Tujuh Gelas Kopi Sehari, Modal Bergaul di Semendo
Untuk menuju daerah penghasil kopi ini, kami harus melaju pelan lantaran jarak pandang yang terbatas akibat hujan deras dan minim penerangan. Di beberapa titik kami melewati jalan yang bertebing curam dan rentan longsor.
Saya bukanlah penikmat kopi. Dalam seminggu, biasanya saya hanya mampu menyeruput 2-3 gelas kopi. Namun ketika meliput di Desa Cahaya Alam, Kecamatan Semende Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, dalam satu hari, saya bisa menghabiskan hingga tujuh gelas kopi.
Desa Cahaya Alam berjarak sekitar 300 kilometer dari Palembang. Untuk tiba di sana, butuh persiapan yang cukup panjang, termasuk kondisi kendaraan yang harus prima karena lintasan yang cukup ekstrem, berkelok, dan terjal.
Saya berangkat dari Palembang hari Senin (18/7/2022) pukul 09.00 WIB bersama Hafidz Trijatnika dari Hutan Kita Institute (HaKI). Perjalanan melewati jalur lintas timur Sumatera mulai terasa menantang setibanya di kawasan Semende, Kabupaten Muara Enim, pada malam hari.
Di bawah guyuran hujan deras dan minim penerangan, kami harus melaju pelan lantaran jarak pandang yang terbatas. Di beberapa lokasi, kami melintasi jalur bertebing curam yang rentan longsor. Bahkan, ada ruas jalan yang sebagian tertutupi tanah merah dan batu besar.
Baca juga: Ikhtiar Membuat Kopi Sumsel Naik Kelas
Jantung pun berdegup kencang sembari berdoa semoga perjalanan kami dilancarkan. Doa kami terjawab. Menjelang tengah malam kami tiba di rumah panggung milik Monika, warga setempat.
Hujan deras membuat suasana rumah Monika yang berada di ketinggian sekitar 1.400 meter di atas permukaan laut itu terasa sangat dingin. Untuk menyambut kedatangan kami, ia langsung menyajikan seteko kopi hitam robusta ditemani sebungkus tahu Sumedang yang kami beli di tengah perjalanan. ”Ayo ngopi dulu, biar hangat,” ujar Monika.
Perbincangan pun dimulai dengan cerita perjalanan kami dari Palembang menuju Desa Cahaya Alam, termasuk rencana liputan kami ke beberapa lokasi. Salah satunya ke Dusun IV, Desa Cahaya Alam.
Di sana, kami ingin meliput kehidupan warga desa yang belum mendapatkan listrik dari negara dan hanya mengandalkan fasilitas pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH).
Perbincangan berlangsung cair. Seteko kopi pun habis kami nikmati. Tak terasa, saya sendiri habis tiga gelas. Entah karena suasana yang dingin, cita rasa dan aroma kopi yang sedap, atau gabungan keduanya, membuat jatah ngopi seminggu habis dalam waktu beberapa puluh menit saja.
Baca juga: Kecewa dan Bahagia Melihat Inovasi di Perkampungan Papua
Setelah itu, kami memutuskan beristirahat untuk persiapan liputan keesokan harinya. Entah mengapa, walau telah minum kopi lumayan banyak, saya tetap tertidur pulas. Anggapan bahwa minum kopi bikin susah tidur ternyata tidak berlaku malam itu.
Pagi harinya, sebelum memulai aktivitas, Monika kembali menyambut kami dengan seteko kopi hangat. Kali ini ditemani hidangan sarapan, yaitu nasi dengan lauk ikan, tempe, labu, dan sayur sawi, yang telah disiapkan istri Monika. Sambil sarapan, kami kembali berbincang mengenai budaya warga desa.
Monika mengatakan, sebagai salah satu penghasil kopi di Sumatera Selatan, warga yang tinggal di kawasan Semende terbiasa minum kopi. ”Mereka memetik, menyangrai, dan menumbuk kopi sendiri,” katanya.
Monika pun bisa menghabiskan hingga tujuh gelas kopi per harinya. Kembali, perbincangan usai ketika seteko kopi tandas. Kami pun bersiap untuk peliputan di Dusun IV, Desa Cahaya Alam, yang berjarak sekitar 4 kilometer dari rumah Monika.
Di sepanjang jalan menuju Dusun IV, kami bertemu beberapa warga yang menjemur kopi di halaman rumah atau pun di jalan-jalan desa. Ada yang dilapisi alas terpal, ada juga yang menjemurnya langsung di atas tanah merah.
Menariknya, ketika berpapasan, hampir semua menyapa, ”Nak ke mano? Mampir dulu, ngopi (Mau ke mana? Mampir dulu ngopi),” kata mereka kepada Monika. Sebuah kebiasaan yang jarang saya temui di kehidupan perkotaan.
Baca juga: Kopi Semendo ala ”Budak Mudo”
Di lingkungannya, Monika cukup dikenal karena ia sekaligus menjabat sebagai Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa Cahaya Alam, sebuah lembaga yang mengelola kawasan hutan yang masuk dalam program perhutanan sosial.
Setibanya di Dusun IV, tuan rumah Yantiara (34) menyuguhkan seteko kopi dengan 12 gelas di sekelilingnya. Di sana digelar pertemuan sejumlah warga untuk membahas rencana pengembangan kopi arabika di Dusun IV. Selain kopi, Yantiara juga menyuguhkan singkong dan kacang rebus sebagai camilan.
Total hari itu kalau dihitung-hitung saya sudah habis 7 gelas kopi. Minum kopi sudah seperti minum air putih saja. Herannya saya tidak lantas ”mabuk” kopi.
Warga setempat punya kebiasaan minum kopi ditambah gula. Barangkali karena cita rasa kopinya yang tebal dan pahit. Penambahan gula membuat kopi terasa legit sekaligus tidak terlalu pahit.
Di Dusun IV, pengembangan kopi arabika baru berjalan dua tahun terakhir. Namun, hasil yang diperoleh cukup baik. Pengembangan kopi arabika ini merupakan tonggak awal perbaikan pengelolaan pascapanen kopi semendo agar bisa merambah hingga ke kancah internasional.
Sebelum ini, warga desa lebih banyak menanam kopi robusta. Warga setempat menyebut kopi dari Semende ini dengan nama kopi semendo. Kadang-kadang nama daerahnya pun disebut Semendo.
Pendamping perhutanan sosial dari HaKi, Aidil Fikri, berpandangan, kopi bagi warga Semendo bukanlah sekadar minuman biasa, tetapi juga telah menjadi sumber penghasilan dan perekat tali silaturahmi.
Disebut sebagai sumber penghasilan karena sebagian besar warga Semendo bekerja sebagai petani kopi. Hasil panen kopi dijual ke Palembang, Lampung, bahkan sudah merangsek ke pasar ekspor.
Di sisi lain, kopi juga dikatakan sebagai perekat silaturahmi. Selama ia melakukan pendampingan di kawasan tersebut, ia merasakan keramahan warga Semendo yang sangat kental dan selalu ada kopi di tengah pergaulan.
Baca juga: Rasa Bersalah Seorang Wartawan
Menurut Aidil, adalah sebuah kehormatan ketika ada warga yang menawari mampir ke rumahnya untuk ngopi bersama. ”Itu adalah tawaran persaudaraan. Di saat ngopi bersama itulah, kita akan mendengar permasalahan, saran, atau bahkan pengetahuan dari warga setempat,” ujarnya.
Ketua Komunitas Pemuda Kopi Semendo, Muhammad Ridho Khairil Adhar (25), menuturkan, kebiasaan ngopi sudah berlangsung sejak lama dan terus diwariskan secara turun-temurun. Bahkan, kopi harus tersedia dalam berbagai acara penting, seperti pernikahan, kelahiran, hingga kematian.
Karena itu, warga biasanya akan menyisihkan beberapa kilogram biji kopi dari hasil kebunnya untuk persediaan di rumah, baik untuk keperluan pribadi maupun persediaan untuk menjamu tamu yang datang.
Untuk memperkenalkan budaya ngopi di Semendo, Ridho kerap mengajak wisatawan, peneliti, dan juga akademisi, termasuk mahasiswa, untuk melihat langsung proses memetik biji kopi, menyangrai, hingga menyajikan minuman kopi di hadapan tamu. ”Tujuannya agar mereka bisa mengerti betapa lekatnya kopi dengan warga Semendo,” ujar Ridho.
Baca juga: 40 Hari Meliput Perang Ukraina-Rusia (3): Mengejar Jokowi di Kyiv
Kegiatan tersebut terbukti menjadi daya tarik bagi orang yang datang ke Semendo. Mencium aroma semerbak biji kopi kala disangrai dengan wajan besar, atau menikmati pahit manisnya segelas kopi yang bijinya baru saja disangrai, tentu memberikan pengalaman tersendiri bagi tamu yang datang.
Analis Madya Sarana dan Prasarana Perkebunan Dinas Perkebunan Sumsel, Rudi Arpian, menganggap, pengalaman mencicipi langsung budaya ngopi adalah pintu masuk untuk memperkenalkan kopi Sumsel ke kancah dunia. Sumsel dikaruniai beragam kekayaan komoditas termasuk kopi.
Sumsel pun diampu sebagai penghasil kopi robusta terbesar di Indonesia karena kebun seluas 230.000 hektar di sana menghasilkan 150.000 ton kopi per tahun. Apalagi, beberapa varietas kopi asal Sumsel termasuk kopi robusta Semendo sudah mendapat sertifikat indikasi geografis dari Direktorat Jenderal Merek dan Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Sayangnya, kekayaan itu tertutupi karena biji kopi asal Sumsel dikirim dulu ke daerah lain, seperti Lampung, sebelum kemudian dijual ke seluruh Nusantara atau diekspor. Menurut dia, perlu ada atraksi pengolahan kopi dari hulu ke hilir disertai pengenalan tradisi ngopi sehingga bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
Baca juga: Menguji Kartu "Sakti" dan Bertemu Dua Pangeran di Istana Buckingham
”Penting agar pemangku kepentingan menciptakan ’rumah kopi’ yang benar-benar menggambarkan kondisi kopi Sumsel secara menyeluruh,” ujar Rudi.
Peliputan kali ini memberikan gambaran betapa pentingnya kopi Sumsel bagi orang setempat, tidak hanya sekadar minuman, tetapi juga menjadi perekat silaturahmi warga.
Senang rasanya bisa melihat dan merasakan langsung budaya ngopi di Semendo, sebuah tradisi yang terancam hilang terkikis di tengah gencarnya gelombang media sosial. Karena itu, mari seruput dulu kopinya....