Meski sekolah telah menyiapkan infrastruktur dan protokol kesehatan, banyak guru belum siap jika sekolah dibuka pada masa pandemi. Mereka memilih pembelajaran jarak jauh atau kombinasi PJJ dan tatap muka.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah daerah mulai membuka kembali sekolah. Infrastruktur dan protokol kesehatan di sekolah pun disiapkan. Meskipun begitu, banyak guru merasa belum siap jika sekolah dibuka kembali. Tiga dari empat guru menyatakan kondisi sekolah belum aman dari penyebaran Covid-19 jika dibuka kembali.
Hal itu tecermin dari hasil penelitian yang dilakukan Wahana Visi Indonesia (WVI) bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Predikt pada 18 Agustus-5 September 2020. Penelitian dilakukan dengan survei daring terhadap 27.046 guru di 34 provinsi, wawancara dengan informan kunci di dinas pendidikan, serta diskusi terfokus dengan sejumlah organisasi guru.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui persepsi dan sudut pandang guru serta tenaga kependidikan terkait pembukaan kembali sekolah dengan skema adaptasi kebiasaan baru. (Mega Indrawati)
”Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui persepsi dan sudut pandang guru serta tenaga kependidikan terkait pembukaan kembali sekolah dengan skema adaptasi kebiasaan baru,” kata Koordinator Tim Pendidikan WVI Mega Indrawati dalam diskusi daring bertema ”Mendengarkan Suara Guru di Pedalaman dan Pendidikan Khusus” sebagai tindak lanjut penelitian tersebut, Jumat (20/11/2020).
Dari 27.046 guru yang disurvei, sebanyak 76 persen mengkhawatirkan siswa, guru, dan juga orangtua akan menjadi rentan terpapar Covid-19 jika pembelajaran tatap muka dilakukan di masa pandemi. Mereka juga khawatir tidak bisa melakukan proses pembelajaran tatap muka dengan nyaman dan efektif.
Untuk keberlanjutan pembelajaran di masa pandemi, hampir semua guru yang disurvei (95 persen) setuju pembelajaran tetap dilakukan secara jarak jauh (PJJ) dan/atau dengan metode kombinasi. Hampir separuh responden (45 persen) mengharapkan pembelajaran di masa pandemi dilakukan secara kombinasi antara pembelajaran tatap muka dan PJJ.
”Jika diizinkan, kami akan menyelenggarakan pembelajaran tatap muka satu level (jenjang) untuk satu hari supaya bisa menerapkan jaga jarak. Jadi, dalam seminggu ada satu kali pembelajaran tatap muka bagi siswa. Satu level ada (kelas) abcd, sekitar 100 siswa,” kata Yuliatin, guru SDN Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, dalam diskusi tersebut.
Dia mengatakan, sekolahnya sudah menyiapkan infrastruktur dan protokol kesehatan, dan tinggal melengkapi alat pelindung bagi guru untuk pembelajaran tatap muka. Namun, dengan jumlah siswa sekitar 550 anak, sulit menjamin pelaksanaan protokol kesehatan jika pembelajaran tatap muka dibagi dalam dua kelompok secara bergantian (sif).
Henvili Marto Iwan Jehabu, guru SDN Wejang Nendong, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, mengatakan, sekolahnya sudah mulai menyelenggarakan pembelajaran tatap muka. Dalam sehari pembelajaran tatap muka diselenggarakan untuk dua kelas. Namun, dalam pelaksanaannya belum bisa efektif sehingga membutuhkan dukungan pemerintah seperti kurikulum yang sederhana.
Selain itu, menurut Henvili, sekolahnya masih membutuhkan bantuan alat pelindung diri seperti masker, cairan pembersih tangan (hand sanitizer), serta pelindung wajah (face shield). Selain itu juga menyiapkan siswa untuk menjalankan protokol kesehatan, mulai dari mencuci tangan memakai sabun, menjaga jarak, hingga mengenakan masker.
Dilema
Tantangan lebih besar dihadapi pendidikan anak usia dini (PAUD) dan sekolah luar biasa (SLB) untuk menyelenggarakan pembelajaran tatap muka. Siswa PAUD dan SLB dinilai belum bisa mandiri untuk menerapkan protokol kesehatan. Sementara pembelajaran jarak jauh juga jauh dari efektif.
Happy Christina, guru PAUD Baluse Terpadu, Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara, mengatakan, pembelajaran tatap muka maupun PJJ di masa pandemi sama-sama menjadi dilema bagi PAUD. Selama ini PJJ tidak bisa efektif karena guru hanya memberikan lembar tugas untuk dikerjakan siswa. Orangtua juga belum tentu bisa mendampingi anak-anak mereka karena harus bekerja.
”Kalau tatap muka, mereka pasti bermain bergerombol, sulit menjaga jarak. Pernah ketika kami masuk (pembelajaran tatap muka), anak-anak saling tukar makanan, bahkan saling tukar masker,” kata Happy.
Hal senada dikatakan Lusia Hurint, guru SLB Kotaraja, Kupang, NTT. ”Kekhawatiran kami kalau pembelajaran tatap muka adalah memastikan protokol kesehatan, sementara anak-anak rentan dengan penyebaran Covid-19,” ujarnya.
Para guru berharap pemerintah tetap memberikan dukungan kepada sekolah untuk menyelenggarakan PJJ maupun pembelajaran tatap muka. Yuliatin dan Lusia, misalnya, berharap dinas pendidikan betul-betul memonitor kesiapan sekolah untuk pembelajaran tatap muka.
”Kami harapkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selalu membuat terobosan-terobosan (kebijakan) untuk mendukung pembelajaran. Ketika sekolah dibuka, kami harapkan dinas pendidikan selalu hadir untuk mendukung kami,” kata Henvili.
Hasil penelitian WVI juga menunjukkan, guru membutuhkan dukungan untuk meningkatkan kapasitas pembelajaran daring (97 persen). Sekitar 50 persen guru membutuhkan kompetensi perilaku hidup bersih dan sehat serta manajemen pendidikan di masa darurat. Selain itu, guru juga membutuhkan pembekalan dukungan psikososial untuk guru dan peserta didik serta metode pembelajaran yang efektif dan menyenangkan.