Mulai awal tahun depan, peta zonasi risiko dari Satgas Penanganan Covid-19 nasional tidak lagi menentukan pemberian izin sekolah dibuka. Pembelajaran tatap muka akan dibuka lagi dengan perizinan berjenjang.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Mulai Januari 2021, kebijakan pembelajaran tatap muka dimulai dari pemberian izin oleh pemerintah daerah dan tetap dilanjutkan dengan izin berjenjang dari satuan pendidikan dan orangtua. Pemberian izin dapat dilakukan secara serentak dalam satu wilayah kabupaten/kota atau bertahap per wilayah kecamatan/desa/kelurahan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim menegaskan hal itu dalam konferensi pers virtual "Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Semester Genap Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Covid-19", Jumat (20/11/2020), di Jakarta. Panduan ini tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Mendikbud, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri.
Dia menyampaikan, peta zonasi penyebaran Covid-19 yang di dua SKB empat menteri sebelumnya jadi acuan pembukaan pembelajaran tatap muka di sekolah tidak lagi berlaku. Pemerintah daerah diberikan fleksibilitas penuh karena mereka pihak yang paling mengetahui dan memahami kondisi, kebutuhan, dan kapasitas daerahnya.
Penentuan kebijakan (pembukaan kembali pembelajaran tatap muka) fokus kepada daerah agar sesuai kebutuhan. Situasi, keperluan, dan kapasitas kecamatan ataupun desa dalam satu kabupaten sangat bervariatif satu dengan lainnya.(Nadiem)
"Penentuan kebijakan (pembukaan kembali pembelajaran tatap muka) fokus kepada daerah agar sesuai kebutuhan. Situasi, keperluan, dan kapasitas kecamatan ataupun desa dalam satu kabupaten sangat bervariatif satu dengan lainnya," ujar Nadiem.
Kebijakan itu diambil, kata dia, karena mempertimbangkan semakin lama pembelajaran tatap muka di sekolah tidak digelar, semakin besar dampak negatif yang berpotensi diperoleh anak. Sebagai contoh, ancaman putus sekolah karena anak terpaksa bekerja membantu keuangan keluarga, kendala tumbuh kembang, serta tekanan psikososial dan kekerasan rumah tangga.
Dia menyebutkan sejumlah faktor yang perlu jadi pertimbangan pemerintah daerah dalam pemberian izin pembelajaran tatap muka di sekolah. Pertama, tingkat risiko penyebaran Covid-19 di wilayahnya. Kedua, kesiapan fasilitas layanan kesehatan. Ketiga, kesiapan satuan pendidikan dalam melaksanakan pembelajaran tatap muka sesuai daftar periksa. Keempat, akses terhadap sumber belajar/kemudahan Belajar dari Rumah (BDR). Kelima, kondisi psikososial peserta didik.
Faktor keenam adalah kebutuhan layanan pendidikan bagi anak yang orangtua/walinya bekerja di luar rumah. Ketujuh, ketersediaan akses transportasi yang aman. Kedelapan, tempat tinggal warga satuan pendidikan. Kesembilan, mobilitas warga. Kesepuluh, kondisi geografis daerah.
"Pembelajaran tatap muka di sekolah tetap hanya diperbolehkan untuk satuan pendidikan yang telah memenuhi enam daftar periksa. Keenam hal itu meliputi ketersediaan sarana sanitasi dan kebersihan, akses fasilitas kesehatan, siap menerapkan wajib masker, alat ukur suhu tembak, peta kondisi kesehatan warga satuan pendidikan, dan mendapatkan persetujuan komite sekolah/perwakilan wali murid," tegas Nadiem.
Dia menambahkan, pembelajaran tatap muka sesuai SKB terbaru empat menteri mengikuti protokol kesehatan yang ketat. Konsepnya tidak akan sama seperti sebelum pandemi Covid-19. Sebagai contoh, adanya pembatasan maksimal jumlah peserta didik dalam satu ruang kelas. Dana bantuan operasional sekolah bisa dioptimalkan untuk memenuhi kebutuhan daftar periksa.
"Kebijakan ini (yang dikeluarkan kemarin) berlaku untuk seluruh jenjang pendidikan. Perguruan tinggi juga. Detail aturan pembelajaran tatap muka di perguruan tinggi akan disampaikan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi," imbuh Nadiem.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menyampaikan, pihaknya berupaya mendukung dari sisi meningkatkan peranan Puskesmas dalam menerapkan protokol kesehatan. Keberadaan Puskesmas diharapkan bisa membantu satuan pendidikan menyiapkan dan melaksanakan pembelajaran tatap muka.
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan, dinas pendidikan tidak bisa bekerja sendiri. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lainnya harus terlibat aktif. Dinas Komunikasi dan Informatika perlu membantu sosialisasi protokol kesehatan sampai ke orangtua. Kapasitas layanan kesehatan dan karantina di tingkat daerah diperkuat. Dinas Kesehatan bisa melakukan tes Covid-19 secara acak dan reguler dengan biaya dari kepala daerah.
"Agar kebijakan baru ini tidak malah menimbulkan kluster Covid-19 baru, kami akan mengeluarkan surat edaran berisi pembagian tugas masing-masing SKPD secepatnya," ujar Tito.
Dia mengakui kapasitas fiskal setiap pemerintah daerah berbeda sehingga mempengaruhi persiapan mereka menyediakan infrastruktur protokol kesehatan. Oleh karena itu, dia berharap Kemendikbud bisa membantu pendanaan.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengatakan, masih ada waktu sekitar satu bulan untuk mempersiapkan segala kebutuhan daftar periksa. Simulasi bisa dilakukan. Kerja sama kementerian/lembaga sampai pejabat daerah dioptimalkan.
"Seluruh penyelenggaraan pendidikan, termasuk aparat keamanan, harus saling back up. Jika ada pelanggaran protokol kesehatan, tindakan tegas dapat diambil, seperti sanksi," ujar dia saat ditanya upaya pengawasan pelaksanaan yang efektif.
PJJ diteruskan
Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru Satriwan Salim saat dihubungi terpisah, memandang, pembelajaran jarak jauh (PJJ) sebaiknya diteruskan sampai akhir tahun ajaran 2020/2021 dan tetap berdasarkan zona penyebaran Covid-19 agar betul-betul aman, dan uji coba vaksin selesai serta terbukti aman.
"Pemerintah daerah jangan tergesa-gesa buka sekolah. Izin orangtua menjadi faktor penentu sehingga apabila ada sejumlah kecil orangtua tidak memberi izin anaknya masuk sekolah, pihak satuan pendidikan wajib melayani," ujar dia.
Apabila pemerintah daerah tetap "bersikeras" sekolah dibuka, pemerintah daerah bersangkutan disarankan membiayai tes usap pendidik dan tenaga pendidik. Dana bantuan operasional sekolah tidak akan cukup. Bagi satuan pendidikan dan pemerintah daerah yang melanggar SKB Empat Menteri, pemerintah pusat semestinya memberikan sanksi tegas.
"Pelaksanaan dua SKB Empat Menteri terdahulu terkesan ada pembiaran bagi satuan pendidikan yang melanggar atau membuka kelas tatap muka tanpa daftar periksa terpenuhi. Hal itu jelas membahayakan kesehatan dan keselamatan guru, siswa, dan keluarga mereka," tegas dia.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti saat menghadiri diskusi daring "Menanti Sekolah Aman" yang diselenggarakan Trijaya FM sore pada hari yang sama, mengatakan hal senada. Kritik dia adalah panduan yang tertuang dalam setiap SKB Empat Menteri selalu tidak disertai sanksi.
Awal pekan ini, KPAI menjadi salah satu organisasi yang diundang Kemendikbud untuk membahas revisi SKB Empat Menteri. Kami sudah melihat tanda satuan pendidikan diperbolehkan dibuka tanpa zona penyebaran Covid-19. Retno sempat menanyakan tentang sanksi, tetapi pemerintah menjawab wujud sanksi adalah penutupan satuan pendidikan."Penutupan sekolah bukan sanksi," ujar dia.
Retno lantas mencontohkan pengalaman sekolah dasar di Bima (Nusa Tenggara Barat) sudah buka kembali, tetapi tidak memenuhi kewajiban wastafel dan aliran air yang lancar. Di Tegal, Jawa Tengah, satuan pendidikan jenjang PAUD hingga SMP sudah buka-tutup sekolah. Di Seluma, Bengkulu, sekolah dibiarkan buka meskipun daerahnya sempat masuk zona merah Covid-19.
Selama ini, pembukaan kembali pembelajaran tatap muka di sekolah tanpa persiapan yang benar. Hal yang dipentingkan hanyalah jumlah murid tidak penuh dan memakai masker. Kebanyakan pemerintah daerah, menurut Retno cenderung cuek.
"Apabila SKB Empat Menteri terbaru memfokuskan wewenang pemerintah daerah, saya rasa hal itu bahaya. Kami tidak tahu maksud pemerintah pusat apa. Pemerintah daerah yang peduli infrastruktur protokol kesehatan sedikit," imbuh Retno.