Kecewa dan Bahagia Melihat Inovasi di Perkampungan Papua
Melihat kondisi jalan yang rusak parah, saya meminta sopir yang mengantar untuk mengurangi kecepatan. Jika tidak, salah-salah, pinggang yang masih butuh terapi saraf terjepit ini bisa kambuh lagi terkena guncangan mobil.
Pendataan kependudukan bukan sekadar urusan administrasi semata, melainkan juga dapat menjadi ”senjata” untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Data yang akurat akan memotret dengan tepat kondisi masyarakat.
Itu sebabnya saya tertarik mengulik tentang SIO Papua alias Sistem Informasi Orang Papua. Saya berencana menulis tentang SIO Papua menyusul rencana harian Kompas menyajikan kisah inspiratif dari seluruh provinsi untuk menyambut Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Ke-77 RI.
Dua bulan sebelumnya, saya sempat bingung hendak mengangkat tema liputan apa yang akan saya sajikan dari tanah Papua. Kisahnya harus tentang inovasi yang berdampak besar bagi kehidupan masyarakat.
Setelah mengumpulkan informasi selama beberapa hari, terpilihlah SIO Papua, program pendataan penduduk yang tidak hanya mengungkap data secara kuantitas, tetapi juga kondisi ekonomi, budaya, dan sosial masyarakat.
Data yang dikumpulkan berupa nomor induk kependudukan, jumlah penghasilan kepala keluarga per bulan, kondisi kesehatan di setiap keluarga dan fasilitas yang dimiliki. Pengambilan data dilakukan secara langsung dengan mendatangi rumah warga lalu dimasukkan ke aplikasi SIO Papua.
Aplikasi ini diinisiasi oleh Pemerintah Provinsi Papua dan LSM Kompak-Landasan. Selama dua tahun terakhir, program ini juga didukung oleh Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI).
Setelah delapan tahun bertugas di Papua, saya melihat SIO Papua adalah salah satu inovasi terbaik yang ada di provinsi ini. Jika terlaksana dengan baik, sistem ini mampu menjembatani pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan publik terhadap masyarakat. Meskipun kelak ketika saya mengecek langsung ke lapangan, sebagian kenyataan berkata lain.
Selama ini, meski telah melaksanakan kebijakan otonomi khusus sejak tahun 2021, pelayanan publik di Papua dinilai masih belum optimal. Ini terlihat dari angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua yang baru mencapai angka 60,62 hingga akhir tahun 2021. Angka ini terendah dibandingkan IPM 33 provinsi lainnya.
Sementara berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di Papua pada Maret 2022 sebesar 922.012 orang. Jumlah ini meningkat 1.680 orang bila dibandingkan bulan Maret tahun 2021.
Baca juga: ”Kitorang” Sudah Punya SIO Papua…
Saya memilih Distrik (Kecamatan) Nimboran sebagai lokasi pertama untuk melihat implementasi Sio Papua. Perjalanan selama dua jam dari Kota Jayapura menuju Nimboran sejauh 80 kilometer melewati jalan beraspal yang cukup mulus.
Pada Juni tahun 2022, pendataan SIO Papua di Nimboran yang mencakup 14 kampung telah mencapai 100 persen. Terdata adanya 3.580 jiwa dari 932 keluarga yang tinggal di sana.
Aparatur di Kantor Distrik Nimboran menggunakan data SIO Papua yang dikombinasikan dengan aplikasi Sistem Administrasi Kependudukan (Adminduk) untuk pembuatan dokumen kependudukan, misalnya pembuatan kartu keluarga, akta pernikahan, akta kematian, dan KTP elektronik.
Aplikasi Adminduk yang disokong data dari SIO Papua diluncurkan oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura dan lembaga Kompak pada 27 Oktober tahun 2020. Menurut informasi, dalam sehari, jumlah warga yang datang untuk membuat dokumen sebanyak 10-30 orang.
Namun, saat tiba di Kantor Distrik Nimboran pada pukul 10.30 WIT, suasana tampak sepi. Saya tidak melihat aktivitas warga yang mengurus dokumen kependudukan.
Baca juga: Dicurigai sebagai Agen Pemasaran Susu Formula
Saya kemudian bertemu dengan Elvira Yolanda Wouw, salah satu petugas di Kantor Distrik Nimboran. Wanita berusia 29 tahun ini mengaku, kegiatan pembuatan dokumen kependudukan tengah terkendala ketiadaan akses internet.
Akibatnya, alat untuk perekaman KTP elektronik di Kantor Distrik Nimboran selama beberapa bulan terakhir tidak dapat digunakan. Belum tersedianya anggaran membuat penyediaan akses internet terhambat.
Melihat kondisi tersebut, saya merasa amat kecewa. Sebuah program inovasi yang semestinya sangat membantu masyarakat di daerah terpencil ini tidak bisa bertahan lama karena kendala anggaran operasional.
Masyarakat dari Nimboran dan distrik lain, seperti Nimbokrang, yang sebelumnya bisa mengurus dokumen kependudukan di kantor itu, kini harus mengeluarkan biaya angkutan umum hingga Rp 100.000.
Mereka harus pergi ke kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Jayapura di Sentani jika ingin mengurus dokumen, seperti KTP elektronik dan kartu keluarga.
Baca juga: Menguji Kartu "Sakti" dan Bertemu Dua Pangeran di Istana Buckingham
Mencari lokasi kedua
Saya kemudian memilih kembali ke Jayapura setelah berkomunikasi dengan Rini Kustiasih, editor di Desk Nusantara yang biasa kami panggil Mbak Rek.
Meski rasa kecewa masih menggayut di pikiran, saya berusaha tetap optimistis untuk mencari contoh lain implementasi SIO Papua. Saya lalu menghubungi Septer Manufandu yang pernah menjabat sebagai Provinsial Manager Program Kompak-Landasan Papua.
Septer menyarankan agar saya pergi ke Kampung Sabron Sari yang masih berada di wilayah Distrik Sentani Barat, Kabupaten Jayapura. Semangat saya kembali bangkit untuk menemukan cerita tentang dampak SIO Papua.
Hari Rabu (20/7/2022), saya menumpang mobil dari Jayapura menuju Kampung Sabron Sari. Lokasi kedua ini merupakan daerah terkecil di Distrik Sentani Barat dengan luas wilayah 11,34 kilometer persegi. Perjalanan dari Jayapura ke Sabron Sari sejauh 44,3 km memakan waktu 90 menit.
Dalam kondisi normal, perjalanan ke Sabron Sari sebenarnya hanya butuh waktu 45 menit. Namun, kondisi jalan yang buruk menyebabkan kendaraan tak bisa memacu kecepatan lebih dari 50 kilometer per jam.
Perjalanan ke sana melewati ruas jalan Sentani-Depapre yang sebagian besar tidak beraspal. Kondisi jalan juga banyak berlubang dengan kedalaman 10-20 sentimeter. Kondisi jalan semakin parah karena baru saja diguyur hujan selama berjam-jam.
Baca juga: 40 Hari Meliput Perang Ukraina-Rusia (3): Mengejar Jokowi di Kyiv
Kecelakaan rawan terjadi di sejumlah titik jalan dengan kemiringan 15-30 derajat. Para pengendara roda empat, truk, dan sepeda motor harus ekstra waspada ketika melintasi jalanan menurun yang sangat licin setelah diguyur hujan.
Data Tim Peduli Pembangunan Jalan dan Jembatan Kemiri-Depapre mencatat, sekitar 50 warga setempat meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit. Kondisi jalan yang rusak membuat mereka tidak bisa cepat tiba di rumah sakit padahal sedang butuh penanganan medis segera.
Melihat kondisi jalan yang seperti itu, saya meminta Muhsidin, sopir yang mengantar saya, untuk memperlambat laju kendaraan. Kondisi pinggang saya yang masih menjalani terapi saraf terjepit bisa-bisa kambuh kembali akibat terguncang saat mobil melewati jalan rusak. Meskipun sebelum berangkat, saya telah mengonsumsi obat pereda nyeri sebagai antisipasi.
Pepatah ”biar lambat asal selamat” kami pegang erat-erat dalam perjalanan kali ini. Syukurlah, akhirnya kami berhasil melewati ruas jalan rusak itu tanpa kendala berarti dan tiba di Kantor Pemerintahan Kampung Sabron Sari pukul 11.00.
Baca juga: Menantang Maut di Ruas Jalan Sentani-Depapre
Sangat antusias
Saat kami tiba, suasana tampak sepi. Namun, ada enam pegawai yang terlihat sedang serius menekuni pekerjaan masing-masing. Rupanya mereka tengah memverifikasi data kependudukan.
Saya kemudian menyapa Sofyan Pelu, Sekretaris Kampung Sabron Sari. Ia tengah mengarahkan salah seorang stafnya yang bernama Rintis Dodi atau biasa disapa Arin.
Sofyan tengah mengajari Arin mengisi data kependudukan di aplikasi SIO Papua di salah satu komputer yang berada di ruangan berukuran 4 meter x 6 meter itu.
Pengisian data di aplikasi SIO Papua meliputi informasi tentang nomor induk kependudukan, jumlah penghasilan kepala keluarga per bulan, serta kondisi kesehatan setiap keluarga, seperti riwayat terkena malaria, status gizi anak, dan sejumlah indikator lainnya.
Setelah berdiskusi sejenak dengan Sofyan tentang liputan yang akan saya lakukan, ia kemudian menugasi Arin untuk mengajak saya berkunjung ke beberapa rumah warga. Tujuannya, untuk melihat proses pendataan SIO Papua.
Saya lalu mengikuti Arin yang berjalan kaki sambil menenteng tas. Perjalanan kami melewati beberapa lapak warga yang menjual hasil kebun, seperti buah-buahan, jagung, kacang rebus, dan keripik pisang.
Setelah berjalan sekitar 10 menit, kami tiba di rumah salah seorang warga bernama Eva Sokoi yang berusia 26 tahun. Ibu dua anak ini menyambut kedatangan kami dengan ramah.
Baca juga: Rasa Bersalah Seorang Wartawan
Arin kemudian mengeluarkan beberapa lembar formulir untuk pengisian data aplikasi SIO Papua dari tasnya dan memulai proses tanya jawab dengan Eva. Kegiatan ini hanya memakan waktu sekitar 15 menit karena sebagian besar data keluarga Eva telah tersimpan di aplikasi SIO Papua.
Eva mengaku, aplikasi ini memberi dampak besar bagi keluarganya. Selain terbantu dalam pembuatan dokumen kependudukan, keluarganya juga bisa mendapat bantuan langsung tunai (BLT) untuk menambah pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Warga setempat yang mendapat BLT pada 2022 sebanyak 101 keluarga. Sementara yang menerima bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) dari Kementerian Sosial sebanyak 80 keluarga.
Penentuan penerima bantuan berdasarkan data dari SIO Papua yakni penerima berstatus janda yang tidak memiliki pekerjaan tetap, lanjut usia, warga dengan penghasilan di bawah Rp 2 juta per bulan, dan penyandang disabilitas.
Berdasarkan data Pemerintah Kampung Sabron Sari, terdapat 1.800 jiwa dari 481 keluarga yang mendiami kampung tersebut. Sebanyak 80 persen warga berprofesi sebagai petani. Persentase perekaman KTP elektronik di Sabron Sari telah mencapai 80 persen.
Baca juga: Melihat Papua dengan Mata Data
Setelah melihat pelaksanaan pendataan di tiga rumah warga, kami kembali ke Kantor Pemerintahan Kampung Sabron Sari. Arin kembali melanjutkan aktivitas pengisian data di aplikasi SIO Papua.
Semangat Arin, Sofyan, dan rekan-rekan menjadi kunci kegiatan pendataan penduduk di Kampung Sabron Sari. Meski tidak mendapat gaji yang besar, mereka tetap berdedikasi melakukan pendataan demi kondisi kampung yang lebih baik.
Saya berharap aplikasi SIO Papua dapat benar-benar diterapkan di 5.560 kampung di 28 kabupaten dan 1 kota yang ada di Provinsi Papua. Diperlukan komitmen dan inovasi untuk membawa Papua bangkit dari segala keterisolasian dan ketertinggalan.