Mulai 1 Januari 2021, pembelajaran tatap muka akan dibuka lagi dengan perizinan berjenjang. Namun, banyak guru belum siap karena kondisi sekolah belum aman dari penyebaran Covid-19.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-Ketidaksiapan para guru tercermin dalam hasil penelitian Wahana Visi Indonesia (WVI) bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Predikt pada 18 Agustus-5 September 2020. Penelitian dilakukan dengan survei daring terhadap 27.046 guru di 34 provinsi, wawancara dengan informan kunci di dinas pendidikan, serta diskusi terfokus dengan sejumlah organisasi guru.
“Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui persepsi dan sudut pandang guru serta tenaga kependidikan terkait pembukaan kembali sekolah dengan skema adaptasi kebiasaan baru,” kata Koordinator Tim Pendidikan WVI Mega Indrawati dalam diskusi daring "Mendengarkan Suara Guru di Pedalaman dan Pendidikan Khusus sebagai tindak lanjut penelitian tersebut, Jumat (20/11/2020).
Dari 27.046 guru yang disurvei, sebanyak 76 persen guru mengkhawatirkan keamanan siswa, guru, dan juga orangtua akan menjadi rentan terpapar Covid-19 jika pembelajaran tatap muka dilakukan di masa pandemi.
Dari 27.046 guru yang disurvei, sebanyak 76 persen guru mengkhawatirkan keamanan siswa, guru, dan juga orangtua akan menjadi rentan terpapar Covid-19 jika pembelajaran tatap muka dilakukan di masa pandemi. Mereka juga khawatir tidak bisa melakukan proses pembelajaran tatap muka dengan nyaman dan efektif.
Untuk keberlanjutan pembelajaran di masa pandemi, hampir semua guru yang disurvei (95 persen) setuju pembelajaran tetap dilakukan secara jarak jauh (PJJ) dan/atau dengan metode kombinasi. Hampir separuh responden (45 persen) mengharapkan pembelajaran di masa pandemi dilakukan secara kombinasi antara pembelajaran tatap muka dan PJJ.
“Jika diizinkan, kami akan menyelenggarakan pembelajaran tatap muka satu level (jenjang) untuk satu hari supaya bisa menerapkan jaga jarak. Jadi dalam seminggu ada satu kali pembelajaran tatap muka bagi siswa. Satu level ada (kelas) abcd, sekitar 100 siswa,” kata Yuliatin, guru SDN Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua.
Tantangan lebih besar dihadapi pendidikan anak usia dini (PAUD) dan sekolah luar biasa (SLB) untuk menyelenggarakan pembelajaran tatap muka.“Kalau tatap muka, mereka pasti bermain bergerombol, sulit menjaga jarak. Pernah ketika kami masuk (kelas), anak-anak saling tukar makanan, bahkan saling tukar masker,” kata Happy Christina, guru PAUD Baluse Terpadu, Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara.
Ijin berjenjang
Kemarin, Mendikbud Nadiem Makarim menyampaikan, mulai 1 Januari 2021, kebijakan pembelajaran tatap muka dimulai dari pemberian izin oleh pemerintah daerah/kantor wilayah/Kantor Kementerian Agama dilanjutkan dengan izin berjenjang dari satuan pendidikan dan orangtua. Pernyataan itu disampaikannya dalam konferensi pers virtual "Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Semester Genap Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Covid-19". Panduan ini tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Mendikbud, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri.
Peta zonasi penyebaran Covid-19 yang dalam dua SKB empat menteri sebelumnya menjadi acuan pembukaan pembelajaran tatap muka di sekolah tidak lagi berlaku. Pemda diberi kewenangan karena mereka dianggap paling mengetahui dan memahami kondisi, kebutuhan, dan kapasitas daerahnya.
Menurut Nadiem, sejumlah faktor yang perlu dipertimbangkan pemda dalam pemberian izin pembelajaran tatap muka, antara lain tingkat risiko penyebaran Covid-19 di wilayahnya, kesiapan fasilitas layanan kesehatan, kesiapan satuan pendidikan dalam melaksanakan pembelajaran tatap muka sesuai daftar periksa, akses terhadap sumber belajar/kemudahan Belajar dari Rumah (BDR), dan kondisi psikososial peserta didik.
Tidak tergesa-gesa
Menanggapi hal ini, Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru Satriwan Salim mengatakan, PJJ sebaiknya diteruskan sampai akhir tahun ajaran 2020/2021 dan tetap berdasarkan zona penyebaran Covid-19 agar betul - betul aman, juga sampai uji coba vaksin selesai dan terbukti aman. Menurut dia, pelaksanaan dua SKB Empat Menteri terdahulu terkesan ada pembiaran terhadap satuan pendidikan yang melanggar atau membuka kelas tatap muka tanpa memenuhi daftar periksa. Hal itu jelas membahayakan kesehatan dan keselamatan guru, siswa, dan keluarga mereka.
"Apabila SKB Empat Menteri terbaru memfokuskan pada wewenang pemda, saya rasa hal itu bahaya. Kami tidak tahu maksud pemerintah pusat apa. Pemda yang peduli infrastruktur protokol kesehatan sedikit," tambah Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Retno Listyarti.
Sementara itu, epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman mengingatkan, pemberian kewenangan penuh pada pemda dalam pemberian izin pembelajaran tatap muka harus tetap didasarkan pada data epidemiologi. Mengacu pada panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pembukaan sekolah mesti melihat jumlah kasus baru yang dilaporkan selama periode waktu tertentu di lingkungan sekolah, yaitu 1 per 100.000 sehingga penularan bisa dikendalikan. Selain itu, rasio kasus positif harus kurang dari 5 persen dalam waktu dua minggu berturut-turut."Jika sekolah tetap dibuka saat kasus Covid-19 masih tinggi, anak-anak dan guru kemungkinan besar akan saling menularkan. Ini bisa menyebabkan penularan tak terkendali," kata dia.(IKA/MED/AIK/VIO/FRD)