa tahun terakhir mengeluarkan berbagai regulasi dan kebijakan, termasuk kampanye stop perkawinan anak gencar dilakukan. Meskipun dari sisi angka, perkawinan anak menurun, namun praktik perkawinan anak tidak berhenti. Pencegahan perkawinan anak masih menghadapi sejumlah tantangan di lapangan, selain karena faktor ekonomi, budaya, agama, termasuk cara pandang masyarakat terhadap perkawinan anak.
Karena itu, upaya pencegahan perlu dilakukan secara masif serta melibatkan semua pihak, apalagi belakangan juga muncul promosi terselubung terkait perkawinan anak secara daring yang dilakukan sejumlah pihak. Perkawinan anak juga disinyalir rentan terhadap perdagangan orang.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati menegaskan perkawinan anak merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan dan pelanggaran hak anak. Karena hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia (HAM), maka perkawinan anak juga bentuk pelanggaran HAM.
“Anak yang dipaksa menikah atau karena kondisi tertentu harus menikah di bawah usia 19 tahun akan memiliki kerentanan yang lebih besar. Selain pendidikan terhenti, pengaruhnya besar pada kesehatan reproduksi, juga rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga, dan hidup dalam lingkaran kemiskinan,” ujar Bintang Darmawati.
Anak yang dipaksa menikah atau karena kondisi tertentu harus menikah di bawah usia 19 tahun akan memiliki kerentanan yang lebih besar.
Dampak perkawinan anak tidak hanya akan dialami oleh anak, terutama anak perempuan yang dinikahkan, tetapi juga akan berdampak buruk pada anak yang dilahirkan (kurang gizi dan tengkes). Dalam jangka panjang perkawinan anak juga berdampak pada keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, serta generasi selanjutnya.
Dispensasi perkawinan
Seiring terjadinya pandemi dan pasca diterbitkannya Undang-Undang (UU) No.16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, permohonan dispensasi kawin di pengadilan meningkat. Sebelumnya, batas usia perkawinan perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun, namun UU 16/2019, batas umur laki-laki dan perempuan untuk menikah menjadi sama yakni usia 19 tahun.
Data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung, sepanjang tahun 2020 jumlah permohonan dispensasi kawin yang masuk di pengadilan agama di seluruh mencapai 64.000 permohonan. Angka ini naik dibandingkan tahun 2019 sebanyak 24.865 permohonan.
Di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), misalnya permohonan dispensasi kawin di pengadilan agama meningkat tajam sejak tahun 2020. Data yang diperoleh Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB dari Kantor Wilayah Kementerian Agama NTB pada tahun 2019 tercatat 332 dispensasi kawin. Namun pada 2020 jumlahnya meningkat dispensasi kawin mencapai 805 permohonan.
Pasangan yang menikah sebagian besar tercatat masih berstatus pelajar. Misalnya, di Kabupaten Lombok Timur, data yang dihimpun Kompas, di salah satu sekolah menengah pertama (SMP), pada tahun 2020 terdapat lima siswanya menikah, serta tujuh pelajar madrasah tsanawiyah (MTs) dan madrasah Aliyah (MA) juga menikah.
“Di Kecamatan Jerowaru, sepanjang 2018 sampai 2019, perkawinan anak sempat turun ke 14 kasus dari periode 2016-2017 sebanyak 44 kasus. Itu berkat berbagai upaya mulai dari sosialisasi hingga hadirnya peraturan desa. Tetapi tahun 2020 hingga sekarang naik lagi menjadi 33 kasus,” kata Ahmad Zahidun, Ketua Forum Pemerhati Perempuan dan Anak Desa Pandan Wangi, Jerowaru, Lombok Timur, Kamis (15/4/2021).
Zahidun, Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB Sukron mengatakan, pandemi memang tidak menjadi faktor utama. Namun menjadi salah satu faktor yang turut berkontribusi terhadap kerentanan perkawinan anak di NTB. “Saat tidak ada pandemi, setengah hari siswa tetap terkontrol, karena di sekolah dengan lingkungan yang positif sehingga tidak berpikir macam-macam. Begitu juga di rumah,” kata Sukron.
Namun, ketika kegiatan belajar berlangsung dari rumah, kontrol sekolah tidak penuh. Kecuali terkait belajar siswa. Orang tua pun demikian. Termasuk pada pergaulan anak, hingga akses mereka terhadap gawai. Terbukti, dari beberapa kasus yang mencuat, mereka berkenalan lewat gawai, media sosial, hingga kemudian menikah. Di sisi lain, pola asuh keluarga, hingga kontrol masyarakat yang lemah, ikut membuka ruang bagi terjadinya pernikahan anak di NTB.
Tren meningkatnya permohonan dispenasi kawin juga terjadi di wilayah Jawa Timur. Humas Pengadilan Agama Banyuwangi Mohammad Aries menyebutkan pada tahun 2020 terdapat 980 perkara dispensasi kawin yang diputus di pengadilan. “Apabila dibandingkan dengan tahun ini, kami melihat ada tren peningkatan perkara dalam tiga bulan awal tahun ini,” ujar Aries.
Namun, apa penyebab munculnya tren peningkatan dispensasi kawin tersebut, belum dipastikan. Hanya saja, peningkatan pengajuan dispensasi kawin terjadi sejak terbitnya UU 16/2019. “Saat dispensasi kawin diterapkan untuk perempuan umur 16 tahun ke bawah saja jumlah pengajuannya sudah sangat banyak. Apalagi saat batasan nikah ditingkatkan menjadi 19 tahun. Jumlahnya tambah banyak lagi,” ungkapnya.
Hal serupa terjadi di Pengadilan Agama Jember, yang pada tahun 2020 jumlahnya dispensasi kawin yang diputus meningkat drastis menjadi 1.442 perkara. Sebelumnya sejak 2017 hingga 2019, rata-rata hanya 100 hingga 330 perkara yang diputus per tahunnya. Hampir semua pengajuan dispensasi yang masuk ke Pengadilan Agama Banyuwangi dikabulkan.
“Hampir sebagian besar yang mengajukan dispensasi sudah kumpul tanpa ikatan, sudah pernah berhubungan badan, bahkan sudah ada yang hamil. Kalau dibiarkan, kami justru kasihan dengan status pemohon. Apalagi bila sudah sampai memiliki anak,” kata Aries.
Ada yang tidak tercatat
Ketua Pusat Studi Gender Universitas Jember, Linda Dwi Eriyanti menilai angka perkara dispensasi kawin tidak menggambarkan sepenuhnya angka pernikahan anak. Ia menengarai banyak pernikahan anak yang tidak tercatat dan dimohonkan disepensasinya. “Tidak sedikit warga Jember, yang menilai bahwa pernikahan sah itu cukup dengan dinikahkan wali dan sah secara agama. Prosedur dispensasi di pengadilan agama itu nomor sekian,” kata Linda.
Di Kalimantan Selatan, permohonan dispensasi kawin di pengadilan agama juga meningkat. Di Pengadilan Agama Martapura misalnya, perkara dispensasi kawin meningkat dari 98 perkara pada 2019 jadi 229 perkara pada 2020 .
Kepala Dinas PPPA Kalsel Husnul Hatimah mengakui bahwa perkawinan anak di Kalsel masih tinggi. ”Pada 2017 dan 2019, tingkat perkawinan anak di Kalsel menempati urutan pertama di Indonesia,” ujarnya.
Baca juga Revisi UU Perkawinan Belum Berdampak, Perkawinan Anak Tak Tertahan
Selain karena faktor ekonomi, perkawinan anak dipengaruhi oleh faktor budaya dan cara pandang masyarakat. ”Sebelum bulan puasa ini, keponakan saya laki-laki menikah dengan perempuan yang baru lulus SMP. Mereka tidak bisa menikah di Kantor Urusan Agama karena yang perempuan masih belum cukup umur. Akhirnya mereka menikah di bawah tangan atau nikah siri,” ujar Fakhrurazi (40), warga Desa Manarap Tengah, Kecamatan Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar.
Pasangan G (22) dan N (15) sering bertemu dan mengaku suka sama suka. Keluarga kemudian menikahkan mereka, karena khawatir kalau mereka berbuat hal-hal di luar batas kewajaran menurut ajaran agama.”Kalau di daerah kami, perempuan menikah muda itu biasa dan cukup banyak malahan,” ujar Fakhrurazi.
Direktur Institut KAPAL Perempuan Misiyah menilai problem perkawinan anak di masa pandemi bertambah pelik, selain disebabkan oleh cara hidup yang bias gender sebagaimana terjadi sebelum pandemik, diperkuat juga dengan beberapa situasi yang berubah.
“Dalam kerja jaringan KAPAL Perempuan ditemukan alasan terkait dengan pendidikan jarak jauh, pembatasan sosial, dan kemiskinan. Ada kasus yang menyatakan kebosanan karena tidak ada sekolah tatap muka dan tidak ada guru yang mengecek meskipun tidak masuk sekolah. Ada pula yang menggunakan alasan merasa kesepian akibat pembatasan sosial sehingga memutuskan menikah supaya mempunyai teman hidup di rumah,” papar Misiyah.
Kendati demikian, ada juga yang menganggap beratnya kondisi ekonomi di masa pandemi akan dapat diselesaikan dengan menikah agar menjadi tanggungan suami. Di samping itu, peristiwa tragis memilukan juga terjadi, perkawinan anak yang disebabkan akibat perkosaan. Ini terjadi di Lombok Timur.
Lima implikasi
Implikasi perkawinan anak menjadi sangat kompleks. Setidaknya ada lima tantangan nyata terhadap kelangsungan generasi bangsa. Pertama, berpotensi kegagalan melanjutkan pendidikan. Perempuan yang menikah di bawah 18 tahun memiliki peluang empat kali lebih kecil untuk menyelesaikan pendidikan lebih tinggi dari SMA. Kedua, berpotensi meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian.
Ketiga, perkawinan anak juga berpotensi meningkatnya angka kematian ibu. Komplikasi saat kehamilan dan melahirkan merupakan penyebab kematian terbesar kedua bagi anak perempuan berusia 15-19 tahun, serta rentan mengalami kerusakan organ reproduksi. Keempat, berpotensi meningkatnya kematian bayi. Sebab bayi yang lahir dari ibu berusia di bawah 20 tahun berpeluang meninggal sebelum usia 28 hari atau 1,5 kali lebih besar dibanding jika dilahirkan oleh ibu berusia 20-30 tahun.
Kelima, berpotensi kerugian ekonomi. Perkawinan anak diperkirakan menyebabkan kerugian ekonomi setidaknya 1,7 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB). Artinya, perkawinan anak berpotensi merugikan pembangunan sumber daya manusia di masa depan.
Baca juga Perlu Kolaborasi untuk Memutus Rantai Perkawinan Anak
Kendati dipengaruhi oleh berbagai faktor, menurut Bintang, persoalan ekonomi merupakan salah satu penyebab perkawinan anak. Di kalangan masyarakat, masih terdapat paradigma atau anggapan yang salah, bahwa dengan dinikahkan cepat, anak perempuan akan meringankan beban orang tua. Padahal, kehidupan perkawinan yang tidak didasari dengan kesiapan akan sangat rentan memunculkan permasalahan-permasalahan baru.
“Itulah sebabnya mengapa kita merevisi UU Nomor 1 Tahun 1974 menjadi UU Nomor 16 Tahun 2019. Perubahan usia minimum perkawinan tidak hanya ditingkatkan bagi perempuan, tapi juga mengakomodasi prinsip kesetaraan gender dan bentuk afirmasi progresif, yaitu menjadi 19 tahun, bagi laki-laki maupun perempuan,” tegas Bintang. (ZAK/IKI/GER/JUM/MEL/RTG/SON/MED)