Kesiapan di Sekolah Berbeda-beda, Matangkan Pengawasan Protokol Kesehatan
Pembukaan kembali pembelajaran tatap muka di sekolah butuh pengawasan terpadu lintas kementerian/lembaga serta pemerintah pusat-daerah. Tujuannya agar protokol kesehatan tetap dipatuhi.
JAKARTA, KOMPAS — Kesiapan sarana prasarana protokol kesehatan di setiap satuan pendidikan atau sekolah di setiap daerah berbeda-beda. Dari sisi kesiapan sumber daya dan metode pembelajaran sekolah pun berlainan. Realitas seperti itu perlu menjadi pertimbangan pemerintah agar dilakukan pengawasan dalam pembukaan kembali sekolah pada awal Januari 2021.
Sebelumnya, pemerintah mengeluarkan Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Semester Genap Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Covid-19, Jumat (20/11/2020). Panduan ini tertuang dalam surat keputusan bersama (SKB) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri.
Inti utama panduan itu adalah pembelajaran tatap muka dapat dilakukan dengan dimulai dari pemberian izin oleh pemerintah daerah/kantor wilayah/kantor Kementerian Agama, yang kemudian dilanjutkan dengan izin berjenjang dari satuan pendidikan dan orangtua.
Peta zonasi penyebaran Covid-19 yang dalam dua SKB empat menteri sebelumnya menjadi acuan pembukaan pembelajaran tatap muka di sekolah tidak lagi berlaku. Kini pemerintah daerah diberi kewenangan dalam pemberian izin pembelajaran tatap muka. Ini karena pemda dianggap paling mengetahui dan memahami kondisi, kebutuhan, dan kapasitas daerahnya. Kebijakan tersebut berlaku mulai 1 Januari 2021.
Baca juga : Pembukaan Sekolah Tak Perlu Tergesa-gesa
Kepala SMP Regina Pacis Surakarta MM Wahyu Utami saat dihubungi, Sabtu (21/11/2020), dari Jakarta mengatakan, setelah pengumuman SKB empat menteri terbaru, dinas pendidikan menginstruksikan melalui grup Whatsapp ke semua kepala sekolah untuk menyiapkan sarana prasarana protokol kesehatan sesuai daftar periksa. Sekolah tinggal mengikutinya.
Sekolah yang dipimpinnya hingga kini masih mendata kondisi komorbid atau penyakit penyerta pada siswa atau guru, mengatur ruang kelas, video sosialisasi protokol kesehatan saat belajar di kelas, membuat angket persetujuan orangtua, dan menyebar info pembukaan kembali sekolah.
”Kami telah memiliki daftar periksa protokol kesehatan yang harus dipenuhi warga sekolah sejak awal tahun ajaran 2020/2021. Model pembelajaran kami pun telah mengadopsi integrated learning yang berbasis proyek sejauh ini. Model ini akan tetap digunakan meskipun suatu hari nanti ada siswa masuk dan tidak masuk sekolah sesuai persetujuan orangtua,” ujar Wahyu.
Kendati persiapan sarana prasarana protokol kesehatan matang sampai model pembelajaran telah disesuaikan, dia bersama para guru tetap khawatir. Keresahan utama mereka adalah kedisiplinan siswa untuk menjaga jarak dan tidak berkerumun saat menunggu jemputan ataupun menunggu sesi pembelajaran.
Bisa tidak ya kami mengawasi anak-anak supaya tidak melakukan kontak fisik. (Wahyu Utami)
”Bisa tidak ya kami mengawasi anak-anak supaya tidak melakukan kontak fisik,” kata Wahyu.
Guru mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta, Bernadeta Andarwinarti, menyampaikan, sejak dua SKB empat menteri terdahulu keluar, sekolah mulai menyiapkan sarana prasarana protokol kesehatan untuk mengantisipasi sewaktu-waktu ada kebijakan kelas tatap muka di sekolah. Misalnya, sekolah mengeluarkan sembilan prosedur standar operasi (SOP) terkait protokol kesehatan yang harus dipatuhi warga sekolah. Sedikit demi sedikit pembangunan sarana cuci tangan dilakukan.
Selain itu, SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta telah menerapkan collaborative learning selama pandemi Covid-19 berlangsung. Metode ini mengolaborasikan beberapa mata pelajaran yang mempunyai kompetensi dasar hampir sama. Kegiatan belajar kolaborasi antarsiswa diupayakan menekankan literasi, numerasi, dan pengembangan karakter.
Kalau nanti sekolah dibuka kembali, pembelajaran tatap muka dijalankan terbatas, yakni siswa kelas X, XI, dan XII masuk bergiliran seminggu sekali. Metode belajarnya tetap collaborative learning, yakni kerja kolaborasi siswa dilakukan secara daring dan guru tinggal menguatkan pembahasan saat tatap muka di kelas.
”Meski demikian, kalau ditanya apakah kami 100 persen siap melaksanakan SKB empat menteri terbaru, kami merasa belum yakin siap seutuhnya,” ujar Bernadeta.
Kondisi berbeda
Wakil Kepala SMA Negeri 1 Monta, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, Fahmi Hatib menceritakan, sebelum pengumuman SKB empat menteri terbaru, sekolah telah melakukan simulasi tatap muka dengan mengikuti protokol kesehatan. Saat simulasi, pihaknya berusaha memenuhi sarana prasarana yang dibutuhkan untuk mendukung protokol kesehatan.
Hanya saja, dia tidak yakin fasilitas yang sudah disiapkan akan cukup sebab sekolah hanya menyiapkan terbatas sampai Desember 2020. Sementara dana bantuan operasional sekolah (BOS) tahap I tahun 2021 baru akan cair bulan Maret 2021. Dia berharap, pemerintah daerah dan pusat menaruh perhatian terhadap hal seperti itu.
”Soal kesiapan fasilitas protokol kesehatan Covid-19, saya harap pemerintah (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) tidak menunggu laporan dari sekolah. Pengawasan kesiapan selama ini kurang karena pemerintah minim turun mengawasi dan mengevaluasi sekolah,” ujar Fahmi.
Baca juga : Sekolah Belum Aman dari Covid-19
Ketua Serikat Guru Indonesia Provinsi Bengkulu Suhadi menyampaikan, sejumlah sekolah di kabupaten telah mulai melaksanakan pembelajaran tatap muka terbatas bahkan sebelum ada SKB empat menteri terbaru. Ini disebabkan kondisi geografis sekolah dan tempat tinggal warga sekolah yang susah akses sinyal telekomunikasi.
Praktik guru kunjung tidak menarik siswa sehingga pembelajaran tidak efektif. Berangkat dari situasi itu, para orangtua mendesak sekolah dibuka kembali apa pun kondisi fasilitas protokol kesehatan yang dimiliki satuan pendidikan.
”Dana BOS mulai dipakai membangun terus sarana prasarana protokol kesehatan, seperti wastafel dan sabun di depan setiap kelas,” katanya.
Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Mansur mengatakan, kenyataannya ada beberapa daerah melanggar SKB empat menteri sebelumnya. Sejumlah sekolah di zona hijau dan kuning Covid-19 melaksanakan pembelajaran tatap muka tidak melalui pengecekan kesiapan protokol kesehatan, baik dari dinas pendidikan, dinas kesehatan, maupun gugus tugas Covid-19. Akibatnya, ada daerah yang siswa ataupun guru terkena Covid-19.
Mansur yang juga pengurus Serikat Guru Indonesia Kota Mataram, NTB, menceritakan, berdasarkan pengalamannya memantau simulasi ataupun pembelajaran tatap muka terbatas, kebanyakan orangtua belum sadar akan haknya dalam kebijakan pembukaan kembali sekolah. Mereka umumnya mengiyakan ketika ada informasi simulasi ataupun pembelajaran tatap muka terbatas, tanpa ikut nimbrung.
”Meski begitu, ada sejumlah orangtua yang paham protokol kesehatan datang ke sekolah, lalu mengecek kesiapan protokol kesehatan setelah baca info SKB empat menteri,” katanya.
Baca juga : Guru Memilih Pembelajaran Campuran
Kelemahan lainnya adalah selama simulasi atau pembelajaran tatap muka terbatas beberapa waktu lalu, Mansur mengamati, instansi layanan kesehatan tidak dilibatkan. Misalnya, belum terdapat bantuan mengecek kesiapan protokol kesehatan dan menyediakan diri terhubung ke satuan pendidikan.
Menurut Mansur, FSGI merekomendasikan agar Kementerian Kesehatan memfasilitasi tenaga kesehatan untuk diturunkan sehingga membantu pengawasan penerapan protokol kesehatan. Kementerian Dalam Negeri mendorong pemerintah daerah membantu menyiapkan infrastruktur protokol kesehatan dan membuat regulasi biaya tes usap agar perlindungan warga sekolah terpenuhi.
”Karena kondisi kesiapan sekolah beragam, Kemendikbud dan Kementerian Agama harus tetap terlibat mengawasi serta mengeluarkan instrumen sanksi pelanggaran. Jadi, keduanya ikut mengawal,” tegas Mansur.
Zona persebaran
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Ubaid Matraji saat dihubungi berpendapat, pemerintah boleh memutuskan buka kembali sekolah dengan pertimbangan tingginya potensi learning loss. Akan tetapi, perlindungan kesehatan dan keselamatan jiwa peserta didik dan pendidik harus dinomorsatukan. Oleh karena itu, zona persebaran Covid-19 semestinya tetap jadi acuan.
”Tidak tertutup kemungkinan satuan pendidikan menjadi kluster penyebaran Covid-19. Hal itu pun bahkan telah terjadi ketika penerapan dua SKB empat menteri sebelumnya, terutama pada satuan pendidikan yang punya asrama,” ujarnya.
Menurut dia, suara orangtua, masyarakat sipil, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan organisasi masyarakat punya kekuatan sentral. Suara mereka seharusnya diakomodasi saat pembelajaran tatap muka dilakukan. Mereka bisa terjun mengecek dan mengevaluasi kesiapan sarana prasarana protokol kesehatan, lalu menyampaikan kepada pemerintah daerah setempat.
Baca juga : Pembukaan Sekolah Harus Berdasar Data Epidemiologi
Kalau infrastruktur protokol kesehatan suatu satuan pendidikan belum siap, baik karena alasan sumber daya terbatas maupun lainnya, pemerintah daerah turun membina sampai sekolah bersangkutan siap.
”Harus ada sanksi tegas dari pemerintah daerah bagi sekolah yang daftar periksa belum siap maksimal, tetapi nekat buka. Sanksi tegas bukan berupa hukuman, melainkan bisa berupa skors pembinaan. Sumber daya manusia sekolah diedukasi dan didampingi saat memenuhi sarana prasarana protokol kesehatan,” kata Ubaid.
Dia menambahkan, peran tak kalah penting adalah instansi layanan kesehatan dan satgas penanganan Covid-19. Keduanya seharusnya terhubung langsung dengan unit kesehatan sekolah. Akan tetapi, hal itu belum terpenuhi optimal.
Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Agus Sartono menekankan pentingnya kesehatan dan keselamatan warga sekolah. Kesiapan satuan pendidikan perlu menjadi perhatian.
”Saya berharap para bupati dan wali kota dapat mendorong semua sekolah melakukan kesiapan pembelajaran tatap muka. Kesuksesan implementasi tidak terlepas dari komitmen bersama, khususnya pemerintah daerah,” ujarnya saat menghadiri konferensi pers virtual ”Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Semester Genap Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Covid-19”, Jumat (20/11/2020), di Jakarta.
Dalam kesempatan itu, Agus menyampaikan baru 42,5 persen dari total sekitar 532.000 sekolah menyetor laporan daftar periksa. Dia berharap, pemerintah daerah mengimbau dan menyosialisasikan pentingnya daftar periksa protokol kesehatan serta memperbarui isian di daftar itu ke sekolah-sekolah.
Menurut Agus, hingga sekarang sejumlah sekolah telah melakukan praktik pembelajaran jarak jauh dengan baik dan menghasilkan aneka inovasi metode. Namun, saat bersamaan, banyak pula satuan pendidikan yang berjalan sebaliknya.
Dampak negatif di balik situasi itu meliputi ancaman putus sekolah, kesenjangan kemampuan anak, minim interaksi sosial, stres, dan kekerasan. Dampak negatif tersebut menjadi latar belakang SKB empat menteri kembali mengalami penyesuaian.