Perkawinan anak di Indonesia yang terus meningkat meski di masa pandemi harus menjadi alarm bagi semua pihak. Untuk bersama-sama mencegah dan menghentikannya, maka semua harus bergerak.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Fenomena perkawinan anak di Indonesia, terutama di masa pandemi Covid-19, perlu mendapat perhatian khusus semua pihak, terutama pemerintah di desa-desa yang menjadi garda terdepan pemerintah. Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah dan multipihak dalam beberapa tahun terakhir ternyata tidak cukup mengerem laju perkawinan anak.
Bahkan, saat pandemi Covid-19 pun, perkawinan anak berlangsung. Sepanjang 2020, kabar perkawinan anak di sejumlah daerah tak kunjung berhenti.
Bahkan, awal Oktober 2020, media sosial diramaikan dengan kabar pernikahan AR (18), seorang siswa sekolah menengah kejuruan (SMK) di Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, yang menikahi dua perempuan yang juga masih anak-anak, yakni R (16) dan F (16).
Ironisnya, perkawinan anak-anak itu terjadi dalam rentang waktu yang tidak jauh. Awalnya, AR menikahi F. Tidak sampai sebulan, dia kemudian menikahi R yang diketahui telah mengandung. Kedua perempuan remaja tersebut masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Anak menikahi anak. Lalu, anak akan melahirkan anak. Fenomena ini menjadi potret buram tahun 2020, terutama selama masa pandemi Covid-19. Pandemi yang memaksa masyarakat atau keluarga tinggal di rumah, siswa belajar dari rumah, dan orangtua kerja dari rumah, justru memicu peningkatan kasus perkawinan anak.
Hingga di pengujung 2020, angka kasus perkawinan anak di sejumlah daerah meningkat. Jawa Timur, misalnya. Awal November 2020, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan Jawa Timur (DP3AK Jatim) Andriyanto mengungkapkan, berdasarkan data Pengadilan Agama Jawa Timur, pada 2020 terdapat 6.084 kasus perkawinan anak. Sebelumnya, pada 2019 terdapat 5.127 kasus dan 2018 sebanyak 4.324 kasus.
Memburuknya situasi perekonomian keluarga di masa pandemi juga memaksa para orangtua di wilayah pelosok, terutama di daerah yang pernah terjadi bencana, untuk menikahkan anak-anaknya. Di Sulawesi Tengah, Palu, dan sekitarnya, yang selama ini sudah tinggi angka perkawinan anak, pada saat pandemi Covid-19 perkawinan anak marak. Sebagian besar menikah tidak melalui dispensasi pengadilan.
Pekerjaan rumah
Maraknya perkawinan anak menjadi tantangan dan pekerjaan rumah bagi Indonesia. Sebab, dalam beberapa tahun terakhir, berbagai upaya dan langkah telah dilakukan oleh pemerintah dan multipihak, termasuk organisasi masyarakat sipil dan organisasi akar rumput.
Sejumlah regulasi terus diperkuat demi mencegah perkawinan anak. Misalnya, hadirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang mengubah usia minimum menikah bagi perempuan menjadi sama dengan laki-laki, yaitu 19 tahun.
Bahkan, untuk mempercepat upaya pencegahan perkawinan anak, awal Februari 2020, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) bersama pemangku kepentingan menyusun serta meluncurkan dokumen Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) dan Laporan Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda.
Stranas tersebut berisi lima strategi menurunkan prevalensi perkawinan anak. Pertama, optimalisasi kapasitas anak untuk memastikan anak memiliki resiliensi dan mampu menjadi agen perubahan. Kedua, lingkungan yang mendukung pencegahan perkawinan anak untuk membangun nilai, norma, dan cara pandang yang mencegah perkawinan anak. Ketiga, aksesibilitas dan perluasan layanan untuk menjamin anak mendapat layanan dasar komprehensif untuk kesejahteraan anak terkait pemenuhan hak dan perlindungan anak.
Keempat, penguatan regulasi dan kelembagaan untuk menjamin pelaksanaan dan penegakan regulasi terkait pencegahan perkawinan anak serta meningkatkan kapasitas dan optimalisasi tata kelola kelembagaan. Kelima, penguatan koordinasi pemangku kepentingan untuk meningkatkan sinergi dan konvergensi upaya pencegahan perkawinan anak
Harapannya, dengan Stranas PPA tersebut, dampak buruk perkawinan anak pada kelangsungan generasi bangsa dan kualitas sumber daya manusia ke depan bisa dihindari.
Di tingkat daerah, perubahan UU Perkawinan juga terus mendorong sejumlah pemerintah daerah untuk bergerak mencegah perkawinan anak dengan melahirkan peraturan daerah hingga ke peraturan tingkat desa.
Namun, kenyataannya, hingga setahun berlalu pasca-perubahan UU Perkawinan, praktik perkawinan anak terus saja terjadi. Berbagai upaya yang dilakukan di tingkat pusat seakan-akan tidak sampai ke tingkat bawah. Karena itu, upaya yang dilakukan harus lebih masif, terutama edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat di tingkat paling bawah, terutama pada anak-anak tentang bahaya dari perkawinan anak.
Pemerintah desa garda terdepan
Peran pemerintah di tingkat paling bawah, yakni pemerintah desa, menjadi sangat penting. Untuk penguatan kapasitas pemerintah desa, termasuk pemimpin perempuan komunitas terkait pencegahan perkawinan anak, Institut Kapal Perempuan hingga kini terus melakukan penguatan kapasitas terhadap sejumlah kepala desa dan pemimpin perempuan. Misalnya, dengan menggelar pelatihan ”Penyusunan Peraturan Desa tentang Pencegahan dan Penghentian Perkawinan anak” pada 16-17 Desember 2020.
Pelatihan tersebut dinilai penting untuk memperkuat kemampuan dalam memahami kebijakan-kebijakan pusat dan daerah yang mendukung upaya penghentian perkawinan usia anak. Deputi Tumbuh Kembang Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Lenny N Rosalin menilai, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjadi peluang dalam pencegahan perkawinan anak.
Menjadi peluang karena adanya wewenang penuh bagi pemerintah desa di bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, serta pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan adat istiadat desa.
Jika kapasitas pemerintah desa ditingkatkan, harapannya, upaya pencegahan perkawinan anak akan dilakukan langsung di tingkat akar rumput. Sebab, pemerintah desalah yang berada di garda terdepan pencegahan perkawinan anak.